Thursday, May 9, 2024
HomeGagasanDua Titik Kembali Konstitusi

Dua Titik Kembali Konstitusi

‘Jika tersesat di tengah jalan, kembalilah ke pangkal jalan,’ begitu bunyi petatah petitih turun temurun di Alam Minangkabau.

Langkah ini mulai bergumpal pada sekelompok aktivis, politisi, serta penggiat demokrasi. Yakni, kehendak untuk kembali ke naskah Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 versi sebelum amandemen. Pasca amandemen UUD 1945, terasa sekali negara RI berjalan ke arah pola pertarungan politik ultra liberal, tetapi sekaligus berbalut feodalistik yang penuh mistik akibat belitan naga kapitalistik dengan taring dan racun imperealistik. Sesuatu yang sedari awal sudah dikumandangkan oleh Ibrahim Datuk Tan Malaka yang mengusung konsep Merdeka 100% Nusantara Raya.

Persoalannya, UUD 1945 versi awal sudah terbukti mudah diselewengkan. Frasa ‘Kekuasaan Presiden Tidak Tak Terbatas’ yang menghuni Pasal 17, sangat berbahaya hingga berakibat kehadiran Tirani Minoritas atau bahkan Sang Tiran itu sendiri. Masa jabatan Presiden dalam kapasitas Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan juga tak dibatasi.

Titik kembali ini malah bisa membawa ketersesatan bangsa ini semakin jauh ke dalam belantara rimba raya nafsu hewani perebutan dan pertarungan kekuasaan ala Homo Homini Lupus: Manusia adalah Serigala bagi Manusia Lain.

Sekalipun begitu, semangat dan upaya kembali ke UUD 1945 versi Asli ini tetap layak ditempatkan secara objektif sebagai upaya melepaskan diri dari kebuntuan nalar dan nurani kalangan elit penguasa kontemporer. Atau lebih tepatnya, kekhawatiran yang bernada psikopolitik, betapa sekelompok orang terlalu kuat kuasanya, baik kuasa politik, apalagi kapital.

Lalu, kalau titik itu sama sekali tak tepat, adakah lagi titik yang lain?
Tentu, yakni penerapan sistem pemerintahan parlementer, ketimbang presidensial. Sistem pemerintahan parlementer, sekalipun berada dalam praktek jatuh-bangun yang berlangsung singkat, setidaknya melahirkan sejumlah negarawan hebat yang liat dan ligat dalam berdebat, tetapi sekaligus hubungan persahabatan yang melintasi ideologi. Sejak masih bernama Volksraad dalam era kolonial, sampai Dewan Konstituante Hasil Pemilihan Umum 1955, politisi yang menjadi singa podium ternyata mampu mendedahkan dan menyuburkan apa yang disebut sebagai Print Nationalism.
Koran-koran partai tumbuh subur, buku-buku memoar bertebaran, setiap rapat partai selalu berupa lembaran kertas-kertas kerja tertulis, bukan bahasa lisan bak lipan yang sulit ditangkap maknanya dewasa ini. Rakyat, walau jarang makan dan bahkan tak punya uang segobang, sangat pandai berkomunikasi satu dengan yang lain, sebab juga pandai mendengar di stasiun-stasiun radio, atau membaca koran-koran dinding, bahkan di lingkup sekolah.

Bagi saya, titik kembali menghidupkan sistem pemerintahan parlementer ini, jauh lebih menjanjikan kekuatan dari akar demokrasi di bumi Ibu Pertiwi ini, ketimbang kembali menghidupkan UUD 1945 versi Asli yang sangat tidak sempurna dan cacat pikir sedari awal disahkan itu. Naskah yang justru sangat komprehensif dan dipuji para ahli, termasuk oleh Adnan Buyung Nasution yang menulis disertasi tentang itu, adalah hasil kerja Dewan Konstituante. Juga legitimasinya paling kuat, karena dipilih oleh rakyat.

Sehingga, manakala hakim-hakim Mahkamah Konstitusi lebih merujuk kepada Tap MPR atau Tap MPRS, ketimbang ke dalam naskah konstitusi yang disusun Dewan Konstituante, saya merasa racun-racun sesat pikir sudah menjadi ajang ‘Permainan Pikiran’ saja dari Sembilan Sulaiman itu.

Baiklah, saya berhenti pada titik ini.

 

Markas Gerilyawan, Senin, 13 November 2023

INDRA JAYA PILIANG

Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular