Flu Singapura atau yang disebut sebagai Hand, Foot, and Mouth Diseases (HFMD) atau Penyakit Tangan, Kaki, dan Mulut (PTKM) marak menjadi pemberitaan saat ini karena beberapa kasus sedang ditemukan di wilayah Indonesia. Laporan Data Sistem Kewaspadaan Dini dan Respons (SKDR) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, sebanyak 5.461 kasus PTKM terdeteksi di Indonesia sejak Januari hingga Maret 2024. Penyebaran kasus PTKM paling banyak terjadi di Pulau Jawa. Rincian kasus PTKM di Pulau Jawa adalah sebagai berikut: Jawa Barat 2.119 kasus, Banten 1.171 kasus, Daerah Istimewa Yogyakarta 561 kasus, dan Jawa Tengah 464 kasus. Data Peningkatan PTKM juga dialami juga negara lain seperti Vietnam yang melaporkan kasus dengan total 10.196 per 1 Januari – 31 Maret 2024.
PTKM in disebabkan oleh infeksi virus dari Famili Enterovirus termasuk Coxsackievirus A16, EV 71 and Echovirus yang cepat menular melalui kontak kulit, udara pernafasan, cairan dari blister (benjolan kecil), oral fecal (tinja atau lewat makanan/minuman), dan juga dapat terjadi penularan melalui cairan atau droplet dari hidung maupun tenggorokan yang keluar saat bersin, mengeluarkan air liur atau ludah ke udara saat batuk. Epidemiologi PTKM mula-mula terjadi di Sarawak, Malaysia, pada tahun 1997, dan Taiwan pada tahun 1998. Singapura kemudian mengalami wabah PTKM sejak September 1998. hingga Oktober 2000, dengan total 3.790 kasus yang dilaporkan. Penyebab penyakit yang dominan di Singapura saat itu adalah virus EV71 yang termasuk dalam kelompok Enterovirus. Empat kematian terkait EV71 dilaporkan pada tahun 2000, dan tiga kematian pada tahun 2001. Meluasnya wabah PTKM, yang mungkin bisa dikatakan sebagai kasus epidemik saat itu membuat pemerintah Singapura mengeluarkan peringatan agar seluruh restoran cepat saji, kolam renang, dan taman bermain anak ditutup sementara. Selama periode 2005-2009, Singapura melaporkan antara 15.257 dan 29.686 kasus per tahun, termasuk satu kematian pada tahun 2008. Coxsackievirus A 16 merupakan virus dominan yang beredar pada tahun 2005, 2007, dan 2009 di Singapura, sedangkan EV71 dilaporkan pada tahun 2006 dan 2008. Barangkali disebut Flu Singapura karena kasus penyakit tersebut sempat naik tinggi di Singapura pada tahun 2000. Di Indonesia sendiri, pada Oktober 2000, sejumlah bayi di Jakarta menderita penyakit yang gejala klinisnya sama dengan penyakit PTKM.
Penyakit PTKM ini sering ditemui pada anak-anak, terutama pada usia dibawah 10 tahun. Tetapi juga bisa menyerang pada anak remaja dan dewasa. Orang yang menderita PTKM akan muncul gejala yang umumnya ringan seperti demam sekitar 1-2 hari, ruam pada kulit, benjolan kecil atau bintil-bintil air dan luka-luka di sekitar atau di mulut, hingga di tangan dan kaki, mengalami kurang nafsu makan, lesu, dan nyeri tenggorokan. Ruam PTKM muncul spesifik pada tangan, kulit dan mulut, berbeda dengan cacar air dan cacar monyet dengan gejala ruam yang terjadi di seluruh tubuh. Meski tergolong penyakit ringan, namun terdapat sejumlah kasus kematian akibat infeksi virus ini, termasuk yang pernah dilaporkan terjadi di Singapura. Angka kematian PTKM sangat jarang terjadi sama halnya dengan cacar air, berbeda dengan cacar monyet dengan tingkat kematian 3-6%.
Apakah PTKM ini berbahaya? Ada kemiripan antara PTKM dan COVID-19, kedua penyakit ini sebetulnya memberikan gejala ringan dan merupakan penyakit self-limiting disease atau dapat sembuh dengan sendirinya dalam beberapa hari. Pada dasarnya, PTKM tidak berbahaya dan tidak membutuhkan perawatan khusus misalnya pemberian terapi antivirus, gejala yang muncul biasanya akan hilang dan membaik dalam waktu dua minggu. Pengobatan bersifat simptomatik atau berdasarkan gejalanya untuk mengatasi keluhan yang ditimbulkannya, seperti parasetamol jika muncul demam, luka-luka dibagian mulut dapat menggunakan obat kumur untuk meredam nyeri tetapi mungkin jika anak yang berusia lebih besar. Tapi bukan berarti kondisi ini bisa diabaikan dan dibiarkan tanpa penanganan karena komplikasi penyakit sangat mungkin terjadi akibat PTKM, munculnya meningitis, gangguan syaraf dan bahkan ensefalitis akibat EV71 dan meningitis akibat Coxsackievirus A16.
PTKM tentu bisa berpotensi mewabah dengan cepat sesuai dengan rute transmisi, jika tidak segera ditangani. Seperti halnya dengan COVID-19, perlu waspada adanya kenaikan kasus PTKM. Pengananan PTKM pun hampir mirip dengan COVID-19, meminimalkan kontak dengan penderita dan segera melakukan isolasi mandiri bagi penderita. Risiko paparan juga terjadi dengan adanya mobilisasi dan interaksi dari penderita. Hal ini yang kita amati terjadi kenaikan kasus PTKM di Indonesia barangkali dikaitkan dengan pasca lebaran selain pada umumnya PTKM ini meningkat di saat musim pancaroba. Upaya pencegahan COVID-19, dengan Memakai Masker, Mencuci Tangan (dengan sabun) dan Menjaga Jarak, yang dikenal sebagai Protokol Kesehatan 3M menjadi kunci juga dalam penanganan PTKM.
Penerapan 3M yang gencar saat pandemi COVID-19 mengingatkan kita pentingnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Setelah COVID-19 mereda bukan berarti PHBS ini kita tinggalkan. Kondisi saat ini sangat relate dengan Quote yang dituliskan oleh Girolamo Frascatoro 450 tahun lalu. There will come yet other new and unsual ailments in the course of time. And this disease will pass away, but it later will be born again and be seen by our descendants (Seiring berjalannya waktu, akan muncul lagi penyakit-penyakit baru dan tidak biasa. Dan penyakit ini akan berlalu, namun kelak akan terlahir kembali dan terlihat oleh keturunan kita). Dan quote ini bisa menjadi catatan bahwa pertarungan penyakit tidak berhenti ketika berhasil diintervensi, masih tetap ada potensi muncul penyakit baru, yang bisa dilakukan kesiapsiagaan dan waspada.
Sama halnya dengan wabah penyakit lainnya penting melakukan monitoring penyebaran penyakit. Melakukan penyelidikan epidemiologi kasus PTKM dengan tujuan dapat mengetahui sumber penularan penyakit, mengetahui sebaran penyakit, mencegah penularan penyakit, serta memprediksi dan mencegah terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) atau wabah. Wabah penyakit dapat muncul dari penyakit yang sifatnya endemis (kasus penyakit yang muncul dalam jumlah yang konsisten di wilayah tertentu) saat ini, seperti Demam Berdarah (DBD), COVID-19 maupun penyakit yang betul-betul baru muncul ke depannya.
Penting melakukan edukasi kepada Masyarakat bahwa wabah penyakit ini merupakan bencana non alam yang bisa menimbulkan korban dalam jumlah besar jika tidak segera ditangani. Kita belajar dari Pandemi Influenza H1N1 2009 dengan kematian lebih dari 6.250 bahkan terbaru akhir tahun 2019 pandemi COVID-19 muncul yang menyebabkan kematian sekitar 7.043.660 secara global. Pandemi tersebut tidak hanya memakan korban tetapi juga menyebabkan gangguan ekonomi, sosial, psikologis serta aspek lainnya. Kita berharap dengan informasi yang cepat terkait persebaran suatu penyakit di era digital saat ini mampu meningkatkan respon Masyarakat guna mencegah persebaran penyakit secara dini dan meminimalkan dampak yang ditimbulkan. Semoga!!
LAURA NAVIKA YAMANI
Ketua Research Center on Global Emerging and Re-emerging Infectious Disease, Institute of Tropical Disease dan Dosen Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga