
“What has befallen Gaza is a human-made human disaster … unfolding not in the fog of war … but in broad daylight and in full sight.”
(Norman G. Finkelstein dalam Gaza: An Inquest into Its Martyrdom, 2018)
Di langit Gaza yang porak-poranda, di atas reruntuhan rumah yang tak sempat berpamitan, melayang sunyi drone buatan China, yang dikendalikan tentara Israel dari darat. Namun sunyi itu tidak netral. Ia membawa rudal, mengintai anak-anak, dan menebar ketakutan sebagai kebijakan yang telah lama menjadi standar operasi militer Zionis yang memaksa warga keluar dari rumah mereka, atau menghalangi mereka kembali ke tempat asal. Dalam laporan investigatif media Israel, +972 Magazine dan Local Call, para prajurit dan perwira Israel sendiri mengaku bahwa drone itu digunakan secara manual untuk menargetkan warga sipil.
Tindakan ini bukan kesalahan tempur. Ini bukan kecelakaan. Ini kebijakan. Ia lahir dari suatu logika militer dan politik yang sudah lama dikritik oleh Norman G. Finkelstein dalam Gaza: An Inquest into Its Martyrdom. Finkelstein menolak narasi resmi Israel yang selalu menjadikan “self-defense” sebagai justifikasi. Baginya, agresi seperti ini adalah “strategic punishment” yang terencana, untuk memperlihatkan dominasi mutlak, terutama setelah Israel merasa deterrence capacity-nya menurun pasca kekalahannya dari Hizbullah tahun 2006.
Apa yang dilakukan Israel di Gaza bukan sekadar penjajahan biasa. Ia adalah proyek dehumanisasi yang didesain dengan cermat. Finkelstein menjelaskan bahwa Israel menyerang tidak semata untuk membalas serangan roket Hamas, yang jumlahnya jauh lebih kecil dan primitif, tetapi untuk menghancurkan daya hidup kolektif Gaza meliputi sekolah, rumah sakit, fasilitas air, dan bahkan tempat ibadah. Penggunaan drone sipil untuk mengebom anak-anak adalah bagian dari itu yakni senjata yang semula untuk observasi sipil, disulap jadi alat eliminasi manusia. Ia menggambarkan betapa Israel, dalam istilah Finkelstein, “not merely kills, but erases.”
Dalam lanskap kehancuran ini, laporan tentang rencana kamp pengasingan di Gaza selatan menjadi babak lanjutan dari etnisida yang disamarkan sebagai operasi keamanan. Bahkan dua mantan Perdana Menteri Israel, Yair Lapid dan Ehud Olmert, secara terbuka menyebut rencana itu sebagai “kamp konsentrasi” jika warga tak diizinkan keluar. Ini bukan retorika kosong. Ini pengakuan akan transformasi Gaza menjadi labirin penderitaan manusia, di mana semua pintu dikunci dari luar oleh kekuasaan militer yang tak mau kalah bahkan dari anak-anak.
Norman Finkelstein dalam bukunya tidak membiarkan istilah-istilah seperti “self-defense” atau “precision strike” berlalu begitu saja. Ia membedah satu per satu, dengan laporan dari Amnesty International, Human Rights Watch, bahkan PBB, dan menunjukkan bagaimana justifikasi itu adalah Big Lie yang ditenun dari seribu kebohongan kecil. Salah satunya adalah penggambaran Gaza sebagai entitas agresif, padahal data yang ia sajikan menunjukkan rasio kematian yang luar biasa timpang. Sebelum Operasi Cast Lead 2008, misalnya, Israel membunuh 455 warga Palestina hanya dalam setahun, sementara warga sipil Israel yang tewas karena roket Hamas hanya berjumlah 7 orang.
Kini, kekejaman itu menjelma dalam bentuk lebih sunyi dan lebih kejam yakni penyiksaan terhadap tenaga medis. Dr. Hussam Abu Safiya, direktur RS Kamal Adwan, diculik dari rumah sakit tempat ia bekerja menyelamatkan korban agresi. Ia disekap, dipukuli, ditelanjangi dari akses medis, ditelantarkan dalam pakaian musim dingin di ruang bawah tanah tanpa cahaya. Berat badannya turun 40 kilogram. Penyakit jantungnya tak diobati. Dan ia dijaga oleh penjaga yang tidak merawat, tapi menyakiti. Apa artinya ini jika bukan torture as policy?
Finkelstein tak menulis tentang Dr. Abu Safiya secara langsung, tapi kerangka analisisnya menampung dan menjelaskan seluruh pola ini. Dalam satu bagian ia menulis bahwa “Israel tidak hanya ingin menghentikan perlawanan, tetapi ingin membuat hidup menjadi tidak layak bagi mereka yang bertahan.” Gaza bukan hanya tempat pertempuran; ia adalah ladang eksperimen untuk kekejaman yang ingin dilupakan dunia. Dan para dokter, jurnalis, anak-anak, para janda, dan para orang tua yang kehilangan semua kecuali tubuhnya, dijadikan angka dalam laporan yang tak dibaca.
Israel selalu mengklaim sebagai satu-satunya demokrasi di Timur Tengah, tapi bahkan negara apartheid Afrika Selatan tak sampai pada tingkat penindasan seperti ini. Drone sipil yang disulap jadi alat pembunuh, kamp pengungsian yang dipersiapkan jadi kamp konsentrasi, dan dokter yang diperlakukan seperti tawanan perang tanpa peradilan, semua ini menunjukkan bahwa Gaza bukan korban kekacauan, melainkan korban perencanaan yang jahat.
Finkelstein menulis bahwa “The focus of this book is the politics of Gaza’s martyrdom. Not Gaza as victim in general, but Gaza as deliberately crushed, precisely because it resists submission.” Maka penyiksaan terhadap Abu Safiya bukanlah penyimpangan dari norma, melainkan ekspresi dari norma kekuasaan kolonial. Ia dipukul bukan karena ia melawan, tapi karena ia hidup. Ia dijadikan simbol, agar semua yang masih hidup merasakan betapa berisikonya menjadi manusia di Gaza.
Dalam kesunyian sel bawah tanah, Dr. Abu Safiya sedang diajarkan satu pelajaran bahwa jangan berani menyembuhkan yang hendak dihancurkan. Dan di langit Gaza, drone-drone buatan China itu terbang bukan karena kesalahan teknologi, tapi karena keputusan moral yang busuk.
Yang lebih menyakitkan dari kekejaman itu sendiri adalah penerimaan dunia. Sama seperti laporan-laporan yang dibedah Finkelstein mulai dari Amnesty International sampai Dewan HAM PBB, semuanya ditumpuk dalam rak-rak akademik, dibaca oleh sedikit orang, dan nyaris tak mengubah kebijakan global. Dunia memilih melupakan karena mengingat artinya harus bertindak.
Tapi bagi Gaza, mengingat adalah satu-satunya bentuk keadilan yang tersisa. Maka kita menuliskannya kembali, bukan karena ingin tahu, tapi karena tak ingin menjadi bagian dari keheningan yang mematikan.
ABDUL KARIM
Pengamat politik internasional pada Institute for Strategy and Political Studies (INTRAPOLS)



