
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Hubungan dagang Indonesia-Amerika Serikat memasuki babak baru yang dinilai penuh ketegangan. Mulai 1 Agustus 2025, seluruh produk ekspor Indonesia ke AS akan dikenakan tarif tunggal 32%. Kebijakan proteksionis ini diumumkan langsung oleh Presiden AS Donald Trump lewat surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto yang viral di media sosial awal Juli 2025 ini.
Pakar ekonomi Universitas Airlangga, Rossanto Dwi Handoyo menyebut keputusan Washington sebagai langkah mundur dunia perdagangan.
“Amerika jelas sedang kembali ke era proteksionisme. Ini kemunduran dari prinsip perdagangan bebas,” tegasnya, Selasa (15/7/2025). Ia bahkan menyebut AS saat ini sedang mempraktikkan gaya merkantilisme kuno: ekspor dipandang sebagai kemenangan, sementara impor dianggap kerugian.
Lebih kritis lagi, Rossanto mempertanyakan posisi diplomasi ekonomi Indonesia yang menurutnya ‘terlalu baik dan menurut’. Selama ini Indonesia menikmati kemudahan tarif di bawah skema GSP (Generalized System of Preferences), tetapi kini fasilitas itu dicabut karena Indonesia diklaim sudah naik kelas menjadi anggota OECD.

“Indonesia selalu tampil sebagai ‘good boy’ di mata AS. Terlalu patuh. Akibatnya, kita tidak dipandang sebagai mitra strategis yang harus dinegosiasikan, tapi lebih seperti pasar siap beli,” sindirnya. Ironisnya, dalam upaya menanggapi kebijakan baru ini, pemerintah Indonesia justru menawarkan pembelian produk-produk AS seperti Boeing, produk pertanian, dan energi demi berharap tarif bisa dilonggarkan. “Ini jelas strategi diplomasi yang keliru dan defensif,” tandasnya.
Lebih jauh, Rossanto memperingatkan bahwa struktur ekspor RI masih rapuh dimana sekitar 60–70% hanya bergantung pada segelintir negara besar. Produk ekspor Indonesia pun dinilainya masih berkutat di sektor sumber daya alam mentah dan barang murah.
“Kita butuh loncatan. Dari bahan mentah menuju produk semi high-tech dan high-tech. Negara maju tidak akan menghargai kita kalau kita terus jadi penyedia bahan mentah saja,” serunya.
Di tengah ancaman tarif tinggi dari AS, ia mendesak pemerintah untuk membangun arsitektur diplomasi ekonomi yang lebih tangguh, agresif, dan berani menegosiasikan kepentingan nasional.
“Diversifikasi pasar ekspor itu mutlak. Tapi jangan lupa, sektor jasa seperti pariwisata juga harus mulai jadi tulang punggung ekspor kita,” tandas guru besar FEB Unair itu. (*)
Editor: Abdel Rafi



