Monday, November 17, 2025
spot_img
HomePolitikaDesak Presiden Copot Menteri ATR/BPN, Ketum PDKN: Kebijakan Soal Tanah Eigendom Verponding...

Desak Presiden Copot Menteri ATR/BPN, Ketum PDKN: Kebijakan Soal Tanah Eigendom Verponding Menyesatkan!

JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Ketua Umum Partai Daulat Kerajaan Nusantara (PDKN) Rahman Sabon Nama meminta Presiden Prabowo Subianto segera mencopot Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nusron Wahid. Ia menilai kebijakan kementerian terkait penarikan kembali tanah-tanah berstatus Eigendom Verponding keliru dan berpotensi memicu konflik agraria di berbagai daerah.
Rahman, yang juga memimpin APT2PHI (Asosiasi Pedagang dan Tani Tanaman Pangan dan Hortikultura Indonesia), mengatakan bahwa pernyataan Nusron Wahid terkait status tanah Eigendom Verponding menunjukkan ketidakpahaman terhadap aturan pertanahan. Menurutnya, pemerintah tidak bisa serta-merta menarik tanah-tanah yang telah diregistrasi ulang sejak 1980 sebagai Eigendom Indonesia, yang banyak berasal dari wilayah kesultanan atau kerajaan Nusantara.
“Pernyataannya menyesatkan dan berbahaya karena langsung dijadikan dasar membuat kebijakan. Banyak tanah swapraja dan tanah ulayat masyarakat adat di Banten, Riau, Sumatera Barat, hingga Kalimantan akhirnya dicaplok dengan dalih proyek strategis,” kata Rahman di Jakarta, hari ini, Senin (17/11/2025).
Landasan Hukum
Rahman merujuk pada UU Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5/1960 dan Keppres Nomor 32/1979, yang mengatur pemberian hak baru atas tanah eks Hak Barat. Menurutnya, sejak 1980, tidak lagi ada Eigendom Verponding Barat. Dokumen yang tercatat di Kementerian ATR/BPN pun tercantum atas nama warga negara Indonesia, bukan pihak asing.
Ia juga menyinggung UU Nomor 51 Prp/1960 tentang larangan penggunaan tanah tanpa izin yang berhak. “Hak milik ahli waris dinasti kerajaan Nusantara dan warga negara Indonesia wajib dilindungi. Negara tidak berhak merampas tanah selama ada ahli waris sah,” ujarnya.
Rahman menambahkan bahwa tanah-tanah yang kini disengketakan telah tercatat sebagai Collateral Asset Dinasti Nusantara yang diakui lembaga internasional dengan kode 101, yang kini juga menjadi simbol PDKN. “Menghilangkan hak itu sama saja menantang proses hukum internasional. Pada era Presiden Soeharto saja tidak berani mengambil alih; pemerintah hanya mengubahnya menjadi SHGB dan SHGU, bukan mencabut haknya,” ujarnya.
Potensi Gejolak Sosial
Rahman menilai kebijakan terbaru ATR/BPN berpotensi memicu ketegangan sosial. “Jika tidak segera dicopot, kebijakan seperti ini bisa menimbulkan kemarahan rakyat dan mengganggu stabilitas politik dan keamanan nasional,” kata alumnus Lemhanas RI itu.
Ia meminta pemerintah memberi prioritas penyelesaian terhadap apa yang disebutnya sebagai kasus-kasus perampasan tanah ulayat masyarakat adat, seperti di Rempang (Riau), Banten, IKN Kalimantan Timur, Kediri, Makasar, dan Kesultanan Buton.
“Pemerintah harus hadir melindungi masyarakat adat dan memastikan proses hukum berjalan adil. Ini bukan hanya soal tanah, tetapi soal martabat bangsa,” kata Rahman, yang berasal dari Pulau Adonara, NTT.(*)
Editor: Abdel Rafi
RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular