Friday, October 31, 2025
spot_img
HomeGagasanDari Pinggiran, Desa Wisata Kreatif Menyulam Ekonomi Berkelanjutan

Dari Pinggiran, Desa Wisata Kreatif Menyulam Ekonomi Berkelanjutan

 

Industri kreatif kini menjadi denyut penting perekonomian global. Di era digital, kreativitas tidak lagi terbatas pada seni atau hiburan, tetapi juga merambah sektor pariwisata, khususnya desa wisata. Di Indonesia, desa wisata bukan sekadar tempat singgah untuk menikmati panorama, melainkan ruang inovasi yang memadukan tradisi, ekonomi, dan teknologi. Potensinya besar, meski tantangannya juga tidak kecil. Karena itu, penting melihat desa wisata dalam kerangka industri kreatif dan pembangunan berkelanjutan.

Transformasi industri kreatif global memberi sinyal bahwa desa wisata tidak bisa hanya bertahan dengan wajah lama. Digitalisasi telah mengubah cara orang berwisata dan berbelanja. Wisatawan kini mencari pengalaman autentik yang juga layak dibagikan di media sosial. Produk desa mulai dari kerajinan, kuliner khas, hingga pertunjukan budaya, dikemas dengan narasi visual dan dipasarkan secara daring. Dengan cara itu, desa dapat menjangkau pasar lebih luas tanpa kehilangan akar kearifan lokalnya. Dellyana, Arina, dan Fauzan (2023) mencatat, tata kelola digital yang inovatif di sektor ekonomi kreatif Indonesia tidak hanya memperkuat daya saing, tetapi juga melahirkan pola pemberdayaan yang lebih inklusif. Artinya, keberhasilan desa wisata kreatif sangat ditentukan oleh kemampuan desa menguasai literasi digital dan memanfaatkan teknologi secara berkelanjutan.

Lebih dari itu, desa wisata kreatif juga terkait erat dengan agenda pembangunan global dalam 17 Sustainable Development Goals (SDGs). Ketika masyarakat desa mampu mengembangkan produk lokal dan memasarkan secara digital, mereka sedang berkontribusi pada pengentasan kemiskinan (SDG 1) serta penciptaan lapangan kerja (SDG 8). Ketika perempuan desa aktif dalam usaha kuliner, kriya, atau pengelolaan homestay, mereka turut memperkuat kesetaraan gender (SDG 5). Ketika anak muda belajar mengelola media sosial untuk promosi wisata desa, mereka sedang meningkatkan kualitas pendidikan dan literasi digital (SDG 4). Dan ketika produk kreatif dibuat dengan bahan ramah lingkungan, desa wisata ikut mendorong pola konsumsi yang lebih bertanggung jawab (SDG 12).

Dalam studi terbarunya, Vujko (2024) menekankan bahwa pemberdayaan perempuan di sektor pariwisata desa merupakan kunci transformasi berkelanjutan. Penelitiannya menunjukkan, ketika perempuan diberi ruang dalam rantai nilai pariwisata, desa tidak hanya meraih keuntungan ekonomi, tetapi juga kestabilan sosial yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan banyak temuan di Indonesia, di mana peran perempuan dalam industri kreatif desa, mulai dari pembatik hingga pengusaha kuliner, terbukti menggerakkan ekonomi rumah tangga sekaligus memperkuat kohesi sosial.

Namun, desa wisata tidak dapat tumbuh sendiri. Di sinilah konsep kolaborasi pentahelix menemukan relevansinya. Pemerintah perlu berperan sebagai fasilitator dengan menghadirkan kebijakan ramah desa, infrastruktur digital, serta akses permodalan. Akademisi berkontribusi lewat riset dan pelatihan agar masyarakat desa lebih adaptif. Dunia usaha membuka jalur investasi dan akses pasar. Masyarakat menjadi aktor utama yakni pemilik tradisi sekaligus penggerak ekonomi. Media, pada saat bersamaan, berfungsi sebagai ruang promosi dan edukasi publik. Buchari (2024) mencatat, interaksi pentahelix di desa wisata Jawa Barat terbukti memperkuat kapasitas kreatif masyarakat sekaligus menjaga nilai budaya lokal. Kolaborasi ini membuat pengembangan desa wisata tidak semata bersifat top-down, melainkan tumbuh dari partisipasi warga.

Desa Wisata Kreatif dan Asta Cita

Keselarasan desa wisata kreatif dengan arah pembangunan nasional juga tampak dalam Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, khususnya poin keenam yang menekankan pembangunan dari desa dan dari bawah. Prinsip ini menegaskan bahwa pembangunan inklusif harus dimulai dari akar, bukan hanya dari pusat. Desa harus menjadi laboratorium pembangunan, tempat di mana inovasi sosial, budaya, dan ekonomi dipraktikkan langsung. Desa wisata berbasis industri kreatif adalah wujud nyata dari cita-cita tersebut: desa sebagai pusat inovasi, bukan semata objek pembangunan.

Meski demikian, hambatan masih mengemuka. Literasi digital belum merata; tidak semua masyarakat mampu mengoperasikan platform daring untuk memasarkan produk. Infrastruktur digital pun timpang; masih ada desa yang kesulitan sinyal internet, apalagi mengakses teknologi e-commerce. Dari sisi modal, pelaku usaha desa kerap menghadapi kendala pembiayaan. Kekhawatiran lain, modernisasi bisa mengikis keaslian budaya. Wisata yang terlalu dikomersialisasi berisiko menjadikan tradisi sekadar tontonan, kehilangan makna sakralnya.

Karena itu, strategi penguatan harus dirancang hati-hati. Pendidikan dan pelatihan berkelanjutan bagi generasi muda desa menjadi prioritas. Pemerintah dapat memanfaatkan program dana desa untuk memperkuat infrastruktur digital sekaligus memberi insentif bagi usaha kreatif lokal. Dunia usaha membuka skema kemitraan yang ramah bagi pelaku mikro desa. Akademisi memperluas pengabdian masyarakat yang berorientasi pemberdayaan desa wisata. Media, baik arus utama maupun media sosial, ikut menjaga narasi agar desa wisata tidak terjebak dalam stereotip eksotis, melainkan dilihat sebagai ruang inovasi dan pemberdayaan.

Rahmawati (2024) menyebut desa wisata sebagai ruang perjumpaan antara tradisi dan inovasi. Di situlah letak kekuatan desa wisata berbasis industri kreatif yaitu ia menyatukan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Desa tetap dapat merawat ritualnya, sambil menghadirkan wajah baru yang relevan dengan generasi digital. Dengan begitu, desa wisata bukan hanya destinasi, melainkan simbol perubahan.

Akhirnya, pertanyaan terpenting adalah bagaimana memastikan desa wisata benar-benar memberi manfaat bagi masyarakat desa, bukan sekadar investor atau segelintir elite. Jika dikelola dengan baik, desa wisata kreatif bisa menjadi bukti nyata bahwa pembangunan dari bawah bukan sekadar slogan. Ia adalah jalan menuju Indonesia yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan. Dengan memadukan tradisi, inovasi, dan kolaborasi, desa wisata dapat menjadi motor penggerak ekonomi nasional yang tidak hanya mengejar pertumbuhan, tetapi juga pemerataan. Semoga.

KHUSIKA DHAMAR GUSTI

Mahasiswa Program Magister PSDM Peminatan Industri Kreatif, Sekolah Pascasarjana Unair

SANTI ISNAINI

Staf pengajar Departemen Komunikasi dan Program Magister PSDM Peminatan Industri Kreatif, Sekolah Pascasarjana Unair

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular