
JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Awal 2024, aula Pascasarjana Universitas Tadulako, Palu, menjadi saksi capaian akademik seorang prajurit. Mayor Jenderal TNI Farid Makruf, berseragam toga hitam, berdiri tegap mempertahankan disertasi doktoralnya berjudul “Analisis Sistem Budaya Ketadulakoan dalam Perspektif Ketahanan Nasional“. Nilai IPK: 3,99, predikat pujian, dan durasi studi hanya 1 tahun 11 bulan 5 hari—nyaris menjadi rekor program tersebut.
“Kalau belajar serius, waktunya akan terasa singkat,” ujarnya singkat sambil tersenyum.
Bagi pria kelahiran Bangkalan, Madura, 6 Juli 1969, pendidikan bukan sekadar gelar. “Ilmu adalah senjata jangka panjang,” kata lulusan Akademi Militer 1991, kecabangan Infanteri (Kopassus), yang juga meraih gelar master bidang Security Study dari University of Hull, Inggris, pada 1998.
Karier Farid tak lepas dari medan operasi berat. Tahun 2003–2004, saat berpangkat kapten, ia bergabung dalam misi perdamaian PBB di Sierra Leone (UNAMSIL). Negeri itu baru keluar dari perang saudara. “Panasnya bukan main. Tapi lebih panas lagi politik lokalnya,” kenangnya.
Pada 2018, sebagai Kolonel dan Dansatgas Kogasgabpad Lombok, ia memimpin rehabilitasi pascabencana gempa. Skema bantuan rumah Rp50 juta per unit yang ia gagas menghasilkan 47 ribu rumah terbangun. Ia dikenal rajin memeriksa langsung ke lapangan.
Namun sorotan terbesar datang saat menjabat Danrem 132/Tadulako (2020–2021). Saat itu, Sulawesi Tengah masih dihantui kelompok Mujahiddin Indonesia Timur (MIT). Farid tak hanya memimpin dari pos komando; ia ikut memburu kelompok tersebut di lapangan sebagai Wakil Penanggung Jawab Operasi Madago Raya.
“Ia tipe komandan yang selalu ingin di depan, bahkan dalam situasi berisiko,” kata Irjen Pol (Purn) Abdul Rakhman Baso, mantan Kapolda Sulteng.
Jabatan yang pernah ia emban antara lain Danbrigif 13/Galuh, Asops Kasdam IX/Udayana, Kasrem 121/Alambhana Wanawai, Danrem 162/Wira Bhakti, Paban V/Bhakti Ster TNI, Pangdam V/Brawijaya, dan Kepala Staf Kostrad (2023–2024).
Sejak 3 Juni 2024, Farid dipercaya menjadi Tenaga Ahli Pengkaji Bidang Sumber Kekayaan Alam di Lemhannas. Kini ia merancang strategi ketahanan negara dari balik meja, meski disiplin militernya tak pernah luntur. “Disiplin itu tidak pernah pensiun,” ujarnya.
Bagi Farid, perjalanan karier ini seperti berpindah dari lorong sempit barak Kopassus, debu Afrika, reruntuhan Lombok, hingga hutan Poso, dan kini medan pikir Lemhannas. “Beda senjatanya, sama tujuannya: menjaga Indonesia,” katanya. (*)
Kontributor: Jafar G Bua
Editor: Abdel Rafi



