Ah, generasi Z. Generasi yang katanya paling melek teknologi, paling adaptif dengan segala kemajuan zaman, dan paling kece dalam hal tren. Namun, ironisnya, di balik layar TikTok dan Instagram, ada sekelompok dari mereka yang justru memilih jalan yang penuh darah dan amarah: tawuran.
Seperti kasus tragis yang terjadi di Bekasi, ketika sembilan remaja nekat menceburkan diri ke sungai demi menghindari patroli polisi, dan sayangnya, tujuh di antaranya tak pernah keluar lagi dari sungai itu—kecuali sebagai mayat mengapung. Sebuah potret menyedihkan tentang kematian sia-sia di usia belia.
Di era yang seharusnya penuh dengan peluang untuk unjuk bakat dan identitas, sebagian anak muda kita tampaknya masih belum bisa move on dari era tawuran. Jika zaman dulu tawuran mungkin masih dimaklumi sebagai “ritual” antar-sekolah, kini di tahun 2024, tawuran lebih terasa seperti napak tilas suram yang seharusnya sudah terkubur.
Tapi nyatanya, mereka tetap saja mempersiapkan diri, layaknya gladiator modern yang siap mengadu nyawa. Padahal, arena yang mereka pilih hanyalah jalanan gelap yang tak berujung. Kalau pun ada ujungnya, itulah kematian.
Berbekal senjata tajam, sembilan remaja konon dari wilayah Bantargebang, Cimuning, atau Setu ini tampaknya siap ‘beraksi’ di malam Jumat, dengan target anak-anak Cikunir sebagai lawan. Namun, takdir berkata lain. Alih-alih tawuran, mereka malah disambut patroli polisi yang tiba-tiba muncul di tengah malam.
Panik? Tentu saja. Alih-alih bertarung, mereka kabur sembari membawa senjata tajam, seolah sedang dalam episode “Squid Game” edisi Jakarta. Kepergok warga, mereka justru diteriaki maling.
Dan di sinilah ironi terbesar terjadi: dalam upaya melarikan diri, sebagian dari mereka memilih jalan paling bodoh —menceburkan diri ke dalam sungai Bekasi yang deras dan gelap. Tujuh di antaranya kemudian ditemukan tewas, mengapung tak berdaya. Ketakutan akan patroli polisi berujung pada kematian tragis yang tak seharusnya terjadi.
Bayangkan, betapa mirisnya ini. Di era yang seharusnya sudah memberi panggung bagi anak muda untuk berkarya melalui media sosial, teknologi, atau bahkan di arena olahraga, sebagian dari mereka justru memilih ‘eksis’ lewat jalan tawuran.
Mungkin ada yang berpikir, “Tawuran adalah cara untuk menunjukkan jati diri dan solidaritas.” Tetapi jati diri macam apa yang berujung pada mayat-mayat muda yang mengambang di kali Bekasi?
Kasus ini bukan hanya soal sembilan anak muda yang nekat menceburkan diri ke sungai, tetapi juga tentang bagaimana kita sebagai masyarakat membiarkan fenomena ini terus terjadi.
Berdasarkan data Polda Metro Jaya, kasus tawuran di wilayah hukum mereka terus meningkat. Wilayah-wilayah seperti Jakarta, Bekasi, dan Depok seolah tak pernah lepas dari berita serupa.
Kapolda Metro Jaya, Irjen Karyoto, mencatat bahwa patroli yang dilakukan polisi sudah tepat, meskipun tragisnya, di kasus kali ini, patroli malah memicu tragedi di sungai.
Statistik yang dilansir pihak berwajib menunjukkan, tawuran di wilayah Polda Metro Jaya mencapai titik kritis. Dalam setahun terakhir saja, ada puluhan remaja yang tewas akibat bentrokan semacam ini.
Namun, sungguh tragis bahwa sembilan anak muda ini tidak mati karena bacokan atau lemparan batu, tetapi karena tenggelam —dan, ya, tujuh dari mereka yang ditemukan sudah tak bernyawa.
Apa yang terjadi di Bekasi ini seolah memperlihatkan kepada kita betapa kacau-balau generasi muda yang seharusnya jadi tumpuan harapan bangsa. Mereka bukannya berlari menuju panggung prestasi, tetapi malah memilih lari ke sungai, menghindar dari tanggung jawab atas tindakan mereka sendiri.
Mungkin, sungai Bekasi malam itu sedang mengirimkan pesan kepada kita semua: bahwa yang terjadi di kalangan anak-anak muda ini adalah cermin dari masyarakat yang abai.
Jika generasi Z, yang seharusnya menjadi penerus bangsa, justru memilih kekerasan sebagai cara unjuk diri, lalu apa yang salah dengan sistem kita?
Polisi bisa saja terus menggencarkan patroli, tetapi jika akar masalahnya tidak pernah tersentuh, apakah patroli ini benar-benar akan menyelesaikan masalah?
Patroli mungkin bisa mencegah tawuran di satu titik, tapi sungai Bekasi mengingatkan kita bahwa ada masalah lebih dalam yang perlu diselesaikan. Bagaimana kita bisa menciptakan ruang bagi anak muda untuk mengekspresikan diri secara sehat, tanpa harus mengorbankan nyawa?
Kasus ini seharusnya jadi wake-up call bagi kita semua —bahwa tawuran bukanlah warisan budaya yang patut dilestarikan. Sudah waktunya anak muda diarahkan untuk berkompetisi di ranah yang lebih positif, entah itu olahraga, seni, atau bidang lainnya. Tak perlu lagi unjuk keberanian lewat parang dan clurit, tapi melalui pencapaian nyata yang lebih berarti.
Kalau tidak, sungai Bekasi mungkin akan terus menjadi saksi bisu dari kematian anak-anak muda yang tersesat dalam kebingungan mereka sendiri, tanpa ada yang benar-benar peduli. Dan itu, tentu saja, adalah ironi yang jauh lebih menyakitkan dari sekadar tubuh-tubuh mengapung di sungai.
Sudah jelas, tawuran tak pernah membawa kemuliaan, hanya meninggalkan kepedihan bagi mereka yang tertinggal. Semoga tragedi ini jadi pelajaran pahit terakhir, meskipun dengan angka-angka yang tak berbohong, kita tahu ini masih jauh dari selesai.
23 September 2024
AHMADIE THAHA
Bekas wartawan Tempo dan pendiri Republika Online