Sungguh hebat, di zaman serba canggih ini, kita memang sudah sampai pada tahap di mana mesin pintar bisa ngobrol dengan kita. Seperti ChatGPT dan saudara-saudaranya, semua membuat kita kagum dan berseru: Luar biasa!
Tapi, tunggu dulu, jangan langsung terkesima oleh silau digitalnya, sampai mata membelalak. Mari kita angkat satu cangkir kopi (atau teh, kalau lebih suka) dan kritis sedikit soal apa yang keluar dari mesin AI ini.
Pertama, soal fakta. AI ini bisa jadi terdengar pintar, tapi kita harus ingat: apakah yang dia omongkan benar-benar fakta? Jangan-jangan, Google dan Wikipedia malah lebih bisa dipercaya.
Iya, AI ini suka “halo-halo” seolah-olah tahu segalanya. Padahal sesungguhnya, ada kalanya makhluk ini hanya asal tebak —mirip teman yang jawab ujian tanpa belajar, tapi dengan pede bilang, “Saya yakin ini jawabannya!”
Kemudian, mari bertanya, dari mana si AI ini dapat sumbernya? Nah, ini seru. Kadang-kadang, AI bisa “menghalu”—bukan cuma manusia saja yang bisa! Coba pikir, jawaban yang dia kasih bisa saja dari sumber yang tak jelas juntrungannya.
Apalagi ChatGPT, sumbernya kadang misterius, semisterius mantan yang tiba-tiba menghilang. Katanya sih tahu segalanya, tapi kita tak pernah tahu siapa yang dia ajak ngobrol di belakang layar.
Lalu soal hak cipta. Wah, ini juga lucu. AI dilatih dari berbagai sumber, tapi apakah semua itu dilakukan dengan izin? Astaga, apakah kita sudi dituduh jadi tukang ambil tanpa izin alias …
Bayangkan, bukan mustahil beberapa materi yang ia gunakan dicomotnya seenaknya, ibarat tetangga yang ambil mangga dari pohon kita tanpa permisi. Eh, tiba-tiba kita yang disalahkan karena buah yang diambil itu ternyata milik orang lain!
Bagi para mahasiswa yang sedang sibuk skripsi, tesis, atau disertasi, berhati-hatilah. AI memang cepat dan membantu, tapi kalau hasilnya diserahkan ke dosen, jangan lupa cek pedoman ujian. Jangan sampai pas sidang, dosen bertanya, “Ini dari mana?” dan kita cuma bisa nyengir, “ChatGPT, Pak.”
Terus soal perhitungan. Misalnya kita malas hitung pakai kalkulator, lalu minta AI hitung. Eh, bisa saja AI-nya salah hitung! Bayangkan, kita malah dapat nilai merah karena percaya penuh pada AI, padahal kalkulator jadul masih lebih akurat. Mirip seperti percaya kawan yang bilang, “Santai, ini pasti menang!” di arena lomba —eh, kalah!
Oh ya, jangan asal kasih data pribadi atau rahasia ke AI. Itu seperti curhat ke orang yang mulutnya ember —siap-siap data pribadi kita berakhir di database AI untuk dilatih.
Seram, kan? Rahasia bisnis bisa bocor, padahal kita cuma iseng nanya. Bagaimana jika rahasia pacar yang bocor? Rahasia keluarga tersimpan di database AI, kan bisa berabe kalau dipakai orang.
Dan akhirnya, fenomena deepfake. Itu lo, bikin seseorang misalnya seolah bicara atau bergerak persis aslinya. Semakin canggih AI, semakin susah kita bedain yang mana yang nyata dan yang cuma karangan.
Ibarat nonton film yang dibuat begitu apik, sampai kita tidak sadar, “Eh, ini kejadian sungguhan atau cuma efek spesial ya?” Hati-hati, jangan sampai kita malah percaya berita atau gambar yang sepenuhnya buatan.
Jadi, kesimpulannya: AI itu mirip teman yang suka bikin cerita lebay. Dia bisa bantu, tapi kita harus tetap hati-hati dan waspada. Jangan sampai karena terlalu percaya, kita malah ketipu!
19 September 2024
AHMADIE THAHA
Wartawan Senior