Kabar mengejutkan datang dari SMA Binus, Simpruk, Jakarta Utara. Tiga siswa yang seharusnya menjadi contoh dalam bersekolah, malah berkolaborasi untuk melakukan aksi kekerasan yang lebih mirip film laga daripada kehidupan nyata.
Kali ini, mereka mengeroyok seorang siswa pindahan berinisial RE (16 tahun), dan sayangnya, ini bukan hanya sekadar bully ala anak sekolahan. Kita bicara tentang kekerasan fisik, verbal, dan bahkan pelecehan seksual. Ini bukan drama remaja, tetapi tragedi yang harus kita soroti.
RE, yang baru saja berusaha menyesuaikan diri di lingkungan barunya, kini harus menghadapi cobaan yang di luar batas. Melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian adalah langkah berani, dan sekarang kasusnya sudah naik ke tahap penyidikan.
Namun, di balik keberanian RE, ada bayang-bayang yang menggelapkan harapan. Salah satu pelaku, yang konon merupakan anak pejabat tinggi terkemuka, membuat kita semua bertanya-tanya: “Apakah keadilan masih bisa ditegakkan?”
Media sosial pun dibanjiri dengan berbagai komentar, dari empati terhadap RE hingga skeptisisme mengenai proses hukum yang akan dihadapi. “Jangan-jangan, kasus ini akan hilang ditelan bumi,” ujar salah satu netizen dengan nada pesimis.
Dan memang, ada kekhawatiran yang sangat beralasan. Dalam dunia di mana kekuasaan sering kali mengalahkan kebenaran, kita hanya bisa berharap bahwa penyelidikan ini tidak berhenti di tengah jalan, terjebak dalam jaringan koneksi dan kekuasaan.
Lalu, apa yang terjadi dengan pem-bully? Apakah mereka akan merasa terancam dengan tindakan hukum yang diambil? Atau, seperti biasa, mereka akan berlindung di balik nama besar orang tua mereka?
Kita semua tahu, bullying atau perundungan bukan hanya masalah fisik. Ini adalah masalah sistemik yang mengakar dalam budaya kita. Ketika anak-anak ini menganggap kekerasan sebagai cara untuk menunjukkan kekuatan, kita harus bertanya: apa yang salah dalam pendidikan mereka? Apakah mereka tidak diajarkan untuk menghormati satu sama lain, atau sekadar diajarkan untuk menjadi pemenang dengan cara apa pun?
Sementara itu, RE yang berjuang di tengah badai ini adalah simbol dari ribuan anak lainnya yang mungkin mengalami hal serupa. Mereka yang tertekan, terpinggirkan, dan merasa tidak memiliki tempat di dunia yang seharusnya menjadi rumah kedua mereka.
Keberanian RE untuk bersuara adalah langkah penting, tetapi kita tidak bisa hanya bergantung pada satu suara. Kita perlu bersatu, memberikan dukungan, dan memastikan bahwa tidak ada anak yang merasa sendirian dalam perjuangan mereka.
Pada akhirnya, kasus bullying ini lebih dari sekadar insiden di sekolah. Ini adalah panggilan untuk kita semua, masyarakat, untuk bersama-sama memberantas kultur kekerasan yang sudah terlalu lama mengakar. Kita harus menuntut keadilan dan memastikan bahwa anak-anak, tidak peduli siapa orang tua mereka, bertanggung jawab atas tindakan mereka.
Jadi, mari kita semua bersuara untuk RE dan semua korban bullying lainnya. Kita harus menuntut agar keadilan ditegakkan dan memastikan bahwa tidak ada yang kebal terhadap hukum.
Bullying harus dihentikan, dan kita, sebagai masyarakat, harus menjadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah.
15 September 2024
AHMADIE THAHA
Jurnalis Senior