Ya, lagi-lagi bullying, monster berbulu yang menyelinap ke dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya di Indonesia, tapi juga di Amerika Serikat, negara yang mengklaim sebagai “pusat demokrasi.” Bule-bule yang suka mem-bully di sana ternyata buanyak banget. Ada angka survei, yang menyebut tingginya angka bullying terhadap siswa muslim mencapai 60 persen.
Seperti yang baru-baru ini diungkap oleh survei “Feeling The Hate In Our Schools” yang dilakukan oleh Council on American-Islamic Relations (CAIR) di New York, Amerika Serikat, tampaknya bullying alias perundungan tidak mengenal batas geografi atau budaya. Mungkin dulu ia menyebar seperti virus, masuk suatu negeri tanpa bilang siapa-siapa.
Menurut data terbaru yang diperoleh, hampir 60% siswa Muslim di New York pernah mengalami perundungan di sekolah. Dan kita berbicara tentang New York, kota yang terkenal dengan patung Liberty-nya, bukan dengan patung “Bully” yang terbuat dari tembaga. Ironis, bukan? Apalagi setelah serangan Israel di Jalur Gaza, situasi ini semakin parah, seolah-olah bullying itu menjadi olahraga baru yang harus dilatih oleh siswa-siswa di sana.
Lebih menggelikan lagi, 44,7% siswa yang mengenakan jilbab melaporkan jilbab mereka ditarik atau disentuh secara menyinggung. Bayangkan, baru saja selesai berdoa di pagi hari, eh, ada teman sekelas yang menganggap jilbab itu seperti hadiah yang bisa ditarik-tarik. Siapa yang mengajarkan mereka bahwa merundung itu keren? Mungkin mereka berpikir bahwa itu adalah cara untuk menunjukkan rasa “cinta” mereka yang keliru.
Survei ini juga menunjukkan bahwa 64% siswa telah menyaksikan perundungan terhadap teman sekelas Muslim. Jadi, jika Anda berpikir bahwa bullying hanya terjadi di sudut kelam sekolah-sekolah yang terisolasi, pikirkan lagi. Sebagian besar siswa lebih memilih untuk menjadi penonton daripada pelapor, dengan 74,6% tidak melaporkan perundungan kepada orang dewasa. Apakah mereka percaya bahwa laporan mereka akan berakhir di kotak saran yang sama dengan saran untuk mengganti menu makan siang?
Lebih mengkhawatirkan, banyak siswa merasa tidak perlu melaporkan perundungan, karena mereka percaya hal itu tidak akan membuat perbedaan. Hmm, mungkin mereka perlu menyadari bahwa sikap diam mereka justru membuat situasi semakin parah. Jika kita semua sepakat untuk tidak melaporkan, maka kita berkontribusi pada lingkaran setan perundungan yang tidak ada habisnya.
Laporan CAIR juga menyentuh tentang sentimen anti-Muslim yang meningkat di New York, yang tampaknya mengikuti berita dunia seperti penggemar setia. Pada tahun 2023 saja, CAIR-NY menerima 555 permintaan bantuan hukum, dengan 43% terkait dengan solidaritas Palestina. Ini menunjukkan bahwa perundungan bukan hanya masalah individu, tetapi juga mencerminkan ketegangan sosial yang lebih besar.
Banyak siswa yang melaporkan pembungkaman saat menyuarakan pendapat tentang Palestina, seolah-olah mereka berada di panggung sandiwara yang tidak diperbolehkan untuk berbicara. Ironisnya, di negara yang mengklaim sebagai bastion kebebasan, kita masih melihat siswa dipaksa untuk terdiam seperti burung beo yang hanya bisa mengulang apa yang sudah diizinkan.
Jadi, apa yang bisa kita lakukan? Pertama, mari kita akui bahwa bullying itu ada di mana-mana, dan tidak ada satu pun negara yang kebal terhadap masalah ini. Kita perlu membangun budaya sekolah yang lebih inklusif dan memberdayakan siswa untuk berbicara. Jika kita berharap untuk mengakhiri bullying, kita harus memulainya dengan memberi suara pada mereka yang terlalu lama terdiam. Mari kita bersama-sama menentang bullying, bukan dengan kekerasan, tetapi dengan humor, empati, dan pendidikan.
Karena, pada akhirnya, kita semua berhak untuk belajar dan tumbuh di lingkungan yang aman, tanpa takut dengan bully yang mengintai di sudut-sudut koridor. Mari kita buat bullying menjadi hal yang kuno, seolah-olah kita kembali ke zaman batu!
16 September 2024
AHMADIE THAHA
Wartawan Senior