Hari ini, 21 Juni 2020, 50 tahun yang lalu, seorang putra terbaik bangsa Indonesia menghembuskan nafas terakhirnya, tepat pukul 07.07 WIB, Minggu 21 Juni 1970 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, Jakarta.
Bung Karno, itulah panggilan populer yang ia sukai agar bisa selalu dekat dengan rakyatnya, meninggal dunia setelah menderita komplikasi penyakit cukup parah. Ironis dan menyedihkan, hari-hari terakhir Bung Karno yang dihabiskannya dalam kesendirian, diasingkan oleh bangsanya sendiri. Ia meninggal dalam keadaan sakit dan masih berstatus tahanan rumah.
Tahun 2020 ini, hari meninggalnya diwarnai kontroversi pemikirannya tentang Pancasila yang di.saat-saat akhir kekuasaannya telah menetapkan 1 Juni 1964 sebagai Hari Libur, karena Hari Lahirnya Pancasila.
Sebagai
Tanggal 11 menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang kontroversial, yang isinya —berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan Darat— menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan negara dan institusi kepresidenan. Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di parlemen.
Setelah pertanggungjawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang umum ke empat tahun 1967, Sukarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS pada tahun yang sama dan Soeharto menggantikannya sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia.
Tahun 1966 terbit buku “Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia,” oleh Cindy Adams. Di dalam buku itu banyak keluhan Bung Karno terhadap situasi terakhir politik dalam negeri.
“Aku tidak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat lagi tidur barang sekejap. Kadang-kadang, di larut tengah malam, aku menelpon seseorang yang dekat denganku seperti misalnya Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku… Untuk pertama kali dalam hidupku aku mulai makan obat tidur. Aku lelah. Terlalu lelah,” ujar Bung Karno.
Bung Karno ingin mengatakan, bahwa masalah politik di saat-saat itu menggerogoti jiwanya. Sepertinya Bung Karno tidak mampu menghadapi gelombang cacian dan makian dari bangsanya sendiri. Inilah awal senja kehidupan Bung Karno, berteman dengan sepi.
Menjelang kejatuhan Bung Karno sebagai Presiden RI, Lembert J.Giebels, mantan anggota Majelis Rendah Parlemen Belanda, menulis dalam bukunya “Pembantaian yang Ditutup-tutupi Peristiwa Fatal di Sekitar Kejatuhan Bung Karno, ” terjemahan dari judul aslinya “De Stille Genocide. De fatale gebeurtenissen rond de val de Indonesische President Sukarno.”
Lembert menulis di halaman 232-244 buku itu dengan subbab “Akhir Sukarno.” Dikelilingi oleh diplomat, jurnalis dan anggota staf Istana, Sukarno berlaku seakan-akan ia masih tetap seorang kepala negara yang maha kuasa. Namun gambar-gambar televisi mengungkapkan bahwa Sukarno menyadari bahwa ia hanya memainkan peran sebagai Presiden, tulis Lambert J. Giebels.
Kemudian diteruskan, “Pemirsa bisa melihat bagaimana Presiden secara demonstratif menandatangani surat surat di pangkuan sekretarisnya, dengan gelisah menghela asap rokoknya yang telah ia cabut dari kantong baju salah seorang yang berdiri dalam lingkaran itu… Dengan sebuah gerakan tangan tidak sabar.”
DASMAN DJAMALUDDIN
Sejarawan dan Jurnalis Senior