Friday, March 29, 2024
HomeGagasanBLT KPM Covid-19, Memerlukan Akurasi Data

BLT KPM Covid-19, Memerlukan Akurasi Data

 

Bantuan sosial (bansos) merupakan kewajiban pemerintah dalam sistem negara kesejahteraan yang dianut oleh Indonesia. Dalam APBN, bansos dimasukkan dalam Program Perlindungan Sosial, anggarannya cukup besar dalam 2 tahun terakhir ini, sampai ratusan triliun. Dana Program Perlindungan Sosial hanya beda tipis dengan anggaran pendidikan, yang sudah dipatok 20% dari APBN.

Oleh karena itu, dalam pembahasan trilateral meeting antara Bappenas, Kemenkeu dan kementerian terkait, dalam membahas perencanaan APBN, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak perlu berargumentasi mempertahankan anggaran. Mereka mengatakan anggaran kami 20% dari RAPBN, silahkan kurangi kalau ingin melanggar UU.

Skema Bantuan Sosial (Social Assistance) sebagian besar dananya tersedia di Kementerian Sosial. Ada dua UU yang mem-back up yaitu UU Nomor 11 tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial dan UU Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin. Kedua UU tersebut, leading sektornya adalah Kementerian Sosial.

Secara umum, skema Bansos itu dibagi dua kelompok besar yaitu pertama bersifat in kind (bantuan bentuk barang), dan kedua cash transfer/BLT (pemberian uang tunai) melalui transfer bank.

Bagi Kemensos, model kedua jenis bantuan itu bukan barang baru. Sudah puluhan tahun dikerjakan. Kita kenal ada namanya Program UEP KUBE yaitu Usaha Ekonomi Produktif untuk Kelompok Usaha Bersama. Bantuan dapat berupa modal usaha (uang tunai), maupun bentuk barang tergantung kebutuhan penerima manfaat waktu itu.

Periode Pak SBY sebagai Presiden, dua kali menyalurkan BLT kepada mereka orang miskin yang terdampak kenaikan BBM. Pemberian BLT, tidak melalui transfer bank, karena saat itu belum semaju sekarang era digitalnya. Tetapi ditugaskan PT.Pos, dan menyalurkannya langsung melalui kantor Pos setempat secara terjadwal dan bergelombang. Ada partai politik yang tidak setuju dengan BLT itu, karena mengajarkan masyarakat Indonesia menjadi bangsa peminta. Tetapi pemerintah jalan terus, karena dperhitungkan kenaikan BBM yang terdampak paling berat adalah mereka yang sangat miskin.

Skema sejenis BLT diluncurkan tahun 2007 yakni BLT bersyarat atau Conditional Cash Transfer (CCT), yang digagas Prof. Tarcicio dari World Bank. Sudah berhasil dilaksanakan di negara-negara Amerika Latin. CCT di Indonesia ditabalkan dengan judul Program Keluarga Harapan (PKH).

Mekanismenya sama model BLT, tetapi harus transfer bank, dan hanya diberikan kepada keluarga penerima manfaat (KPM) yang sangat miskin dengan syarat yaitu istrinya sedang hamil, atau punya balita, atau usia sekolah tetapi tidak masuk sistem sekolah. Atau sekaligus, istrinya hamil, juga punya balita, dan juga punya anak yang usia sekolah tidak sekolah.

Peran pendamping PKH sangat penting perannya dan harus terlatih, karena akan mengarahkan dan membangun akses kesejumlah sektor, khususnya kesehatan dan pendidikan, ibu dan anak mendapatkan pelayanan kesehatan dan sektor pendidikan untuk dapat masuk sistem sekolah. Uang yang diberikan bervariasi, digunakan untuk mendukung kebutuhan sehari-hari sang anak melalui ibunya. Oleh karena itu uang tunai Program PKH diberikan kepada si Istri.

Program PKH diklaim sebagai andalan dua presiden yaitu Pak SBY dan Pak Jokowi, yang meneruskannya dengan beberapa modifikasi sampai saat ini.

Bansos bentuk barang itu sudah lazim. Di negara lainnya juga melakukan hal yang sama. Misalnya pemberian roti, susu dan kebutuhan konsumsi lainnya. Turki, sewaktu Tsunami Aceh, setiap selesai Sholat Jum’at di Masjid Raya Banda Aceh, memberikan roti kepada jemaah sholat Jum’at.

Indonesia sudah lebih 16 tahun memberikan bansos in kind dalam bentuk beras raskin yang disalurkan oleh Bulog. Jumlah dananya cukup besar hampir 20 triliun setiap tahunnya, dengan belasan juta ton beras, yang dibeli Bulog dari petani.

Saat ini Raskin yang berubah namanya menjadi Rasta, tidak lagi diberikan bentuk beras, tetapi uang melalui kartu program BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai). KPM pemegang kartu di isi kartunya dengan pulsa uang sejumlah tertentu, dan harus dibelanjakan dengan item sembako tertentu di e-warung yang ditunjuk. Nah di sini ada lahan vendor untuk memasok sembako ke e-warung yang sudah di beri fasilitas mesin edc. Tentunya sudah berkolaborasi dengan pejabat penanggungjawab program, dan Himbara sebagai chaneling dana APBN untuk KPM tersebut.

Kembali ke soal BLT, memang BLT di Indonesia diluncurkan karena keadaan emergency. Dulu SBY meluncurkannya karena adanya kebijakan kenaikan harga BBM. Saat ini, untuk tahun 2021 Presiden Jokowi sudah perintahkan Mensos Bu Risma, luncurkan BLT sebesar Rp. 300 ribu per KPM perbulan, karena emergency Covid-19, khususnya di Jabodetabek.

Memang skema BLT akan lebih efisien, efektif, dan jauh dari kongkalikong atau patgulipat. Uang masuk langsung ke rekening KPM, melalui Bank Himbara, atau kalau tidak ada rekening, kantor Pos langsung mengantarkan uangnya ke rumah-rumah KPM. Itu komitmen Bu Risma.

Uang sebesar Rp.300 ribu perbulan, disarankan untuk belanja sembako di warung tetangga terdekat, walaupun sedikit mahal tidak apa-apa. Hitung-hitung saling membantu tetangga. Dalam suasana Covid-19 ini, mungkin tidak ada lagi KPM menggunakannya untuk membeli rokok, karena resiko merokok akan merusak paru-paru dan memudahkan virus Covid masuk ke paru-paru. Yang paling mungkin selain sembako membeli pulsa untuk paket internet anaknya belajar dirumah.

Skema BLT ini juga pasti lebih hemat, karena tidak ada biaya transportasi barang dan goodie bag, yang dalam sembako bermasalah, biayanya Rp. 30.000.- per paket. Jumlah tersebut sudah dapat membeli 3 liter beras.

Data, Kunci Keberhasilan

Apapun bentuknya, yang penting data penerima manfaat. Jangan sampai yang tidak berhak mendapat, dan yang berhak tidak mendapat. Hal ini sudah terjadi saat distribusi sembako di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Ada disuatu RT di Jakarta yang tidak perlu disebutkan (tidak etis), mendapatkan bantuan beras dari pemerintah. Padahal hampir semua warganya adalah bukan orang miskin. Ketua RT panik, karena beras didrop kerumahnya. Kemudian diinfokan via whatsapp group ke warga, siapa yang mau ambil beras, dan siapa yang berkenan untuk diserahkan kepada yang lebih berhak. Semua mengatakan tidak mau mengambil, dan diserahkan/disalurkan kepada mereka yang lebih berhak disekitar RT itu.

Saya tidak membayangkan jika diberikan dalam bentuk transfer uang kepada yang salah sasaran, apa tidak sulit menyelesaikannya. Bisa-bisa Ketua RT tekor karena harus mengembalikan uangnya.

Intinya disamping kelebihan dan kekurangan skema in kind dan cash transfer, yang maha penting adalah akurasi data. Dalam suasana pandemi Covid-19 ini, up dating data menjadi suatu keharusan dan berkelanjutan. Jumlah yang miskin semakin meningkat, karena kehilangan pekerjaan, dan keterbatasan untuk berusaha/berniaga.

Verifikasi dan validasi data (DTKS), harus seperti ban berjalan. Check and recheck diperlukan, dengan mengumumkan mereka yang berhak di media publikasi kelurahan/desa. Lurah/Kepala Desa bertanggung jawab atas data KPM yang diberikan. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah juga bertanggungjawab untuk memberikan BLT yang datanya sudah akurat dari hasil verifikasi dan validasi. Keterbukaan informasi merupakan mekanisme untuk mencegah terjadinya kegaduhan di masyarakat.

Jika akurasi data sudah menjadi panglima. Ada pernyatan tanggung jawab mutlak dari pengelola di setiap jenjang level penyelenggara pemerintah. Maka pemberian BLT akan menjadi salah satu solusi yang dapat meringankan beban ekonomi mereka yang terdampak paling berat dari pandemi Covid-19, yang belum dapat berita kapan akan berakhir. Mudah-mudahan vaksinasi yang di mulai Januari 2021, dapat menurunkan positivity rate di bawah 5% kasus Covid-19 di Indonesia. Insya Allah.

Cibubur, 30 Desember 2020

 

CHAZALI H. SITUMORANG

Pemerhati Kebijakan Publik dan Dosen FISIP UNAS

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular