Friday, October 11, 2024
spot_img
HomeGagasanBlok Masela dan Pertarungan Kelompok Kepentingan

Blok Masela dan Pertarungan Kelompok Kepentingan

btcND2fA7G

Sebuah ironi besar apabila bangsa sebesar Indonesia tetapi kekayaan sumber daya alam (SDA) melimpah yang dimiliki ternyata tidak mampu menyejahterakan bangsanya sendiri. Lebih miris kekayaan itu justru mengharuskan kita jatuh ke dalam jurang hutang yang cukup besar saat ini.

Lebih memalukan lagi, ketika sebuah bangsa yang dengan kekayaannya seharusnya mampu mensubsidi rakyatnya, justru jatuh miskin dan bahkan untuk sekedar menutup APBN saja harus berhutang.

Ironi kini semakin besar ketika penentuan pengelolaan Blok Masela di Indonesia bagian timur pun seperti kebijakan tanpa ujung. Terkesan negara seperti tidak punya pemimpin, hingga kabinet yang harusnya bekerja untuk negara pun berubah menjadi pejabat yang harus bekerja untuk sebuah kepentingan. Tentunya bukan kepentingan negara tetapi pribadi dan kelompok.

Terbelahnya keinginan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan Kemenko Kemaritiman adalah wujud nyata bahwa sesungguhnya negara ini masih dipimpin oleh ego yang besar. Kementerian ESDM merencanakan pengelolaan secara offshore dan Kemenko Kemaritiman menginginkan secara onshore.

Perbedaan pendapat ini bahkan menular hingga ke tengah publik, kalangan praktisi, akademisi dan pengamat isu terkait dimana semuanya terbelah dengan berbagai macam pernyataan dan analisa. Hampir setiap hari terjadi saling berbantah lisan maupun tulisan tentang masa depan Blok Masela. Seolah Masela ini hanya urusan onshore dan offshore saja hingga mengabaikan kepentingan yang lebih besar. Sebagai contoh pihak pembela onshore bahkan selalu menyerang pihak lain dengan kata-kata yang bahkan kurang layak disampaikan dalam sebuah ruang perbedaan pendapat. Selalu merasa lebih pintar, merasa lebih hebat dan merasa lebih nasionalis. Padahal mereka lupa bahwa implementasi wujud nyata Pasal 33 dari UUD 1945 bukanlah masalah onshore, atau memutuskan pengelolaan Blok Masela di darat. Sungguh pemikiran yang keliru dan pendek, hanya dengan memutuskan Masela secara onshore sudah dapat mengklaim diri nasionalis dan sebagai wujud implementasi konstitusi.

Para “pemaksa kehendak” ini, (maaf, sebutan untuk pembela onshore) lupa atau tidak paham, bahwa wujud implementasi Pasal 33 konstitusi itu adalah memperjuangkan golden share bagi daerah yang hingga kini belum jelas. Memperjuangkan kepemilikan saham nasional pada Blok Masela secara maksimal, misalnya Pertamina 25% atau lebih, memperjuangkan agar pemanfaatan produksi Blok Masela 100% untuk kebutuhan nasional merupakan isu yang jauh lebih substantif. Inilah yang sesungguhnya wujud dari Pasal 33 tersebut, bukan justru memaksa membawanya menjadi masalah onshore semata.

Mengapa para “pemaksa kehendak” itu tidak pernah memperjuangkan hal-hal diatas? Mengapa hanya sibuk memaksakan kehendak harus dikelola secara onshore? Mengapa tidak mempertanyakan kepemillikan asing di Blok Masela yang kini 100%? Apakah ada kepentingan pengusaha pipa dalam pemaksaan kehendak tersebut?

Menjadi menarik jika kita mampu menginventarisir siapa saja pengusaha pipa (minyak) di negara ini, jangan-jangan ini ada kepentingan, dan kepentingan inilah yang sedang dibela.

Bicara tentang multiplayer effect dari pengelolaan secara onshore yang selalu didengungkan oleh pihak pembelanya ibarat memberi mimpi atau memberi harapan yang bisa saja terbukti dan bisa saja tidak. Ibarat seorang gembong teroris yang mencuci otak “pengantin” bom bunuh diri, menjanjikan bidadari dan surga untuk pelaku, seolah dialah yang punya surga. Iming-iming janji inilah yang membuat perseteruan ini semakin ramai dan semakin jauh dari target keputusan. Seolah jika dikelola secara offshore, maka pabrik pupuk tidak bisa dibangun, industri lainnya berbasis gas tidak bisa dibangun. Tentu ini sebuah pendapat keliru, karena dikelola secara offshore pun bisa mengembangkan industri berbahan gas di darat, yang penting bahan bakunya disuplai dari fasilitas offshore.

Belum lagi investasi onshore yang lebih mahal, bahkan selisih biaya investasi onshore dengan offshore lebih dari cukup untuk membangun industri berbahan gas seperti pupuk dan industri lainnya di daratan Maluku. Jika demikian mengapa offshore selalu dianggap tidak amanah? Selalu dianggap sebagai antek asing? Ini aneh dan sepertinya sekedar upaya membentuk opini demi sebuah kepentingan yang tidak terucap.

Pembangunan fasilitas secara offshore juga lebih pasti dari sisi waktu, karena hambatan dalam pengadaan tanah yang panjangnya ratusan kilometer tentu membawa kendala tersendiri. Kita tahu bahwa pengadaan tanah untuk infrastruktur selama ini adalah bagian tersulit dan selalu menjadi hambatan utama, bahkan hal ini jugalah yang sering menghambat investor masuk. PLN adalah salah satu BUMN yang paling merasakan sulitnya pengadaan tanah untuk kebutuhan listrik. Bisa saja nanti hingga pemerintahan ini berakhir, pengadaan tanah untuk jalur pipa sepanjang ratusan kilometer tidak usai, yang akibatnya negara dan rakyat tidak bisa menikmati peningkatan kesejahteraan dari kekayaan Blok Masela ini.

Berapa lama lagi perseteruan Masela ini akan berakhir? Akankah perbedaan pendapat ini akan menjadikan Blok Masela sebagai gelanggang (abadi) perseteruan kepura-puraan para pembela kepentingan?

Sepertinya inilah momentum presisi bagi Presiden Joko Widodo untuk turun tangan dan segera memutuskan masa depan Blok Masela. Presiden sebagai pemimpin tertinggi pemerinatahan tidak boleh larut dalam perseteruan Blok Masela dan harus tampil dengan tegas menjadi the last decision maker. Segala pertimbangan dan analisis sudah lengkap tersaji, tinggal sikap Presiden yang dibutuhkan saat ini.

FERDINAND HUTAHAEAN

Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Berita Terbaru

Most Popular