Mohammad Yamin memanggil Tan Malaka sebagai Bapak Republik Indonesia. Sukarno belajar teori politik dan revolusi kepadanya. Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ia pernah meringkuk dalam penjara negara imperialis saat di Filipina dan Hong Kong. Namun, hidupnya berakhir menyedihkan di ujung bedil tentara republik yang pernah ia impikan. Bahkan, Tan Malaka cenderung dilupakan oleh bangsanya sendiri. Mari sejenak belajar pemikiran dan filsafat politik Tan Malaka.
Tan Malaka adalah seorang revolusioner yang brilian. Pikirannya luas dan jernih. Ia memiliki semangat juang yang berkobar-kobar dalam perjuangan politik revolusionernya. Ia seorang petualang sejati, menjelajahi berbagai belahan bumi dalam perjuangan politiknya. Dia adalah seorang Marxist sekaligus nasionalis sejati dalam pemikiran dan tindakannya.
Lahir di bumi Minangkabau, Sumatera Barat, Tan Malaka melanjutkan studinya di Belanda dan pernah berpidato di pertemuan Komunis Internasional di Rusia. Ia bergaul dengan kaum buruh di Indonesia, terlibat dalam perjuangan bawah tanah di Tiongkok dan Tokyo, serta mengajar bahasa Inggris dan matematika untuk bertahan hidup di Singapura. Di antara semua pencapaian itu, yang paling agung adalah sebagai seorang kritikus, revolusioner kiri, dan petarung yang tak mengenal lelah.
Sebagai kritikus, Tan Malaka tidak sependapat dengan pandangan politik yang sempit. Ia mengangkat isu nasionalis dan internasionalis. Ia menyajikan pemikiran Marxisme-Komunisme yang lebih maju dalam menganalisis masalah dan perjuangan politik di Indonesia. Ia meninggalkan pemikiran mistis dan filsafat idealisme barat yang rapuh, tetapi tetap memahami pemikiran-pemikiran tersebut. Bahkan ia dapat menerjemahkan Islam secara radikal. Kata Tan Malaka, Islam telah mengajarkan sosialisme dan anti penjajahan 12 abad sebelum Karl Marx lahir.
Tan Malaka menjadi seorang pemikir kiri yang radikal dan mengembangkan konsep Madilog sebagai cara berpikir alternatifnya. Filsafat politik Tan Malaka berakar pada analisis situasi nasional dan internasional dari perkembangan kapitalisme dunia. Ia mendorong lahirnya partai revolusioner di Indonesia. Menurut Tan Malaka, perjuangan harus diorganisir melalui partai terorganisir dan hanya bisa dicapai melalui aksi massa rakyat. Perjuangan itu tidak hanya untuk meraih kekuasaan politik semata, tetapi juga harus mampu menghancurkan kapitalisme.
Dalam pandangan Tan Malaka, pertentangan kelas adalah sifat sejarah yang menciptakan revolusi. Pertentangan kelas di Prancis, Inggris, dan Rusia pada akhir dan awal abad ke-18 dan ke-19 telah melahirkan revolusi besar yang menentukan kemajuan awal sejarah kapitalisme modern. Revolusi besar ini dapat menjadi pelajaran bagi masa depan Republik Indonesia yang saat itu masih ditindas oleh Belanda. Revolusi adalah takdir yang tak terelakkan.
Tan Malaka memiliki visi politik yang sesuai dengan konteks perjuangan Indonesia untuk melawan imperialisme Barat yang berakar pada ketamakan kapitalisme. Ia juga memahami perbedaan besar antara watak masyarakat di Indonesia, India, dan Filipina yang terletak pada keberadaan borjuasi pribuminya serta perilaku penjajah dan borjuisnya. Hal ini juga ditekankan oleh Ben Anderson (2015) dan Takashi Shiraishi (2005) dalam melihat pertumbuhan watak politik pergerakan di Indonesia.
Tan Malaka mengeritik sikap tamak para kolonialis-borjuis yang menikmati kekayaan Indonesia sementara rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan. Tan Malaka harus diakui dan diperhitungkan dalam pergulatan pemikiran dan politik di Indonesia. Ia bukan hanya seorang politikus berpandangan maju, tetapi juga seorang penulis yang cerdas dan berapi-api dalam menggambarkan watak sejarah dan elit borjuis di masa kolonial yang tidak jauh berbeda dengan situasi saat ini yang elitis dan serba pragmatis.
Tan Malaka menulis sebagai bagian dari perjalanan dan pertarungan politiknya. Ia memiliki pandangan yang sangat maju di zamannya dan sangat percaya pada pemikiran Marxisme-Komunisme sebagai alat perjuangan nasional dan internasional. Empat karyanya yang paling penting adalah “Menuju Republik Indonesia” yang selesai ditulis di Tiongkok pada April 1925, “Aksi Massa” yang ditulis di Singapura pada 1926, “Semangat Muda” yang ditulis di Tokyo pada Januari 1926, dan “Madilog” yang ditulis di Indonesia pada tahun 1946.
Membaca keempat karya tersebut sangat penting untuk memahami filsafat pemikiran dan perjuangan Tan Malaka sebagai seorang revolusioner sejati, bersama dengan beberapa karya lainnya. “Menuju Republik Indonesia” adalah karya yang hadir dalam masa perjuangan politik bangsa Indonesia ketika kesadaran politik dan aksi revolusioner rakyat mulai tumbuh. Tan Malaka menggambarkan situasi global pasca Perang Dunia I yang melahirkan pemenang-kalah dan persaingan antara pemenang. Ia menyerukan kaum komunis untuk bersiap-siap berjuang dan memandang perjuangan sebagai bagian dari watak sejarah yang dirumuskan oleh Karl Marx.
Ia menyoroti situasi di Indonesia sebagai wilayah yang dieksploitasi oleh imperialis Belanda. Perlakuan kapitalisme kolonial Belanda sangat zalim jika dibandingkan dengan perlakuan kolonialis di India dan Filipina yang didukung oleh daya tawar borjuasi pribuminya. Tan Malaka mendesak perlawanan dengan semangat Marxist, “Kamu tak akan kehilangan sesuatu milikmu kecuali belenggu budakmu.”
Bagian penting dalam karya ini adalah bagian yang mendorong aksi untuk menggorganisir perjuangan menyambut hancurnya kapitalisme kolonial Belanda dengan menyusun sejumlah program partai revolusioner, Partai Komunis Indonesia, yang mencakup program ekonomi, politik, sosial, pendidikan, militer, polisi, dan rencana aksi. Karya “Menuju Republik Indonesia” ini sangat relevan dengan karya “Aksi Massa” dan “Semangat Muda”. Dalam “Aksi Massa”, Tan Malaka mengajukan aksi massa revolusioner seperti aksi BMD (boikot, mogok, dan demonstrasi) yang hanya bisa dilakukan dengan kepeloporan partai revolusioner dalam melancarkan politik kelas untuk mengusir imperialisme dan menghancurkan kapitalisme.
Tan Malaka tidak pernah yakin dengan partai borjuis yang tidak terhubung dengan massa proletar. Oleh karena itu, ia mengkritik kelemahan visi perjuangan gerakan nasionalis seperti Budi Utomo, Indische Party, dan Serikat Islam yang tidak hanya berpandangan sempit, jauh dari rakyat, tetapi juga hanya mengejar kemenangan politik semata. Tan Malaka lebih percaya partai politik yang revolusioner untuk perubahan yang lebih revolusioner. Perjuangan politik dan partai politik harus benar-benar kaffah. Menurut Tan Malaka tentang organisasi-organisasi ini yang kemudian melahirkan partai-partai nasionalis, “Mereka dibesarkan oleh pendidikan borjuis secara Barat sehingga tidak terhubung dengan massa Indonesia dan tidak memiliki perasaan untuk mencari logika untuk mendapatkan program nasional yang proletaris.” Mereka hanya akan menjadi elit yang lemah di hadapan kepentingan kolonial dan masa depan republik ini.
Di sisi lain, dalam “Semangat Muda”, Tan Malaka mengulang kembali filsafat perkembangan masyarakat, situasi Indonesia secara ekonomi, politik, dan sosial yang harus menjadi landasan pergerakan revolusioner Partai Komunis Indonesia. Tak ketinggalan, Tan Malaka juga menuliskan dan meletakkan dasar ijtihad pemikirannya dalam konteks Indonesia yang disebut Madilog, Materialisme-Logika-Dialektika, yang berwawasan ilmiah dan dapat menjadi senjata perjuangan kelas di Indonesia. Sebuah senjata wacana untuk melahirkan revolusi dalam berbagai keadaan dan tidak bertumpu pada pemimpinan yang elitis. Madilog adalah wujud kebebasan berpikir dan bukan dogma yang hanya ditelan begitu saja.
Tan Malaka wajib dikenang sebagai seorang revolusioner tanpa tandingan yang berani menentukan sikap, melampaui nasionalisme, dan memilih jalan sunyi yang orisinil dan berpihak kepada rakyat. Revolusi, menurut Tan Malaka, adalah memberikan sumbangsih pemikiran revolusioner bagi perjuangan panjang negeri ini. Ia adalah guru politik bagi para pejuang sejati. Bahkan, pemikiran dan filsafat politiknya dapat memajukan ideologi perjuangan partai politik di negeri ini terutama menjelang Pemilu 2024. Tan Malaka berkata, “dari dalam kubur suara saya terdengar lebih keras daripada di atas bumi.”
MUHAMMAD THAUFAN AARIFUDDIN
Dosen FISIP Universitas Andalas




