
“Budaya yang terpaku pada tubuh kurus perempuan bukanlah obsesi terhadap kecantikan perempuan, melainkan obsesi terhadap kepatuhan perempuan.” — Naomi Wolf (62), The Beauty Myth (1990).
Tubuh gelap Nyakim Gatwech adalah tubuh yang menolak tunduk pada mitos kecantikan yang diproduksi industri.
Ia bukan sekadar model, melainkan tubuh yang menjadi medan perlawanan terhadap estetika dominan yang telah lama mengasingkan warna kulit gelap dari panggung keindahan.
Dijuluki “Ratu Kegelapan”, Nyakim lahir di Ethiopia dan dibesarkan di Sudan Selatan, membawa warisan Afrika Timur yang pekat dalam pigmen kulitnya.
Tubuhnya bukan hanya permukaan, melainkan kedalaman sejarah, trauma, dan kebanggaan yang tak bisa direduksi menjadi sekadar eksotika.
Dalam Totality and Infinity: An Essay on Exteriority (1961), filsuf Perancis Immanuel Levinas (1906-1995) mengembangkan gagasan fenomenologi bahwa etika muncul dari perjumpaan dengan “Yang Lain” melalui wajah (tubuh).
Wajah bukan sekadar bentuk fisik, melainkan manifestasi kehadiran moral yang menuntut tanggung jawab dan tidak bisa direduksi menjadi objek pengetahuan.
Levinas mengulas, “wajah adalah kehadiran “Yang Lain.“ Itu adalah sebuah pencerahan. Melihat wajah berarti mendengar ‘Jangan membunuh.’”
Ia pun menegaskan bahwa wajah adalah panggilan etis yang menginterupsi ego dan menuntut tanggung jawab terhadap sesama.
Tubuh Nyakim adalah wajah yang menuntut dunia untuk melihat, bukan sebagai objek, tetapi sebagai subjek yang berbicara. Ia menolak menjadi cermin bagi hasrat kolonial yang ingin menjinakkan kegelapan.
Tubuhnya adalah terang yang membalikkan logika visual Barat bahwa terang tidak selalu putih, dan gelap bukanlah ketiadaan.
Ia adalah tubuh yang memaksa kita untuk meninjau ulang kategori estetika yang telah lama dibentuk oleh kekuasaan.
Naomi Wolf dalam Mitos Kecantikan (2000) mengungkap bagaimana industri kecantikan menciptakan standar yang menindas, menjadikan tubuh perempuan sebagai ladang komodifikasi.
Seperti dikatakan Wolf, ‘Beauty’ is a currency system like the gold standard.”
Nyakim Gatwech menolak menjadi bagian dari narasi itu. Ia tidak menjual tubuhnya sebagai produk, melainkan sebagai pernyataan.
Ia hadir di runway bukan untuk memuaskan mata, tetapi untuk mengganggu pandangan. Kulitnya yang gelap bukan kekurangan, melainkan kelebihan yang menantang norma.
Ia adalah tubuh yang tidak bisa dipoles, tidak bisa diputihkan, tidak bisa disesuaikan dengan katalog kecantikan yang homogen.
Meski banyak klaim menyebutkan bahwa ia tercatat dalam Guinness Book of World Records sebagai manusia dengan kulit paling gelap di dunia, kenyataannya tidak ada pengakuan resmi dari lembaga tersebut.
Nyakim Gatwech, yang sering dijuluki “Queen of the Dark”, lahir pada 27 Januari 1993 di Gambela, Ethiopia.
Namun, klaim bahwa ia mendapatkan Guinness World Record sebagai perempuan dengan kulit paling gelap di dunia adalah tidak benar.
Pihak Guinness World Records telah menyatakan bahwa mereka tidak pernah mencatatkan rekor berdasarkan warna kulit seseorang, dan agensi model yang menaungi Nyakim juga membantah klaim tersebut.
Meski begitu, Nyakim tetap menjadi ikon kecantikan dan keberagaman, serta aktif menyuarakan pesan self love dan body positivity melalui media sosial dan dunia modeling.
Dengan kata lain, pengakuan sejati tidak datang dari institusi, melainkan dari resonansi tubuhnya di hati jutaan orang yang selama ini merasa tak terlihat.
Ia adalah ars erotica yang tidak menjual seksualitas, tetapi mengungkapkan sensualitas tubuh yang berani menjadi dirinya sendiri.
Tubuh gelapnya adalah tubuh yang tidak meminta izin untuk hadir, tetapi menuntut ruang untuk dihormati.
Nyakim Gatwech adalah tubuh yang menolak menjadi bayangan. Ia adalah tubuh yang menjadi cahaya bagi mereka yang selama ini hidup dalam gelap.
Dalam tubuhnya, kita melihat bukan hanya pigmen, tetapi filsafat bahwa keindahan bukanlah apa yang disetujui oleh pasar, melainkan apa yang mampu mengguncang kesadaran.
Tubuh gelapnya adalah tubuh yang mengajarkan bahwa erotika sejati adalah keberanian untuk menjadi nyata.
#coversongs: Lagu “Ebony and Ivory” dirilis pada 29 Maret 1982 dan merupakan kolaborasi antara Paul McCartney (83) dan Stevie Wonder (75).
Lagu ini menggunakan metafora tuts piano berwarna hitam (ebony) dan putih (ivory) yang harus dimainkan bersama untuk menciptakan harmoni.
REINER EMYOT OINTOE
Fiksiwan