Friday, March 29, 2024
HomeGagasanAntara Ahok, Trump dan Salman Rusydi

Antara Ahok, Trump dan Salman Rusydi

images (1)

Donald Trump, kandidat presiden Amerika saat ini, selalu mempersoalkan agama lawan-lawan politiknya. Baik ke sesama calon presiden partainya sendiri, Partai Republik, maupun kepada Hillary Clinton dari Partai Demokrat. Misalnya dia meragukan agama Ted Cruz yang juga Evangelical seperti dirinya dimana bisa dilihat dari ucapannya berikut ini,

“Just remember this,” Trump said at the time.  “In all fairness, to the best of my knowledge, not too many evangelicals come out of Cuba, OK?”

Trump juga menjelaskan kepada publik bahwa Romney berbeda dengannya, karena Romney seorang penganut Mormon. Begitu juga banyak ekploitasi perbedaan-perbedaan karena agama yang berbeda yang dieksploitasi Trump pada masa kampanye selama ini. Akhirnya Trump mengungguli kandidat republik lainnya untuk bertarung dengan Hillary Clinton dan saat ini telah melewati debat pertama.

Namun, secara teliti, kita tidak pernah melihat bahwa Trump mengatakan agama lawan-lawan politiknya adalah agama sesat, tipu dan buruk lainnya. Trump hanya mengatakan bahwa agamanya Protestan Evangelical adalah ajaran yang dianut mayoritas rakyat Amerika dan dia ada disitu untuk mewakilinya.

Misalnya ketika Trump menyerang umat Islam dengan mengatakan akan menutup pintu Amerika bagi kedatangan imigran Muslim, Trump sama sekali tidak menjelekkan Al-Quran atau ayat-ayat dalam Al-Quran. Umat Islam Amerika boleh sedih, tapi keyakinan mereka tidak diserang selama pemilu Amerika ini.

Di Jakarta, kita saat ini tersentak dengan penghinaan agama Islam yang dilakukan oleh Ahok, kandidat Gubernur petahana. Dalam video yang disebar netizen, Ahok mengatakan bahwa Al-Quran, khususnya surah Al-Maidah tentang keharusan memilih karena seiman adalah ayat tipuan. Dia menegaskan kepada rakyat yang dikunjunginya bahwa “program yang dia canangkan  akan tetap jalan meskipun rakyat itu tidak memilihnya”. Soal tipu ini terkait pernyataannya “karena tidak memilih karena ditipu surah Al-Maidah”

Suasana sudah semakin tidak terkendali saat ini. Polisi sepertinya enggan memproses laporan masyarakat soal penistaan agama. Yusril Izha Mahendra mengeluarkan himbauan agar polisi memproses pengaduan masyarakat agar semuanya menjadi jelas. Ustad Arifin Ilham mengutuk Ahok. MUI mengutuk Ahok. Ormas-ormas Islam semua panas.

Kejelasan urusan penistaan agama ini hanya bisa terbukti jika polisi merespon dengan cepat persoalan ini. Jika tidak maka sebenarnya kita tidak akan pernah tahu kebenaran dan maksud tujuan Ahok mengatakan surat Al-Maidah itu surat tipu-menipu.

Jika kita merujuk pada negara “bapak demokrasi” yakni Amerika Serikat, maka sudah jelas kepiawaian Trump dalam memainkan isu agama tidak menjadi penistaan agama. Trump hanya menonjolkan ke-Kristen-an dirinya mewakili ikatan sosiologis bangsa mereka. Setidaknya rakyat Amerika sejauh ini mengapresiasi Trump, sehingga dia lolos mewakili partai Republik dalam pertarungan Capres Amerika.

Ahok dan Salman Rusdhi

Ayatollah Rohullah Khomeini pada tahun 1989 mengeluarkan fatwa bahwa Salman Rusdhi harus dibunuh dimanapun berada karena telah menghina Al-Quran. Salman menghina Al-Quran dalam bukunya “ayat-ayat setan”. Pemerintah Iran akan memberi hadiah bagi yang berhasil membunuh Rusdhi.

Peristiwa ini menggemparkan dunia, karena buku “ayat-ayat setan” diterbitkan di Inggris tahun 1988 atas nama “freedom“. Sementara Khomeini adalah pemimpin bangsa Iran. Namun, akhirnya sampai saat ini masalah agama menjadi persolan lintas negara. Banyak kekerasan-kekerasan di dunia terjadi seperti bom, penembakan dan serangan serangan lain dilakukan atas nama agama.

Lalu mengapa Ahok mengekspresikan kebencian terhadap Al-Quran di negara yang mayoritas penduduknya Islam? Hal ini tentu perlu dicermati lebih lanjut. Pertama, apakah Ahok berada dalam kondisi panik dengan beberapa survei yang menunjukkan elaktibilitasnya terjun bebas? Kedua, apakah Ahok memang mengembangkan perlawanan terhadap isu mayoritas versus minoritas dengan skenario penyerangan terhadap Islam dengan harapan seluruh minoritas blocking vote di belakang dia sebagai modal pasti dukungan? Atau ketiga, apakah ini hanya kekhilafan biasa manusia?

Dalam hal pertama, memang kita melihat bahwa ada korelasi terjun bebasnya dukungan terhadap Ahok terkait sentimen agama dan ras. Namun, mencari alasan kepada kesalahan Islam dan umat Islam adalah kesalahan besar. Bangsa ini belum sejauh Republik Islam Iran yang bisa mengeluarkan fatwa kepada Salman Rusdhi, keradikalannya. Di sini mayoritas Islam Jawa yang tepo seliro atau tenggang rasa.

Orang-orang yang melawan Ahok pun selama setahun ini dalam proteksi wong cilik,  diwakili secara utama oleh tokoh non-muslim, seperti Rohaniawan Katolik Romo Sandyawan, tokoh masyarakat Tionghoa Jaya Suprana, Lien Siok Lan dan Lius Sungkarishma, pemuda Kristen Ferdinand Hutahaean dan masih banyak lagi. Bahkan tokoh pemuda Tiong Hoa, Zeng Wei Jan dan Wawat Kurniawan menuduh Ahok yang selalu memainkan playing the victim dalam isu rasial ini.

Sesungguhnya Ahok harus sadar bahwa beberapa Menteri Presiden Joko Widodo ataupun kabinet sebelumnya yang berasal dari etnis Tionghoa maupun non-muslim tidak menjadi isu bagi mayoritas umat Islam.

Jadi, seandainya Ahok panik dengan melorotnya elaktibilitasnya dalam berbagai survei, harus dicari cara-cara yang positif dalam merespon hal tersebut dan bukan malah bermain isu seperti ini. Kedua, jika Ahok melakukan strategi untuk memperkuat barisan kaum minoritas sebagai blocking vote untuknya, hal ini tentu akan lebih elegan jika Ahok mencontoh pikiran Max Weber, misalnya, yang mengetengahkan ajaran dia terhadap kemajuan sebuah bangsa. Bukan menjelekkan ayat suci sebuah agama.

Sebagai sebuah agama atau pun ras yang mewakili Ahok, jika dimunculkan keunggulankeunggulan positifnya, nanti akan menyumbangkan banyaknya nilai-nilai positif bagi bangsa kita.

Ketiga, jika itu sebuah kekhilafan, tentu Ahok harus segera meminta maaf pada umat Islam. Jangan malah menjual kesombongannya sebagai penguasa yang penuh backing aparat. Umat Islam Indonesia tentu berbeda dengan Islam Iran yang bisa mengeluarkan fatwa bunuh seperti kasus pada Salman Rusdie. Tapi bukan berarti umat Islam Indonesia untuk menjaga kehormatannya tidak mengerti “harga sebuah peti mati”.
‎‎

DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN

Ketua Dewan Syariah Serikat Pekerja PPMI 98

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular