JAKARTA -Sistem penerimaan siswa baru untuk SMP, SMA dan SMK tahun ajaran baru 2020-2021 banyak dikeluhkan orangtua murid. Pasalnya, mereka menyesalkan anak mereka kalah bersaing untuk masuk sekolah negeri hanya karena faktor usia sementara nilai anaknya lebih bagus dari siswa yang diterima karena umurnya lebih tua.
Maryati (bukan nama sebenarnya), warga kelurahan Cipinang Besar Utara, Jakarta Timur ini harus menyesalkan nasib putranya yang harus tersingkir hanya karena usia anaknya lebih muda pada sistem pendaftaran siswa baru lewat jalur Afirmasi pemegang KJP/KJP plus.
“Gimana gak sedih anak saya paling tinggi nilainya di sekolah tapi tidak diterima hanya soal umur, sampai anak saya nangis,” ujar Maryati menceritakan kesedihan dia dan anaknya.
Menurut Maryati bukan hanya dia saja yang sedih tapi masih banyak orangtua lain yang sama sedihnya dengan dia saat mengetahui anaknya ditolak masuk sekolah negeri hanya karena faktor usia.
“Makanya bukan saya aja yang sedih tapi banyak orang tua yang kayak saya kok kayak gini… Buat apa belajar, buat apa les kalo ujungnya yang diliat adalah umur,” ungkap Maryati kesal.
Demikian juga Yohana, warga Pasar Minggu, Jakarta Selatan, mengungkapkan kekesalannya terhadap sistem penerimaan murid baru yang ada saat ini. Buat Yohana sistem penerimaan siswa yang menggunakan parameter usia jauh dari rasa keadilan.
“Anak saya nilainya bagus tapi yang masuk malah temannya yang nilainya lebih rendah dari anak saya karena usianya jauh lebih tua,” cerita Yohana.
Yohana mempertanyakan ukuran umur dijadikan syarat seleksi. Menurutnya untuk masuk jenjang SMP, SMA dan SMK lebih tepat ukurannya adalah nilai bukan umur.
“Anak anak kita itu kan sudah berjuang selama 6 tahun untuk yang di SD dan berjuang selama 3 tahun untuk yang SMP. Mosok giliran mau masuk sekolah negeri nilai prestasi belajar mereka tidak berguna hanya karena kalah tua di umurnya,” kesal Yohana.
Sementara itu, Ketua Relawan Advokasi Pendidikan Indonesia (RAPI INDONESIA) Syah Dinihari, SH dalam siaran persnya juga mengecam syarat seleksi yang menggunakan usia siswa dalam sistem penerimaan siswa baru untuk SMP, SMA dan SMK tahun ini, dalam siaran persnya hari ini, Minggu (21/6/2020) di Jakarta.
Menurut Hari, begitu ia biasa dipanggil, seharusnya pemerintah dalam membuat sistem harus berlandaskan keadilan sosial sehingga tidak menimbulkan kerugian terhadap siswa-siswa sekolah yang sudah bertahun-tahun berjuang di sekolah untuk mendapatkan nilai yang bagus.
“Ini akan menjadi preseden yang buruk, di mana orangtua dan siswa akan beranggapan tidak perlu pintar bersekolah itu yang penting umurnya tua bisa masuk sekolah negeri. Dan jika ini terjadi maka sistem pendidikan di Indonesia terancam ambruk,” tegas Hari yang juga aktivis 98 dari organisasi Komite Mahasiswa dan Rakyat untuk Demokrasi (KOMRAD).
Selain syarat seleksi usia yang banyak dikeluhkan orangtua murid, Hari juga menyebutkan ada ketidakadilan juga dalam sistem penerimaan melalui jalur prestasi akademik yang harus ditempuh siswa SD dan SMP di mana ada ketidakseragaman sistem penilaian di sekolah negeri dan swasta.
“Siswa yang berasal dari SD dan SMP swasta bisa mendapatkan nilai yang lebih tinggi dari SD dan SMP negeri. Karena indeks prestasi diambil dari nilai rapor 60% ditambah akreditasi 40%,” papar staf ahli anggota DPR RI Habiburrokhman itu.
Hari juga menyampaikan keluhan dari tenaga pendidik yang mengeluhkan sistem penerimaan siswa baru yang ada saat ini dinilai diskriminatif. Sekolah negeri dipaksa untuk menerima siswa dengan jalur afirmasi yang lebih terkesan menurunkan kualitas pendidikan di sekolah negeri.
Sementara sekolah swasta bonafid tidak ada aturan khusus tentang penerimaan murid baru dengan syarat KJP.
“Guru-guru menyesalkan sekolah negeri jadi tempat buangan siswa yang nilainya tidak bagus dan hanya berbekal KJP dan umur yang tua. Kalau mau adil sekolah swasta bonafid juga menyediakan slot sosial yang sama,” kata aktivis HMI saat masih kuliah di UUD Jakarta itu.
Diakhir siaran persnya, Hari juga mengusulkan agar pemerintah menghapus syarat usia pada seleksi masuk sekolah negeri dan bagi siswa pemegang KJP tetap diberlakukan standarisasi nilai untuk masuk ke sekolah negeri agar terdapat rasa keadilan kepada siswa non KJP yang nilainya lebih bagus.
“Siswa pemegang KJP yang nilainya kecil sebaiknya sekolah di swasta saja karena masih tetap dibiayai pemerintah, sudah bertahun-tahun disubsidi oleh pemerintah tapi tidak bisa meningkatkan prestasi belajarnya, begitu lulus dengan mudah masuk sekolah negeri, ini kan lucu,” pungkas Hari.
(an/bti)