
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Setiap 9 Agustus, dunia memperingati Hari Masyarakat Adat Sedunia. Tahun ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengangkat tema Indigenous Peoples and AI: Defending Rights, Sharing Futures. Tema itu mengajak publik menimbang peran teknologi, khususnya akal imitasi (artificial intelligence/AI), dalam melindungi hak sekaligus masa depan masyarakat adat.
Di Indonesia, posisi masyarakat adat masih rapuh. Biandro Wisnuyana, dosen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, menilai isu ini bersifat paradoks. “Secara formal, pengakuan hak masyarakat adat mulai menguat. Namun, di lapangan, realitasnya jauh dari ideal,” ujarnya.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 memang menetapkan hutan adat bukan bagian dari hutan negara. Namun, ekspansi perkebunan dan tambang kerap menggerus kedaulatan wilayah adat.
Bagi Biandro, perkembangan teknologi ibarat pisau bermata dua. AI membuka peluang besar, mulai dari pendokumentasian bahasa dan arsip budaya, pembuatan peta digital wilayah adat, hingga analisis ancaman lingkungan.
Namun, risiko mengintai. Salah satunya adalah data colonialism, pengambilan data budaya tanpa izin atau penyalahgunaan teknologi untuk kepentingan industri. Karena itu, prinsip free, prior, and informed consent (FPIC) mutlak diterapkan.
“Setiap penggunaan data budaya harus transparan, dengan persetujuan penuh komunitas. Mereka berhak menolak atau menerima, dan tetap memegang kendali,” katanya.
AI juga berpotensi memperkuat kearifan lokal dalam menghadapi krisis iklim. Integrasi kearifan lokal dengan data satelit, misalnya, dapat memantau deforestasi secara real time, memprediksi cuaca, dan mendeteksi perubahan ekosistem.
Ia mencontohkan sistem irigasi subak di Bali dan agroforestri di Maluku. “Nilai-nilai kelokalan ini adalah alternatif berkelanjutan dibanding pertanian monokultur. Bahkan ada komunitas yang memanfaatkan teknologi tanpa meninggalkan tradisi,” ujarnya.
Menurut Biandro, masa depan masyarakat adat sangat ditentukan keputusan hari ini. Ada empat langkah yang ia nilai mendesak: mengesahkan RUU Masyarakat Adat, mendorong digitalisasi pengetahuan adat yang dikelola komunitas, melindungi wilayah adat sebagai benteng keanekaragaman hayati, dan mengembangkan ekonomi berkelanjutan berbasis budaya.
“Masyarakat adat kini menghadapi konflik lahan, eksploitasi sumber daya, modernisasi yang menjauhkan generasi muda dari akar budaya, dan minimnya keterlibatan dalam pengambilan keputusan. Jika dibiarkan, kita berisiko kehilangan identitas sebagai bangsa multikultural,” tutupnya. (*)
Editor: Abdel Rafi



