JAKARTA – Pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama atau akrab disapa Ahok dinilai minus dan kesenjangan ekonomi justru makin tinggi. Padahal kemunculan Ahok yang berduet dengan Joko Widodo (Jokowi) pada 2012 lalu diharapkan mampu berbuat banyak untuk Jakarta. Setelah Jokowi menjadi Presiden dan Ahok memegang kendali penuh ibukota, Jakarta belum mengalami perubahan signifikan.
Ditemui di sela-sela kesibukannya, peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, menyatakan Ada dua indikator ekonomi penting untuk mengukur sebuah daerah berhasil dalam pembangunan ekonomi suatu daerah yakni, pertama ; jika berhasil memajukan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan kedua ; pada saat yang sama berhasil mengatasi kesenjangan ekonomi yang besar.
“Seringkali suatu daerah berhasil meraih pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun pada saat yang sama daerah tersebut gagal mengatasi kesenjangan /ketimpangan ekonomi yang besar. Itulah yang disebut dengan pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualiitas. Hal itu berarti bahwa pertumbuhan ekonomi yang besar tersebut hanya dinikmati oleh segelitir orang kaya saja. Sementara sebagian besar rakyat tidak menikmatinya atau semakin terpinggirkan,” beber tokoh asal Sumbawa itu dalam keterangan tertulisnya di Jakarta (13/7).
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup, tapi harus disertai dengan semakin mengecilnya ketimpangan. Keduanya harus sejalan agar tercapai pertumbuhan yang berkualitas.
“Hal yang tidak boleh terjadi menurut paradigma ekonomi yang dianut dewasa ini adalah pertumbuhan yang minus dan kesenjangan ekonomi yang tinggi. Jika terjadi, artinya ekonomi kita mengalami kemunduran dan saat bersamaan makin banyak rakyat yang terjerembab dalam jurang kemiskinan,” ujar Salamuddin Daeng.
Daeng memberikan contoh pertumbuhan ekonomi kwartal I tahun 2015 dari Jakarta di bawah kepemimpinan Ahok. Daerah ini menjadi contoh dari dua hal yang tidak boleh terjadi dalam ekonomi. Menurutnya , Jakarta terpuruk dalam dua masalah utama, pertama, pertumbuhan ekonomi yang rendah dan bahkan negatif – 0.12 % (Q to Q) atau berarti menurun dibandingkan kwartal pertama tahun sebelumnya. Kedua, tingkat kesenjangan ekonomi yang sangat tinggi yakni 0,43 (Maret 2015). Kesenjangan ekonomi Jakarta termasuk kategori parah bahkan yang terparah setelah Papua Barat yakni 0,44.
“Kondisi yang dihadapi Jakarta tersebut tidak bisa dipandang sepele. DKI Jakarta berada dalam keadaan darurat ekonomi dan harus diatasi dengan segera. Karena kesenjangan ekonomi merupakan sumber masalah sosial yang fatal,” pungkasnya.
(sd/bti)