KARAWANG – Konflik kepemilikan lahan petak 25 (Blok Cijengkol) seluas ± 9,3 hektar yang berlokasi di Desa Mulyasari, Kecamatan Ciampel, Karawang, antara warga (Ara Cs) melawan Perum Perhutani, hingga kini belum juga berkesudahan meski perkara ini sudah di uji dalam kasasi bahkan upaya hukum peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA). Ara bersama warga lainnya keukeuh lahan ini sebagai peninggalan yang sudah digarap turun temurun sejak sebelum tahun 1960 an, sementara Perhutani punya alasan tersendiri mengklaim lahan tersebut masuk dalam kawasan hutan negara. Kini gugatan baru pihak Ara Cs terhadap Perhutani di PN Karawang dengan nomor perkara : 42/Pdt.G/2023/PN.Kwg, dipastikan bergulir setelah dalam amar putusan sela pada 9 Agustus 2023, PN Karawang mengadili dan memerintahkan kedua belah pihak untuk melanjutkan persidangan, hal ini menandai babak baru perselisihan.
Yayat Sudrajat, SH., Kepala Sub Seksi Hukum Kehumasan Tenurial Agraria (KSS HKTA) Perum Perhutani KPH Purwakarta, Jawa Barat, yang memiliki teritori tugas di kawasan hutan Kabupaten Purwakarta, Subang dan Karawang, menuturkan bahwa lahan yang menjadi pokok gugatan ini ialah hutan negara hasil tukar menukar Perhutani dengan seseorang yang bernama Abdul Rojak pada dekade tahun 1970-an. Yayat berkisah, saat itu Abdul Rojak yang sebelumnya membabat hutan negara, kemudian berinisiatif mengganti kawasan hutan yang digarapnya ini. Rojak pun kemudian membeli lahan milik orang tua Ara, lahan inilah yang kemudian dijadikan Rojak sebagai pengganti kawasan hutan (tukar menukar). Nah, lahan ini juga lah yang saat ini menjadi rebutan antara Ara Cs sebagai ahli waris dengan Perhutani.
“Maaf ini supaya jelas dulu kronologisnya. Ara ini siapa sih, dia ini dulu punya tanah dari bapaknya, kemudian tanah tersebut tukar menukar dengan Perum Perhutani. Jadi dulu Rojak membeli tanah ke bapak nya Ara untuk kemudian dijadikan hutan sebagai pengganti. Anaknya kan (Ara, red) nggak tahu dijual apa nggak nya,” kata Yayat pada media ini saat ditemui, Senin (7/8/2023).
Ditambahkan Yayat, saat proses tukar menukar lahan dengan Abdul Rojak ini dibuatkanlah Berita Acara Tata Batas (BATB) yang kemudian disebut sebagai kawasan hutan petak 25. Sayang, saat diminta menunjukan dokumen tukar menukar dengan Abdul Rojak ini, Yayat mengaku dokumen tersebut tidak berada di Kantor Perhutani KPH Purwakarta, melainkan berada di Kantor Perum Perhutani Divisi Regional (Divre) Jawa Barat & Banten di Bandung.
“Kalau bukti-bukti ada di Divre Perhutani Jawa Barat, pengacaranya ada 15 orang bukan saya saja, berkasnya tidak ada disini, berkasnya di Bandung di Pa Edi,” kata Yayat.
Sementara, menyoal bukti-bukti yang diajukan Ara Cs dalam gugatan di persidangan, Yayat menyebutnya sebagai politik desa karena kepala desa terdahulu merupakan kerabat penggugat Ara Cs.
“Di PN saya kalah, kemudian banding (PT) ke bandung kalah lagi. Baru kasasi di MA menang, sesudah putusan MA (Peninjauan Kembali) itu lahan masuk dalam kawasan hutan sebagai tanah negara, kenapa saya dimenangkan di MA, karena hakim gak ceroboh lihat bukti-bukti. Menang udah selesai sampai sana, ehh bikin lagi gugatan nomor 42, tanggal 9 sidangnya. Adapun bukti-bukti letter C bukan kepemilikan karena bisa dirubah, riwayat tanah bisa berganti. Secara politik ada saudara-saudara kepala desa (penggugat Ara Cs, red) kemarin ikut sidang, secara administrasi kepala desa sekarang lain lagi, sekarang lebih terbuka, jadi politik disana itu macam-macam,” kata Yayat.
Kuasa Hukum Elyasa Budiyanto Minta Bupati Turun Tangan
Sementara itu, Elyasa Budiyanto, kuasa hukum warga (Ara, Aceng Lesmana, Adang dan Dadang Suherman) menegaskan kembali bahwa lahan (Blok Cijengkol / Petak 25) adalah memang milik rakyat, hal ini berdasarkan riwayat tanah, penguasaan sporadik, salinan girik serta SK desa dan camat.
“Mari kalau mau jujur-jujuran kita buka buku induk desa, kalau itu (buku induk, red) diberantas semua atau tidak diakui, bakar saja sekalian kantor desa karena percuma ada arsip desa, percuma juga kepala desa dilantik Bupati Karawang,” kata Elyasa, saat dijumpai di PN Karawang, Rabu (9/8/2023).
Elyasa juga menyinggung Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) di beberapa desa di Kecamatan Ciampel, yang menurutnya kerap dinarasikan sebagai ‘Raja Desa’, yang justru merusak sendi-sendi kepemilikan masyarakat dan kepemilikan tanah.
“Apakah ada Kepala Desa lain yang merangkap sebagai Ketua LMDH, kalau tidak ada lalu dimana keabsahannya 3 desa di Ciampel yang saya katakan justru merusak sendi-sendi kepemilikan masyarakat dan kepemilikan tanah. Sudah jelas-jelas desa dan camat mengukuhkan kepemilikan masyarakat, kok ujung-ujungnya LMDH, apakah dia ini kepanjangan tangan oligarki, yang mau mengusir rakyat,” ujar Elyasa.
Ia menambahkan, seharusnya tanah negara tersebut dihibahkan kepada rakyat nya, bukan tanah rakyat yang justru mau diakuisisi.
“Ini sebentar lagi kita merayakan HUT Kemerdekaan 17 Agustus, malu dong kita merdeka sudah 78 tahun, seharusnya kepemilikan rakyat itu dihargai, yang ada tanah negara itu dihibahkan kepada rakyat, bukan tanah rakyat mau diakuisisi. Oleh sebab itu saya minta pertanggungjawaban konkrit Toto Suripto (Anggota DPRD Kabupaten Karawang Fraksi PDI P), lalu Paguron Godot, LSM Lodaya (Nace Permana), Camat Ciampel Agus Sugiono, Kades Mulyasari Margono dan kawan-kawannya itu yang melakukan deklarasi pada April 2022. Apa dan mau apa mereka, buktinya mereka melakukan eksekusi swasta disana pada Mei 2023, padahal jelas lurah menyatakan kepemilikan masyarakat, atas nama LMDH kemudian mereka mendukung kepada Perhutani, ini kan absurd dan jadi kacau balau administrasi hukum di desa kita,” jelasnya.
Elyasa bahkan menghimbau kepada Bupati Karawang Cellica Nurrachadiana, untuk memanggil lurah / kepala desa, Perhutani, DPMD dan instansi terkait lainnya untuk membawa buku induk masing-masing, untuk dibuka beramai-ramai sehingga tidak abu-abu.
“Itu tidak ada cerita Perhutani se Kecamatan Ciampel, desa itu anak buahnya bupati. Masyarakat banyak mendukung Cellica, makanya Ibu Bupati Karawang hadir dong di tengah-tengah masyarakat, selesaikan persoalan kami, tolong diperhatikan. Dan saya tegaskan kembali, mau menang berapa kali pun kasasi dan PK (Peninjauan Kembali), itu tidak akan pernah memutus cerita bahwa lahan tersebut adalah milik warga, kita tantang dan akan buktikan itu,” tandas Elyasa.
(rils/bus)