
“Bencana bukan hanya tentang persoalan alam yang bekerja, akan tetapi tentang manusia yang kadang lalai dalam menjaga rumahnya.” (Aminah, 2025)
Bencana banjir dan longsor yang kembali terjadi diberbagai wilayah Aceh beberapa hari terakhir ini seharusnya tidak lagi dilihat semata-mata hanya sebagai musibah alam. Intesitas hujan memang meningkat dalam beberapa bulan terakhir ini akibat perubahan iklim, namun cuaca ekstrem bukanlah sebagai faktor tunggal peyebab bencana. Banjir dan longsor adalah sebagai alrm paling tegas bahwa kerusakan lingkungan tidak pernah terjadi secara tiba-tiba. Setiap debit air yang meluap, lumpur yang menutupi jalan, pada hakikatnya membawa konsekuensi dari kebijakan yang abai terhadap praktik-praktik eksploitasi alam secara merajalela.
Aceh sedang menanggung beban akibat dari penjarahan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Dibanyak daerah, baik kabupaten maupun kota, galian C dilakukan secara brutal tanpa pengendalian dan pengawasan. Sungai-sungai dikeruk untuk memenuhi kebutuhan material konstruksi atau bangunan, meninggalkan cekungan yang kemudian dapat mempercepat terjadinya erosi. Di wilayah lainnya, penambangan emas juga terjadi, baik yang berizin maupun illegal yang terus mengacak-ngacak perut bumi. Hutan yang dulunya menjadi paku bagi alam, kini terbuka tanpa perlindungan. Semua ini berlangsung secara ritme yang sama yaitu cepat dan tanpa perhitungan ekologis. Ketika banjir dan longsor menghampiri, kita sering terburu-buru justru menuding cuaca sebagai penyebab utama. Padahal yang paling mendasar justru pada intervensi manusia terhadap bentang ekologis Aceh dan yang paling disesali adalah jejak kerusakan tidak hanya berhenti pada tindakan individu atau kelompok pelaku di lapangan. Negarapun ikut terlibat baik secara langsung maupun melalui kebijakan yang permisif. Hal ini terlihat dari pemberian izin bagi perusahaan-perusahaan baik tambang maupun perkebunan termasuk sawit, kerap dilakukan tanpa memastikan kesiapan lingkungan dan evaluasi secara komprehensif.
Jejak Hulu yang Dieksploitasi
Salah satu akar persoalan yang paling signifikan dalam banjir dan longsor di Aceh adalah aktivitas penambangan galian C yang terus berlangsung secara masif. Banyak sungai yang telah dikeruk melibihi batas kewajaran. Pengambilan batu dan pasir untuk kebutuhan pondasi dan konstruksi memang dianggap sebagai tulang punggung pembangunan, akan tetapi, menejemen yang buruk menyebabkan sungai kehilangan kestabilannya. Tanpa tebing yang utuh serta zona sempadan, sungai tidak lagi mampu untuk mengaliri air dengan kapasitas aman sehingga terjadi peningkatan sedimentasi, pendangkalan dan pada saat hujan turun, air tidak lagi memiliki ruang yang cukup untuk dialirkan. Sehingga banjirpun menjadi sebuah keniscayaan bukan kejutan.
Di sisi lain, penambangan emas juga juga terjadi dimana-mana, sebagian besar penambangan emas dilakukan secara ilegal, meskipun di beberapa titik ada yang mendapatkan izin, namun minim pengawasan dan evaluasi. Penambangan ini telah mengoyak wilayah hulu. Kawasan dengan kontur tanah yang masih labil dipaksa harus menyerah pada alat berat. Hutan dibabat, topsoil hilang dan stuktur tanah menjadi terdegradasi. Kerusakan demi kerusakan ini tidak hanya menimbulkan longsor akan tetapi juga terjadi pencemaran lingkungan akibat bahan kimia yang digunakan seperti merkuri dan lain-lain. Praktik ini hanya menguntungkan sebagian pelaku kecil akan tetapi sangat merugikan masyarakat luas yang tinggal diwilayah hilir. Jika dilihat berdasarkan ekologi politik, hal ini menunjukkan adanya ketimpangan akses kuasa: kelompok kepentingan memperoleh manfaat ekonomi, sementara masyarakat umum menanggung resiko ekologis, kesehatan dan keselamatan.
Abainya Peran Negara dan Regulasi yang Justru Melukai Alam
Diskusi terkait bencana ekologis akan timpang jika negara tidak dibahas sebagai aktor utama di dalamnya. Pemerintah baik ditingkat pusat maupun pemerintah daerah dalam hal ini memiliki kewenangan besar dalam menentukan arah pengelolaan sumber daya alam. Pemberian izin tambang, izin pembukaan lahan perkebunan serta izin penggunaan ruang adalah produk-produk kebijakan publik yang memiliki dampak secara langsung terhadap keberlanjutan lingkungan hidup. Di Aceh, pemberian izin kepada perusahaan tambang dan perkebunan sawit berlangsung selama bertahun-tahun dengan pengawasan yang sangat minim. Evaluasi lingkungan tidak dilakukan secara menyeluruh sementara pelanggaran-pelanggaran dilapangan cenderung ditoleransi. Dalam banyak kasus praktik “pembiaran” ini seperti memberi restu secara terselubung.
Dalam perspektif ekologi politik menegaskan bahwa kerusakan lingkungan bukan sekadar hasil interaksi antara manusia dan alam, tetapi buah dari relasi kekuasaan. Negara dan perusahaan memiliki posisi dominan dalam menentukan bagaimana alam diperlakukan. Ketika izin diberikan tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan atau tanpa konsultasi publik yang memadai, maka negara bukan lagi penjaga ekologis, melainkan bagian dari perusak atau pelaku dalam masalah itu sendiri.
Dari Hutan ke Perkebunan dan Hilir yang Selalu Jadi Korban
Ekspansi perkebunan sawit adalah salah satu faktor pendorong deforestasi paling signifikan di Aceh. Pembukaan lahan untuk sawit tidak hanya menghilangkan tutupan hutan, tetapi juga mengubah struktur ekologis secara drastis. Hutan yang semula memiliki kemampuan menyerap air, menyimpan karbon, dan menjaga kelembaban tanah diganti dengan monokultur yang tidak memiliki fungsi ekologis yang setara. Ketika hulu sungai kehilangan tutupan hutan, air hujan tidak lagi diserap secara bertahap. Ia meluncur langsung ke hilir, membawa material tanah yang longsor dari lereng–lereng yang gundul. Akibatnya, debit sungai meningkat secara cepat, menciptakan banjir bandang yang sulit diprediksi.
Dalam konteks ini, masalah Aceh bukan hanya deforestasi, tetapi deforestasi yang dibiarkan. Pembukaan lahan sering kali melampaui batas izin, sementara reboisasi berjalan lambat dan tidak terarah. Jika hulu terus diperlakukan sebagai ruang kosong yang siap dipanen, maka hilir akan terus menjadi korban setiap musim hujan. Jika Aceh ingin keluar dari siklus bencana, langkah pertama adalah mengakui bahwa akar persoalannya adalah tata kelola. Revitalisasi pengawasan lingkungan harus menjadi prioritas, termasuk penghentian aktivitas tambang ilegal yang selama ini dibiarkan tumbuh subur. Lebih dari itu, pemerintah perlu melakukan, pertama, Moratorium izin tambang dan perkebunan baru, khususnya di kawasan rawan bencana. Kedua, evaluasi menyeluruh terhadap izin yang telah diberikan, termasuk penegakan sanksi tegas bagi perusahaan yang melanggar. Ketiga, Rehabilitasi kawasan hulu dengan pendekatan berbasis ekosistem, bukan sekadar penanaman ulang seremonial. Keempat, Peningkatan partisipasi masyarakat, terutama mereka yang tinggal di sekitar kawasan hutan dan sungai, dalam proses pengambilan keputusan.
Aceh memiliki sejarah panjang hubungan dengan alam. Hutan, sungai, dan gunung merupakan bagian dari identitas masyarakatnya. Namun jika cara kita memperlakukan alam terus seperti sekarang, mengambil lebih banyak daripada yang bisa dipulihkan, maka Aceh akan terjerumus dalam siklus bencana yang kian sulit diputuskan. Dari kejadian ini bisa kita lihat bahwa banjir dan longsor yang terjadi bukan sekadar peristiwa meteorologis, tetapi pesan keras dari alam bahwa ia telah melampaui batas kemampuannya. Alam sedang menagih pertanggungjawaban dari manusia, terutama dari mereka yang memiliki kuasa mengatur, memberi izin, dan melakukan pengawasan. Aceh tidak kekurangan pengetahuan, tidak kekurangan peringatan, bahkan tidak kekurangan bukti kerusakan. Yang kurang adalah keberanian politik untuk mengubah arah kebijakan. Selama keberanian itu tidak muncul, bencana ekologis akan terus menjadi bagian dari keseharian kita. Dan ketika itu terjadi, yang membayar biayanya bukanlah perusahaan atau elit politik, tetapi rakyat kecil yang tinggal di hilir, dekat sungai, di lereng perbukitan mereka yang paling sedikit memperoleh manfaat dari eksploitasi, tetapi menanggung beban paling besar.(*)
AMINAH
Mahasiswa Program Doktoral S3 FISIP Universitas Airlangga dan Dosen Ilmu Politik FISIP USK Aceh



