Tuesday, October 14, 2025
spot_img
HomeGagasanKolomSpirit Keumatan dan Kebangsaan di Era Digital: Perspektif HOS Cokroaminoto

Spirit Keumatan dan Kebangsaan di Era Digital: Perspektif HOS Cokroaminoto

Bagi kita orang Islam, tak ada sosialisme atau rupa-rupa ‘isme’ lainnya, yang lebih baik, lebih indah dan lebih mulus, selain dari sosialisme yang berdasar Islam.” — HOS Cokroaminoto (1882-1934) dalam Islam dan Sosialisme (1924;2025).

Dalam pusaran sejarah kebangsaan Indonesia, relasi antara umat Islam dan semangat kebangsaan selalu menjadi medan dialektika yang dinamis.

Sejak masa pergerakan awal, tokoh seperti Haji Oemar Said Cokroaminoto telah meletakkan fondasi pemikiran bahwa Islam bukan sekadar agama ritual, melainkan kekuatan sosial yang mampu membentuk tatanan masyarakat yang adil dan beradab.

Dalam bukunya Islam dan Sosialisme, Cokroaminoto menegaskan bahwa Islam mengandung nilai-nilai egaliter dan progresif yang dapat menjadi landasan bagi perjuangan sosial dan kebangsaan.

Gagasan Cokro tentang umat dan kebangsaan yang egaliter, inklusif, dan emansipatif mencerminkan visinya tentang masyarakat yang adil dan setara, di mana Islam menjadi landasan moral dan sosial untuk membangun solidaritas lintas kelas dan golongan.

Ia menolak kapitalisme sebagai sistem yang menindas, dan mengusung Islam sebagai jalan pembebasan dan persaudaraan

Ia tidak melihat pertentangan antara keumatan dan kebangsaan, melainkan justru menyatukannya dalam semangat pembebasan dari penindasan kolonial dan ketidakadilan struktural.

Namun, lebih dari satu dekade setelah reformasi, spirit keumatan dan kebangsaan mengalami keretakan sosial-politik yang tajam.

Dua kali Pilpres yakni 2014 dan 2019, yang kemudian berlanjut hingga 2024, menjadi titik balik munculnya politik identitas yang mengeras.

Umat Islam, yang secara historis menjadi kekuatan moral dan sosial dalam perjuangan kemerdekaan, justru terjebak dalam polarisasi yang memecah solidaritas kebangsaan.

Politik identitas yang semula menjadi alat artikulasi aspirasi, berubah menjadi senjata eksklusivisme dan segregasi.

Dalam konteks ini, warisan pemikiran Cokroaminoto menjadi relevan kembali,  bahwa keumatan harus bersifat egaliter, inklusif, membebaskan, dan berorientasi pada keadilan sosial, bukan pada dominasi simbolik atau sektarianisme.

Merujuk Sarekat Islam: Gerakan Rakyat Indonesia yang Pertama (1986) dari C. C. F. Kroever, mmenunjukkan bahwa organisasi ini bukan hanya wadah keagamaan, tetapi juga gerakan kebangsaan yang menyatukan berbagai lapisan masyarakat.

Sarikat Islam menjadi bukti bahwa keumatan dapat menjadi kekuatan politik yang progresif, selama ia tidak terjebak dalam narasi sempit dan eksklusif.

Islam (SI) sebagai gerakan rakyat pertama di Indonesia yang memiliki struktur organisasi modern dan pengaruh politik luas.

Sejak berdirinya, SI pada masa itu berkembang dengan populasi yang menyebar hingga mencapai dua juta anggota.

SI kemudian menjadi organisasi modern pertama di Indonesia yang menggabungkan unsur keagamaan, sosial, dan politik, serta menjadi cikal bakal lahirnya partai-partai politik nasional di masa kolonial. Bahkan beberapa founding parents Indonesia lahir dari organnya seperti Soekarno dan Agus Salim.

Beberapa poin penting yang mencerminkan hakikat historis hadirnya SI sebagai embrio dan rekam jejak umat dan kebangsaan:

Asal-usul SI: Bermula dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh Haji Samanhudi di Surakarta pada 1911, lalu berkembang menjadi SI di bawah kepemimpinan H.O.S. Tjokroaminoto sejak Kongres Pertama (1916).

Peran SI adalah menjadi wadah perjuangan rakyat pribumi melawan ketidakadilan kolonial, dengan pendekatan politik, ekonomi, dan pendidikan.

Ironisnya, muncul konflik internal yang justru menjadi ajang perpecahan antara SI Putih (nasionalis-religius) dan SI Merah (sosialis-komunis), yang kemudian melahirkan PKI.

Pengaruh SI ternyata justru menjadi cikal bakal partai politik modern di Indonesia dan melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Tjokroaminoto, Semaoen, dan Tan Malaka. Kelak, Kartosuwirjo dengan DI/TII.

Namun dalam era digital, tantangan baru muncul. Teknologi informasi yang seharusnya menjadi alat pembebasan justru menjadi medium penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan propaganda identitas.

Era digital mempercepat sirkulasi informasi, tetapi juga mempercepat polarisasi.

Dalam Political Tribes: Group Instinct and the Fate of Nations (2018), Ami Chua (62) mengingatkan bahwa politik modern cenderung terjebak dalam loyalitas kelompok yang emosional dan tribalistik, bukan pada rasionalitas kebangsaan.

Chua menyoroti gagasan bahwa insting kelompok (tribal instinct) lebih kuat daripada ideologi dalam membentuk perilaku politik dan sosial.

Tiga hal yang dikemukakan Chua meliputi, pertama, kegagalan kebijakan luar negeri AS sering terjadi karena mengabaikan identitas kelompok lokal, seperti di Vietnam, Irak, dan Afghanistan.

Kedua, polarisasi politik di AS bukan hanya soal ekonomi atau ideologi, tetapi juga soal identitas kelompok: etnis, budaya, dan kelas sosial.

Ketiga, juga, fenomena bagaimana liberal elite di Amerika gagal memahami tribalism mereka sendiri, yang berkontribusi pada munculnya populisme dan tokoh seperti Donald Trump.

Ketika umat lebih memilih identitas kelompok daripada nilai universal Islam yang rahmatan lil ‘alamin, maka keumatan kehilangan daya transformatifnya.

Spirit keumatan dan kebangsaan di era digital harus kembali pada prinsip-prinsip Cokroaminoto bahwa Islam adalah kekuatan moral untuk membangun masyarakat yang adil, bukan alat untuk menguasai atau menyingkirkan.

Era digital menuntut umat untuk cerdas secara informasi, kritis secara politik, dan bijak secara spiritual. Hal sebagai tafsir aktual terhadap triologi SI yaitu purifikasi tauhid, pengutamaan ilmu, profetisasi siasat (politik).

Keumatan yang progresif adalah keumatan yang mampu berdialog dengan zaman, menyerap teknologi sebagai alat dakwah dan pembebasan, bukan sebagai medium permusuhan.

Kebangsaan yang sehat adalah kebangsaan yang mampu merangkul keragaman, bukan menegaskan perbedaan sebagai ancaman.

Dalam refleksi ini, kita diajak untuk tidak hanya mengenang Cokroaminoto sebagai tokoh sejarah, tetapi menghidupkan semangatnya dalam praksis sosial-politik hari ini.

Spirit keumatan dan kebangsaan bukan warisan yang beku, tetapi energi yang harus terus diperbarui.

Di tengah gempuran politik identitas dan mis disinformasi digital, umat Islam memiliki tanggung jawab historis untuk menjadi penjaga akal sehat dan penjaga keutuhan bangsa.

Sebab, seperti yang diyakini Cokroaminoto, “Jika kamu ingin menjadi pemimpin besar, menulislah dengan pena ilmu dan nyalakan dengan api idealisme.”

Dan idealisme itu hari ini adalah membangun keumatan yang tercerahkan dan kebangsaan yang berkeadaban. Semoga.

Ditulis untuk Dialog Pemikiran HOS Cokroaminoto bersama SI Manado, 11/10/25 di kantor DPD RI Tikala

REINER EMYOT OINTOE 

Fiksiwan

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular