
JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Agustus 2025 mencatat sejarah baru dalam hubungan rakyat dan kekuasaan. Ribuan massa dari berbagai kota turun ke jalan dengan 17+8 Tuntutan Rakyat, membawa semangat perubahan, tapi berakhir dengan bentrokan yang menelan korban jiwa dan luka. Bagi Presiden Prabowo Subianto, inilah ujian paling keras sejak ia dilantik: antara mengalah pada tuntutan atau menegakkan otoritas dengan tangan besi.
Presiden merespons dengan jurus dua wajah. Dari satu sisi, ia mengiris privilese DPR yaitu tunjangan dipangkas, fasilitas dipreteli. Sebuah konsesi politik yang digadang-gadang sebagai bukti bahwa suara rakyat tidak lagi bisa diabaikan. Namun dari sisi lain, ia memberi instruksi tegas agar TNI-Polri diminta tak ragu memukul balik penjarahan dan perusakan fasilitas umum.
Kontras dengan itu, Kementerian HAM menempuh jalur berbeda. Menteri HAM Natalius Pigai menegaskan aparat harus mampu membedakan demonstran damai dari perusuh. Ia menekankan pentingnya pemulihan korban melalui kompensasi, rehabilitasi, hingga dukungan psikologis. Komnas HAM bahkan membuka posko aduan, mendesak penerapan restorative justice bagi demonstran yang ditahan.
Tak berhenti di meja rapat, Wamen HAM Mugiyanto langsung terjun ke Makassar, menjenguk korban luka. Ia memastikan bahwa penyelidikan dugaan pelanggaran HAM dilakukan tanpa harus menunggu tekanan PBB.
“Langkah Presiden memang meredam, tapi jangan lupa bahwa rakyat menuntut perubahan nyata. Kalau HAM diabaikan, bara ini bisa kembali meledak,” ujar Agung Nugroho, Direktur Jakarta Institute dalam keterangannya pada media ini, Minggu (7/9/2025) pagi.
Menurut Agung, bola panas kini ada di tangan pemerintah. “Apakah aparat benar-benar bisa menahan diri? Apakah pemulihan korban dijalankan adil? Dan apakah 17+8 Tuntutan Rakyat benar-benar diwujudkan? Kalau iya, ini momentum sejarah. Kalau tidak, publik akan menilainya cuma janji kosong,” tegasnya.
Gelombang aksi itu menjadi “neraka” politik yang bisa mengubah arah pemerintahan Prabowo, menuju reformasi sesungguhnya, atau sekadar menambah daftar panjang janji yang dilupakan. (*)
Kontributor: Tommy
Editor: Abdel Rafi