
Film Merah Putih: One for All lahir dari niat mulia menyapa generasi muda dengan semangat kebangsaan. Namun waktu pengerjaan yang kurang dari satu bulan, demi mengejar momentum kemerdekaan RI, justru mencederai kualitas, sehingga tampilannya masih terasa seperti pre-visualization yang belum melewati tahap penyempurnaan. Begitu dipaksakan masuk ke ruang komersial, niat itu tercekik oleh eksekusi yang timpang. Publik mendapati animasi kaku, tata suara bising, dan alur yang tidak padu. Kritik pun kian meluas, mulai dari dugaan penggunaan aset siap beli hingga pertanyaan soal anggaran Rp 6,7 miliar yang beredar di media sosial dan pemberitaan hiburan. Meskipun masih berupa tudingan, isu tersebut cukup untuk menimbulkan krisis legitimasi, apalagi ketika jaringan bioskop tertentu sempat membatalkan penayangan materi promosi.
Masalahnya tidak hanya teknis. Begitu sebuah karya dirilis berbayar di bioskop, standar penilaian publik otomatis bergerak ke “kelas industri” mulai dari keluwesan animasi, kontinuitas adegan, dramaturgi, tata suara, hingga kontrol mutu lintas tahap. Ketika standar itu tak terpenuhi, rasa “tertipu” muncul dan amarah kolektif pun menyeruak, terutama karena menyangkut simbol kebangsaan. Klaim soal pembiayaan ikut menjadi sorotan, bahkan Kementerian Ekonomi Kreatif membantah memberi pendanaan maupun fasilitas promosi. Namun polemik terlanjur membesar akibat komunikasi produksi yang berantakan.
Pertanyaan publik sederhana yakni untuk siapa dan untuk apa film ini dikomersialkan? Jika misinya edukasi, jalur distribusi nirsyarat jauh lebih tepat misalnya penayangan serentak di sekolah atau lembaga pendidikan, kanal OTT khusus pembelajaran, atau rilis terbuka dengan panduan pengajar. Dalam ekosistem seperti itu, ukuran keberhasilan bukan kecanggihan sinema, melainkan relevansi pesan dan kebermanfaatan sebagai bahan ajar. Biaya pun berhenti menjadi “sorotan utama” karena konteksnya jelas yaitu proyek literasi dan partisipasi publik, bukan produk hiburan berbayar.
Kontras terlihat jelas ketika menoleh pada JUMBO, tolok ukur terbaru animasi Indonesia. Karya Visinema Studios ini tidak lahir dalam semalam. Prosesnya memakan lima tahun, melibatkan ratusan kreator dari berbagai kota, dengan praproduksi yang disiplin mulai dari breakdown aset, desain karakter, pipeline kerja, hingga kontrol ketat di tahap produksi dan pascaproduksi. Hasilnya spektakuler dimana ia mencapai rekor penonton dan pendapatan, bahkan melampaui Frozen 2 di pasar domestik serta menapaki rilis internasional. JUMBO membuktikan bahwa riset, waktu, dan tata kelola produksi yang kokoh bukanlah kemewahan, melainkan syarat mutlak.
Mengapa JUMBO berhasil? Pertama, kebijakan kreatif yang konsisten. Ceritanya dibangun untuk menyentuh pengalaman keseharian, bukan sekadar jargon kebangsaan. Kedua, pipeline teknis yang jelas, dari prerender, lighting, compositing, hingga sounddesign, menjadikan kualitas antar adegan seragam, bukan “kolase” dari berbagai sumber. Ketiga, kontrol mutu lintas tahap, mulai dari uji penonton terbatas, iterasi naskah, hingga kurasi pengisi suara yang mencegah “cacat bawaan” lolos ke layar lebar. Keempat, strategi rilis memanfaatkan momen Lebaran dan jejaring distribusi, mengawinkan kualitas dengan momentum. Kombinasi ini membuatnya diperbincangkan global sekaligus mengangkat reputasi talenta animasi Indonesia.
Sebaliknya, Merah Putih: One for All terjebak dalam nasionalisme yang dipaksakan. Bahkan pemilihan judul dengan bahasa Inggris “One for All”, terlihat bertolak belakang dengan semangat kebangsaan yang seharusnya menghormati identitas melalui bahasa nasional. Ikon dan slogan memang menonjol, tetapi dramaturginya lemah. Nasionalisme bukan soal jumlah bendera di layar; ia hidup melalui karakter yang meyakinkan, konflik relevan, dan pengolahan emosi yang jujur. Tanpa itu semua, pesan mulia akan terdengar seperti poster tempel. Kritik media pun menegaskan: kontinuitas adegan “tidak nyambung”, transisi bak “slide PPT”, hingga tata suara yang mengganggu. Publik bukannya anti terhadap karya lokal; mereka hanya menuntut kepantasan minimum sebuah rilis bioskop berbayar.
Apa pelajaran yang bisa dipetik industri dari kegamangan ini? Pertama, tetapkan jalur produk sejak awal. Bila proyek ditujukan untuk edukasi, rancang sebagai public good mulai dari standar teknis memadai, pendanaan transparan, lisensi yang memudahkan distribusi sekolah, hingga lembar kerja bagi guru. Hindari label “film bioskop” jika kontrol mutu teknis belum siap. Kedua, bangun tata kelola produksi. Terapkan greenlight gate di tiap tahap seperti praproduksi (rencana aset, look dev, animatic), produksi (dailies review, shot tracking), hingga pascaproduksi (QC audio-visual berlapis). Jangan rilis bila technical debt masih tinggi. Kasus JUMBO menunjukkan, lima tahun bukan berlebihan untuk standar sinema; itu investasi mutu.
Ketiga, perjelas komunikasi pembiayaan. Dalam ekosistem yang sensitif terhadap isu anggaran, satu angka liar bisa merusak kepercayaan. Terbitkan fact sheet resmi mulai dari sumber dana, pos biaya utama, hingga alur penggunaan. Transparansi melindungi kreator sekaligus mendidik publik, mencegah rumor bergulir liar. Klarifikasi pemerintah yang menegaskan “tidak mendanai” seharusnya diikuti kejelasan dari pihak produksi agar simpul isu cepat terurai. Keempat, junjung etika kreatif. Hindari penggunaan aset tanpa lisensi, cantumkan crediting, dan pastikan clearance ketat. Di era forensik warganet, due diligence adalah benteng reputasi. Celah komunikasi dan kontrol kualitas yang longgar hanya akan melahirkan tuduhan di lini masa.
Ada pula dimensi persepsi. Banyak remake kreator TikTok justru dinilai publik “lebih enak ditonton” bukan karena peralatan mereka lebih canggih, melainkan karena niat, ritme, dan fokusnya jelas. Di sinilah letak pelajaran penting yaitu publik paham kapan sebuah karya dikerjakan dengan cinta yang terukur, dan mereka juga tahu saat sebuah produk dipaksakan masuk bioskop sebelum waktunya. Komedi tak disengaja mungkin mengundang tawa, tetapi itu bukan modal membangun industri.
Pada akhirnya, yang ditagih publik adalah tanggung jawab kultural. Jika ingin mengibarkan merah putih lewat animasi, lakukan seperti JUMBO dimana ia memiliki lima tahun riset dan produksi, ratusan kreator, dan kontrol mutu menyeluruh. Nasionalisme butuh cerita yang tumbuh dari empati, bukan poster tempel di layar besar. Merah Putih: One for All masih bisa menjadi bahan pembelajaran, terutama tentang apa yang harus dihindari dan bagaimana proyek publik seharusnya dikelola. Demi meraih kembali kepercayaan penonton, industri perlu bersepakat bahwa kualitas adalah yang utama, barulah bicara soal komersialisasi. Dengan fondasi itu, kita bukan sekadar menonton film Indonesia, melainkan juga (kembali) mempercayainya. Semoga.
PROBO DARONO YAKTI
Dosen FISIP Unair dan Pengamat Budaya BN SETALOKA
ANNISAA DWI DAMAYANTI
Kritikus Film dan Staf Akademik FISIP Unair



