
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Indonesia dikenal sebagai bangsa maritim dengan sejarah panjang sebagai masyarakat pesisir. Salah satu cirinya adalah keterbukaan terhadap nilai dan gagasan baru. Ciri khas inilah yang menginspirasi Sarah Anabarja, dosen Departemen Hubungan Internasional Universitas Airlangga (Unair), untuk meneliti bagaimana zakat, sebagai praktik religius umat Islam, dapat dikontekstualisasikan dalam kerangka Sustainable Development Goals (SDGs).
Penelitiannya yang berjudul “Pengembangan Model Kontekstualisasi SDGs pada Praktik Zakat di Indonesia dalam Perspektif Kosmopolitanisme”, berhasil lolos pendanaan Airlangga Research Fund (ARF) 2025 pada skema penelitian dosen pemula. Melalui riset ini, Sarah ingin menemukan model yang menghubungkan nilai-nilai keagamaan dengan agenda pembangunan global.
Ia memilih tiga lembaga besar sebagai fokus penelitian yakni Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) sebagai representasi negara, serta dua ormas terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
“Saya ingin tahu apakah ketiganya punya pandangan yang kosmopolitan, dan sejauh mana mereka mengaitkan praktik zakat dengan SDGs,” ujar Sarah, Sabtu (16/8/2025).
Menurutnya, penelitian ini juga menjadi jawaban atas minimnya perhatian teori-teori besar HI terhadap faktor religiusitas. “Dalam kajian HI dan sosial politik, tradisinya memang sekuler. Tapi sebenarnya sejak awal, HI tidak pernah sepenuhnya sekuler. Ada peran agama yang nyata,” jelasnya.

Sarah mencontohkan, teori dominan yang berorientasi pada faktor material sering kali tidak mampu menjelaskan fenomena unik Indonesia. “Kita bukan negara kaya, tapi masyarakat kita disebut paling dermawan di dunia. Ini tidak bisa dijawab hanya dengan teori ekonomi semata,” ujarnya.
Lewat riset ini, Sarah berharap dapat menemukan pola kontekstualisasi zakat yang nantinya dapat diterapkan pada isu-isu global lainnya. “Kalau modelnya ditemukan, kita bisa uji apakah berlaku di konteks lain selain zakat,” tambahnya.
Selain itu, Sarah menggunakan kerangka kajian global civil society untuk memperkuat penelitian. Tujuannya jelas: membumikan HI. “Selama ini HI dianggap ilmu yang elitis. SDGs juga begitu. Padahal, makin ke sini semua pihak ingin dilibatkan. Dari hasil wawancara, banyak pengelola zakat bahkan belum paham SDGs itu apa. Makanya, kita perlu menerjemahkannya dalam bahasa yang membumi dan relevan dengan kehidupan sehari-hari,” tutup Sarah. (*)
Editor: Tommy dan Abdel Rafi



