Friday, April 26, 2024
HomeGagasanSaatnya Freeport Hengkang dari Bumi Papua

Saatnya Freeport Hengkang dari Bumi Papua

Abdullah-Amas

Di saat elit-elit politik (legislatif dan eksekutif) negeri ini terus ‘bergaduh’ soal rekaman pertemuan antara Setyo Novanto, Maroef Sjamsoeddin, dan Muh. Riza Chalid membahas bagi-bagi ‘jatah preman’ dari Freeport, Papua sebagai pemilik kekayaan emas, dan hasil tambang yang melimpah ruah itu masih tetap miskin tak terkira. Kualitas kehidupan (pendidikan, kesehatan, dan sosial) di ujung timur Indonesia itu memang sangat memprihatinkan. Sementara secara bersamaan, kekayaan alamnya terus “dirampok” oleh asing dengan menggunakan tangan-tangan elit di Jakarta.

Padahal seperti yang dikatakan Rizal Ramli, jika 16 juta kg kandungan emas Papua (belum lagi misalnya kandungan uranium, perak, tembaga, dan kekayaan tambang lainnya), dikelola oleh negeri ini, maka itu sudah cukup membuat negeri ini menjadi negera kaya, yang tak harus lagi mencari hutangan kesana-kemari untuk membiayai pembangunannya. Tapi kemudian apa yang tetap terjadi, rakyat Papua malah banyak mati kelaparan di ‘lumbung’ emas.

Yang menjadi ironi, publik pun ikut bertikai seturut dengan pertikaian para elit tadi, tanpa pernah mau membangun kesadaran bersama bagaimana mengusir Freeport dari bumi Papua. Yang lebih konyol, ada ketakutan jika Freeport hengkang dari Papua, pemerintahan negeri ini akan menjadi kisruh tak terkendali. Padahal, ada banyak kisah sukses perlawanan negara melawan imperialisme asing semisal mengusir Freeport dari Indonesia, yang telah menuai hasil, seperti yang telah terjadi di Amerika Latin.

Bukankah pernah terjadi, setahun setelah menang revolusi 1959, pemerintahan Fidel Castro menasionalisasi kilang-kilang minyak AS (Texaco dan Exxon) dan Shell milik Belanda. Ia juga menasionalisasi seluruh industri pokok, termasuk 382 perusahaan dalam negeri serta sektor perbankan swasta asing dan dalam negeri. Demikian halnya yang dilakukan pemerintah Hugo Chávez di akhir tahun 2001, dan Evo Morales di 1 Mei, 2006.

Program-program semacam nasionalisasi, pengambilalihan hingga pemberlakukan pajak yang tinggi bagi investasi dan royalti pendapatan perusahaan-perusahaan asing, adalah program-program yang sangat ditakuti oleh (neo)imperialisme.

Sejak tahun 1977, sekitar 50% perusahaan-perusahaan raksasa di Venezuela memiliki “ikatan” modal dengan Amerika Serikat. Itulah sebabnya AS naik pitam ketika Hugo Chavez merenasionalisasi PDVSA (Perusaaan Minyak Venezuela) di akhir tahun 2001 dan (AS) mulai memimpin konsolidasi oposisi untuk menjatuhkan Chávez. Seperti halnya Eisenshower terhadap Kuba pasca nasionalisasi tahun 1960. Tapi Castro, Chavez, Morales, dan pemimpin rakyat dari Benua Amerika Latin mampu mengarungi semua kesombongan (neo)imperalis itu dengan gagah berani.

Betapa pentingnya nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang selama ini mengeruk kekayaan sumber daya alam sebuah negara, karena penguasaan sumber-sumber pendapatan yang penting bagi negara menjadi landasan bagi terwujudnya program-program mendesak rakyat.

Di Venezuela, tak kurang dari $2 milyar rata-rata pertahun (tahun 2006 bahkan mencapai 4,5 milyar dollar atau sekitar 40,5 Trilyun rupiah) dialokasikan pemerintah, dari keuntungan minyak dan juga dari Dana Pembangunan Nasional (FUNDEN), untuk program-program sosial (pendidikan, kesehatan, perumahan, kredit, dan pelatihan kerja). Kuba misalnya adalah negeri miskin yang bebas buta huruf dan sehat (mampu menyediakan dana Rp. 1.800.000/orang per bulan untuk jaminan kesehatan gratis). Demikian halnya Venezuela, program-program kesehatan gratis Barrio Adentro I dan II, pendidikan gratis Robinson I dan II, serta Ribas dan Sucre adalah upaya pemerintah memasalkan kesehatan dan pendidikan untuk rakyat. Dan semua itu tak bisa dilakukan jika kekayaan negaranya dikuasai dan dieksploitasi oleh asing.

Ah, seandainya Presiden Joko Widodo punya nyali dan keberanian sekelas Castro, Chavez, ataupun Morales, yang dengan lantang dan gagah mengusir Freeport dari Bumi Papua, segenap rakyat negeri ini akan siap berdiri di garda terdepan melindunginya dari ancaman apapun yang ditebarkan (neo)imperalisme asing tersebut. Semoga.

ABDULLAH AMAS

Direktur Ekskutif The Future Institute

Mantan wasekjen PB HMI

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular