JAKARTA – Momentum jelang memasuki bulan Ramadhan menjadi tidak menarik karena seperti diprediksikan harga kebutuhan pokok masyarakat naik drastis bahkan terkesan tidak wajar. Ketua YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), Tulus Abadi menyatakan fenomena ini ibarat pil pahit dimana konsumen pun tidak ada pilihan alternatif kebutuhan pokok lainnya, karena semua komoditas mengalami kenaikan.
Untuk diketahui, kenaikan harga daging sapi rata-rata mencapai Rp 125.000 – Rp130.000 per kg. Bahkan, di Banda Aceh harganya mencapai Rp 160.000 – Rp 170.000 per kg.
“Melonjaknya harga kebutuhan pokok dan khususnya harga daging sapi, dalam konteks perlindungan konsumen, adalah menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menjaga ketersediaan kebutuhan pokok dan daging sapi, dengan harga yang wajar dan terjangkau,” ujar Tulus Abadi dalam keterangannya kepada redaksi, Sabtu (4/6/2016).
Tulus menambahkan melonjaknya harga daging sapi, juga harus diwaspadai dari sisi mutu daging atau bahkan fenomena daging oplosan. Karenanya, ia meminta Pemerintah untuk meningkatkan pengawasan dalam hal ini. Dalam konteks UU Pangan khususnya pasal 51, Tulus menilai pemerintah berkewajiban untuk mengatur perdagangan pangan dengan tujuan untuk stabilisasi pasokan dan harga.
“Stabilisasi harga pangan salah satu bentuk pelayanan publik. Harga pangan yang tidak stabil adalah bentuk pelanggaran pelayanan publik oleh negara dalam hal ini Pemerintah,” tegas Tulus.
YLKI menduga, melonjaknya harga pangan dan daging sapi lebih karena adanya distorsi pasar dalam mekanisme penentuan harga daging. Oleh karena itu, YLKI meminta KPPU bekerja lebih keras lagi untuk memastikan bahwa struktur pasar kebutuhan pangan dan daging sapi bekerja secara natural, sehingga menghasilkan harga pangan dan daging sapi yang kompetitif. Dengan seperti itu pasar tidak dikuasai oleh pelaku tertentu, khususnya importir dan atau cukong-cukong pasar lainnya.
Sebagai solusinya, YLKI mendesak Pemerintah untuk segera melakukan stabilisasi harga-harga bahan pangan secara meluas dan holistik. Bukan sekadar melakukan operasi pasar, tetapi juga membongkar struktur pasar agar lebih sehat, dan fair; baik dari sisi pasokan, jalur distribusi, dan pihak-pihak yang melakukan distorsi harga.
“Bukan hal yang tidak mungkin, pelaku-pelaku pasar yang melakukan distorsi harga dan pasokan diproses secara hukum, dengan klausul melakukan tindak pidana ekonomi,” imbuhnya.
Selain itu, YLKI meminta masyarakat konsumen berkonsumsi secara rasional. Caranya adalah dengan melakukan pembelian sewajarnya dan kalau perlu melakukan upaya diversifikasi bahan pangan. Jika bisa dilakukan maka YLKI berkeyakinan aksi tersebut tidak akan memperparah distorsi harga bahan pangan yang sedang terjadi.
(bm/bti)