JAKARTA – Terkait merebaknya isu pergantian Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Presiden Joko Widodo diharapkan bisa mengambil sosok yang mampu mendukung suksesnya pemerintahan ke arah yang lebih kuat. Beberapa permasalahan yang tengah terjadi ditengarai karena informasi yang masuk ke Presiden dinilai lemah. Jika tidak diatasi dengan baik dan segera maka bisa mengarah pada semakin menurunnya kepercayaan publik kepada pemerintah. Karena itu, mau tidak mau isu pergantian Kepala BIN menjadi krusial karena dinilai akan berpengaruh pada stabilitas pemerintahan Jokowi.
Hal tersebut disampaikan oleh pengamat sosial politik senior Rahman Sabon Nama kepada redaksi, Jumat (12/8/2016) malam.
“Dengan berbagai tantangan ke depan, maka diperlukan figur kepemimpinan BIN. Saat ini sangat diharapkan peran kekuatan intelijen untuk mengamankan segala kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan bangsa dan negara. Seorang Kepala BIN tidak boleh punya loyalis ganda. Kepentingan politiknya hanya pada negara yang dalam konteks ini diwakili oleh Presiden,” ujar Rahman Sabon Nama dengan nada tegas.
Rahman Sabon menilai bahwa Kepala BIN di bawah duet Letjen TNI Sutiyoso dan Letjen TNI Torry Djohar Banguntoro yang seharusnya menjadi mata, telinga dan radar Presiden justru membawa lembaga sekelas BIN menjadi mundur dan lemah. Padahal menurutnya, kunci keberhasilan Pemerintah menjadi sebuah negara yang hebat, tangguh dan disegani harusnya diikutin dengan kuatnya institusi intelijennya.
“Dibawah kepemimpinan Sutiyoso, justru berbagai peristiwa yang membahayakan kedaulatan dan keamanan nasional terjadi belakangan ini. Saya menilai Sutiyoso gagal menjalankan tugas dan fungsinya secara efektif,” imbuh Rahman Sabon.
Rahman Sabon menambahkan, di masa lalu, komposisi formasi aparatur BIN adalah 70% sipil dan 30% dari unsur TNI dan Polri. Namun, di era kepemimpinan duet Sutiyoso – Torry Djohar Banguntoro ada perubahan formasi. Komposisinya menjadi 40% sipil, 40% TNI dan 20% Polri.
Menurut pria kelahiran NTT ini, perubahan komposisi tersebut tidak presisi mengingat BIN adalah Civiliant Intelligence dan bukannya Combat Intelligence. Lebih jauh Rahman menjelaskan, kepemimpinan BIN sejak didirikan pada 1968 hingga kini belum pernah dipimpin oleh Angkatan Udara dan Angkatan Laut.
“Harapan saya agar jabatan politik Kepala BIN yang baru bisa diisi dengan duet dari angkatan udara dan laut. Tentunya dengan syarat harus punya loyalitas tunggal pada negara dan presiden,” saran Rahman Sabon.
Sosok yang juga Ketua Umum APT2PHI ini menegaskan, figur Kepala BIN yang baru harus mampu berkordinasi dengan institusi intelijen yang lain seperti Intelkam Polri, TNI dan intelijen di Kejaksaan atau Bea Cukai atau bahkan yang ada di struktur lembaga kementerian baik pusat maupun di daerah.
“Ya harus berpusat menjadi satu komando. Satu pintu informasi untuk Presiden melalui BIN,” pungkasnya.
(bm/bti)