Monday, December 15, 2025
spot_img
HomeGagasanUmrah, Digitalisasi, dan Tantangan Transparansi

Umrah, Digitalisasi, dan Tantangan Transparansi

Indonesia, dengan populasi Muslim terbesar di dunia, merupakan lahan subur bagi pertumbuhan industri perjalanan ibadah, khususnya haji dan umrah. Dalam satu dekade terakhir, muncul fenomena menarik: umrah tak lagi semata perjalanan spiritual, melainkan juga menjadi komoditas ekonomi yang menjanjikan. Tulisan ini mencoba menjembatani antara aspek spiritualitas jamaah dengan strategi pasar yang ditempuh para pelaku bisnis religius di Indonesia. Dengan pendekatan naratif dan humanistik, artikel ini menelusuri dinamika segmentasi jamaah, strategi kompetitif, hingga komodifikasi religius dalam lanskap umrah di tanah air.

Ziarah umrah kini tidak lagi eksklusif bagi kalangan berdaya ekonomi tinggi. Kelas menengah, bahkan sebagian dari kelas bawah, mulai terlibat dalam perjalanan religius ini, sehingga membuka peluang segmentasi pasar yang lebih luas. Salah satu manifestasi yang mencolok adalah fenomena umrah backpacker. Jamaah mengatur perjalanan secara mandiri atau semi-otonom dengan biaya lebih ringan dan fleksibilitas lebih besar. Penelitian Pitaya et al. (2021) menunjukkan bahwa motivasi mereka bukan hanya faktor finansial, melainkan juga dorongan untuk memperoleh pengalaman spiritual yang lebih intim, lepas dari keterikatan pada biro perjalanan formal.

Segmentasi jamaah tak lagi ditentukan semata daya beli. Gaya hidup religius, intensi beribadah, hingga tingkat literasi digital turut memengaruhi kategorisasi. Agen perjalanan yang jeli akan membaca kebutuhan baru ini dan menyesuaikan layanannya. Namun, tidak semua pelaku usaha siap menghadapi perubahan ini. Situasi tersebut menghadirkan peluang sekaligus tantangan dalam menavigasi pasar yang kian kompleks.

Dalam iklim persaingan, inovasi menjadi kunci. Salah satu contoh menarik adalah e-marketplace iGoumroh yang digagas PT Sarana TransWisata Teknologi. Platform ini tidak hanya menawarkan paket umrah, melainkan juga menjamin keberangkatan melalui agen resmi terakreditasi. Model jaminan ini menjadi keunggulan kompetitif dibanding pesaing yang mayoritas masih mengandalkan faktor harga (Oktoyadi & Wahyuni, 2019).

Namun, keunggulan itu tidaklah abadi. Konsep transient competitive advantage menegaskan bahwa pasar bergerak cepat, konsumen makin kritis, dan teknologi terus berkembang. Karena itu, biro perjalanan harus adaptif, misalnya dengan menyediakan paket berbasis usia jamaah, aplikasi pelacakan di Tanah Suci, hingga manasik daring.

Hermina et al. (2018) menegaskan bahwa kapabilitas internal dan kondisi eksternal menjadi faktor utama penentu keunggulan usaha, termasuk sektor religius seperti umrah. Di luar itu, keunggulan emosional dan spiritual juga dapat menjadi diferensiasi. Misalnya, biro yang menghadirkan pendamping rohani akan lebih diminati jamaah yang menginginkan pengalaman ibadah lebih khidmat. Nilai tambah non material seperti rasa aman, bimbingan spiritual, dan kemudahan layanan, menjadi pembeda dibanding biro yang sekadar menawarkan harga murah.

Industri perjalanan ibadah kerap dikritik karena dianggap melakukan “komodifikasi” agama. Namun, apakah hal ini sepenuhnya merugikan? Dalam praktik kontemporer, komodifikasi justru bisa menjadi jembatan antara niat spiritual dan kebutuhan logistik. Nurohman (2022) menemukan bahwa biro perjalanan memanfaatkan strategi pemasaran, dari menggandeng selebritas Muslim, bekerja sama dengan ulama, hingga menyelipkan tur ke Istanbul, sebagai cara membungkus “produk ibadah.” Strategi ini mempermudah akses jamaah, sekaligus berisiko menggeser esensi umrah menjadi sekadar “liburan rohani.”

Fenomena ini menandakan bahwa umrah telah menjadi bagian dari industri pariwisata religius. Promosi biro perjalanan dengan klaim “umrah berkah,” “umrah syar’i,” hingga bonus “ziarah makam sahabat Nabi” memperlihatkan bagaimana nilai agama digunakan sebagai alat pemasaran. Hal ini menimbulkan kekhawatiran dari ulama dan akademisi yang menilai ibadah berpotensi direduksi menjadi konsumsi belaka. Karena itu, tanggung jawab etis biro perjalanan adalah menjaga agar paket dan promosi tidak menyesatkan jamaah, apalagi hanya menjual kenyamanan duniawi.

Risiko makin besar bila umrah dipasarkan sebagai “paket ramah anggaran” tanpa jaminan. Kasus Perjalanan Pertama menjadi pelajaran pahit, ketika ribuan jamaah gagal berangkat akibat praktik bisnis berbasis skema Ponzi (Supriyanto & Nurhadiyanto, 2023).

Jika dilihat dengan jernih, komodifikasi tidak selalu bertentangan dengan spiritualitas, sejauh pelaku usaha menjaga integritas, amanah, dan transparansi. Nabi Muhammad sendiri dikenal sebagai pedagang yang jujur. Jamaah pun harus dibekali literasi agar tidak terjebak iming-iming murah. Peran pemerintah dan asosiasi PPIU (Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah) juga krusial untuk mengawasi serta menindak biro nakal yang mereduksi ibadah menjadi sekadar transaksi.

Media sosial seperti Twitter, Instagram, hingga WhatsApp kini menjadi saluran utama promosi. Hashtag seperti #umrohhebat atau #umrahsunnah tidak hanya mendorong interaksi komunitas, melainkan juga berfungsi sebagai alat pemasaran efektif. Mayasari (2019) mencatat bahwa narasi digital memberi pengaruh yang lebih kuat terhadap persepsi publik tentang umrah dibanding brosur konvensional.

Tak terbantahkan, umrah membawa makna spiritual mendalam, lebih dari sekadar perjalanan fisik ke Tanah Suci, tetapi juga proses pemurnian jiwa. Namun, realitas kapitalisme mendorong efisiensi dan pencarian keuntungan. Pertanyaannya, mungkinkah bisnis tetap menjaga esensi ibadah? Jawabannya, mungkin, sepanjang prinsip Islam seperti kejujuran, amanah, dan ihsan dijadikan pijakan utama.

Pasar dan spiritualitas bukanlah dua kutub yang bertentangan, melainkan domain yang bisa saling memperkaya. Ketika pengusaha memandang jamaah bukan sekadar “pasar sasaran” melainkan “tamu Allah,” maka transaksi bisnis bertransformasi menjadi amal. Sebaliknya, ketika jamaah melihat penyelenggara bukan sekadar penjual tiket, melainkan mitra perjalanan ruhani, kepercayaan tumbuh.

Industri umrah Indonesia memperlihatkan bahwa spiritualitas dan strategi pasar bisa berjalan beriringan. Segmentasi jamaah yang kian kompleks menuntut inovasi bisnis yang tetap etis. Pelaku usaha wajib memahami nilai ibadah dan tanggung jawab sosial, sementara konsumen dituntut lebih cerdas dan kritis. Komodifikasi agama memang dilema, tetapi dengan transparansi, edukasi, serta niat tulus, industri ini bisa menjadi ladang amal sekaligus ladang bisnis.

MUHAMMAD RIZKI ABDILLAH

Mahasiswa Program Magister PSDM Peminatan Industri Kreatif, Sekolah Pascasarjana Unair

RELATED ARTICLES

1 COMMENT

  1. tulisan yg berbobot, narasinya enak untuk dibaca, umroh dan haji memang menjadi komuditi ékonomi yg luar biasa, semoga saja oknum² yg nakal akan menyingkin dengan ditatanya beberapa aturan yg baik

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular