
JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Pengamat Perlindungan Konsumen dan Kebijakan Publik sekaligus Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI), Tulus Abadi, menilai pemerintah abai terhadap keberlangsungan layanan angkutan penyeberangan yang vital bagi konektivitas nasional. Ia menyebut, selama lima tahun terakhir tarif angkutan penyeberangan tidak pernah disesuaikan sejak 2019, sehingga selisih antara tarif dan harga pokok produksi (HPP) kini mencapai 31,8%.
“Kondisi ini sangat tidak lazim dan membahayakan, bukan hanya bagi operator, tapi juga bagi konsumen yang berisiko menerima pelayanan dan keselamatan yang menurun,” ujar Tulus di Jakarta, Selasa (28/10/2025).
Menurut Tulus, stagnasi tarif membuat banyak operator kesulitan menutup biaya operasional dan investasi, bahkan menghadapi ancaman kredit macet. Ia memperingatkan bahwa operator kapal bisa saja terpaksa menggunakan suku cadang nonstandar karena pendapatan tak mencukupi.
“Jika tarif dibiarkan di bawah HPP, maka risiko penggunaan onderdil abal-abal meningkat, dan ini sangat berbahaya bagi keselamatan penumpang,” katanya.
Tulus juga menyoroti lemahnya regulasi di sektor penyeberangan. Ia menilai Kementerian Perhubungan terlalu mudah mengeluarkan izin operasional kapal hingga jumlahnya kini lebih dari 600 unit, menyebabkan “inflasi kapal” dan mempersingkat masa operasi kapal menjadi hanya 11–15 hari per bulan.
“Kapal yang tidak beroperasi tetap menanggung biaya tetap seperti listrik, air, dan perawatan. Ini memperparah tekanan finansial operator,” ujarnya.
Selain persoalan tarif dan izin, Tulus menegaskan bahwa keberadaan truk ODOL (Over Dimension Over Load) di kapal penyeberangan adalah ancaman serius bagi keselamatan. Kapal, dermaga, dan pelabuhan menjadi cepat rusak akibat beban berlebih.
“Truk ODOL bukan hanya merusak infrastruktur darat dengan kerugian Rp43,45 triliun per tahun, tapi juga berpotensi menenggelamkan kapal di laut,” tegasnya.
Mengacu pada kajian Badan Pusat Statistik (BPS) 2025, Tulus menjelaskan bahwa larangan ODOL justru memberikan manfaat ekonomi nasional senilai Rp 1,4–Rp 2,86 triliun per tahun serta meningkatkan PDB sebesar 0,06–0,08%.

“Narasi bahwa pelarangan ODOL akan meningkatkan inflasi dan ongkos logistik itu mitos. Faktanya justru sebaliknya,” ujarnya.
Tulus mendorong pemerintah, terutama Kementerian Perhubungan dan Menko Infrastruktur, untuk segera menata ulang kebijakan tarif dan memberikan kompensasi (Public Service Obligation/PSO) seperti halnya Transjakarta yang disubsidi Pemprov DKI Jakarta hingga Rp3 triliun per tahun.
“Jika negara bisa menalangi tarif Transjakarta demi pelayanan publik di Jakarta, maka penyeberangan antar pulau yang menjadi urat nadi bangsa seharusnya mendapat perhatian lebih besar,” tegas Tulus.
Ia menegaskan, keberpihakan negara terhadap sektor penyeberangan adalah keniscayaan mengingat Indonesia adalah negara kepulauan. “Negara tidak boleh menganaktirikan transportasi penyeberangan. Jika tarif tidak bisa dinaikkan, maka kompensasi negara adalah kewajiban moral dan konstitusional,” tegasnya. “Jangan pertaruhkan keselamatan dan kenyamanan penyeberangan rakyat hanya karena kebijakan tarif yang mandek,” pungkas Tulus Abdi.(*)
Editor: Abdel Rafi



