Industri fashion kini menjadi salah satu subsektor industri kreatif yang berkembang pesat. Namun, siapa sangka, saat ini fashion menempati peringkat kedua dalam kontribusi limbah setelah sampah plastik (Sangrawati et al., 2022). Tren fast fashion justru menghadirkan ancaman serius bagi keberlanjutan lingkungan di masa depan. Pada era digital, gaya berpakaian menjelma kebutuhan tersendiri. Melihat peluang tersebut, berbagai jenama atau brand baru bermunculan di media sosial dan platform e-commerce, menawarkan pakaian bergaya trendy dengan harga terjangkau. Banyak di antaranya berpatokan pada “microtrend” media sosial dan memproduksi desain pakaian dalam waktu singkat (Aninda & Sunarya, 2023). Dengan dukungan promosi influencer serta konten kreatif, jenama mampu menjangkau pasar langsung dan membangun loyalitas konsumen. Fenomena ini menjadi peluang bagi wirausahawan dan UMKM kreatif karena dapat masuk ke industri fashion dengan modal terbatas. Bagi konsumen, terutama anak muda dan kelas menengah ke bawah, tren ini memberi akses mudah pada pakaian trendy berharga murah, tanpa harus membeli dari jenama global atau kelas atas (Pratiwi & Zulian, 2023).
Produksi pakaian cepat, berkuantitas besar, dan berharga terjangkau dikenal sebagai fast fashion (Pratiwi & Zulian, 2023). Konsep ini berbasis ready-to-wear untuk menciptakan tren secara cepat dan masif (Sangrawati et al., 2022). Produksi pakaian bisa selesai hanya dalam seminggu, lalu langsung diganti dengan desain baru. Bahkan, beberapa jenama luar negeri telah mencapai tahap ultra-fast fashion dengan produksi lebih singkat lagi (Dzhengiz et al., 2023). Fenomena ini menjadi dilema bagi jenama lokal yakni jika tidak mengikuti tren cepat dan murah, mereka terancam tersisih oleh pesaing. Pasar Indonesia pun cenderung lebih menekankan harga daripada keberlanjutan (Supriyono et al., 2024). Alhasil, banyak jenama lokal memilih produksi besar-besaran di pabrik kecil dengan kontrol etika yang minim. Pola ini juga memperkuat budaya konsumerisme (Pratiwi & Zulian, 2023).
Secara ekonomi memang terlihat inklusif, tetapi industri fashion, khususnya fast fashion, menimbulkan tantangan lebih besar. Secara global, diperkirakan sektor ini menghasilkan 92 juta ton limbah tekstil (Kosak, 2021). Limbah tekstil sulit didaur ulang, sehingga mencemari air, tanah, hingga mempercepat perubahan iklim. Program Lingkungan PBB (UNEP, 2025) melaporkan, setiap detik terdapat satu truk pakaian yang dibuang atau dibakar. Setiap tahun, sektor tekstil menyumbang 2-8% emisi gas rumah kaca global dan 9% polusi mikroplastik ke laut. Pada produksi fast fashion, hanya sekitar 50% produk terserap pasar; dari sisanya, 70% dapat digunakan kembali atau disumbangkan, sementara 30% berakhir sebagai sampah (Elven, 2018). Lebih buruk lagi, bahan yang lazim digunakan, seperti polyester, tergolong sintetis dan sulit terurai (Pratiwi & Zulian, 2023). Hingga kini, hanya 0,3 juta ton atau 1% limbah pakaian yang berhasil didaur ulang, sisanya mencemari lingkungan (European Parliament, 2024). Industri tekstil juga menyumbang 20% pencemaran air bersih dan 10% emisi karbon global (Rizqiyah, 2023).
Menurut Kementerian PPN/Bappenas, timbunan tekstil akibat limbah fashion di Indonesia diperkirakan mencapai 2,3 juta ton per tahun (Arka & Harususilo, 2025), dan jumlah ini terus meningkat jika tanpa intervensi. Data Kemenparekraf (2024) menunjukkan, dari 33 juta ton tekstil yang diproduksi, sekitar 1 juta ton berakhir menjadi limbah (Destryawan, 2024). Kemenperin (2024) menambahkan, 60-70% di antaranya atau sekitar 1,08-1,26 juta ton, berasal dari sektor fast fashion (Salsabila, 2024). Industri fashion juga sangat bergantung pada air. Di Indonesia, aktivitas tekstil menggunakan 93 miliar meter kubik air per tahun (KLHK, 2023; Trisnadi, 2025). Limbah air yang tidak diolah turut mencemari perairan.
Dari berbagai data di atas, jelas bahwa kesadaran dan aksi untuk mengurangi fast fashion mendesak dilakukan, baik oleh konsumen maupun jenama fashion. Dari sisi jenama, praktik ini mendorong penekanan biaya produksi hingga melahirkan kondisi kerja yang tidak manusiawi yakni gaji rendah, jam kerja panjang, dan perlindungan minim (Kamila, 2024). Karena itu, jenama perlu beralih ke slow fashion dengan produksi terbatas, berbasis pre-order, dan mengutamakan kualitas serta bahan ramah lingkungan (Sangrawati et al., 2022). Meski tidak secepat fast fashion, konsep ini membangun loyalitas jangka panjang sekaligus memperkuat nilai merek. Strategi upcycling pada produk yang tidak laku juga bisa diterapkan (Nidia & Suhartini, 2020). Salah satu jenama lokal yang mulai berani menerapkan slow fashion adalah Kana Goods.
Dari sisi konsumen, masyarakat perlu meningkatkan kesadaran, mengurangi perilaku konsumtif, dan beralih ke produk slow fashion. Dukungan terhadap UMKM atau jenama lokal berbahan alami dan berkelanjutan sangat penting, meski jenama tersebut masih kecil. Dalam membeli pakaian, konsumen perlu mengutamakan kebutuhan dan keawetan. Kini, tren thrifting, upcycling, dan minimalist fashion mulai berkembang sebagai alternatif konsumsi berlebihan (Sangrawati et al., 2022). Dengan memperpanjang usia pakai pakaian, emisi gas rumah kaca dapat berkurang hingga 44% (Universitat Politecnica de Catalunya, 2022). Pemerintah juga perlu hadir melalui regulasi dan infrastruktur pengolahan limbah.
Pada akhirnya, harga murah fast fashion sejatinya dibayar mahal oleh lingkungan dan masa depan kita. Tren pakaian yang berganti secepat kilat memang memberi kepuasan instan, tetapi meninggalkan jejak limbah, polusi, dan ketidakadilan sosial yang panjang. Pilihan kita sebagai konsumen, produsen, dan warga negara akan menentukan bahwa apakah terus menumpuk masalah demi gaya, atau berinvestasi pada kesadaran, kualitas, dan keberlanjutan. Dengan beralih ke slow fashion, mendukung jenama lokal beretika, serta mendorong regulasi ramah lingkungan, kita tidak hanya menjaga bumi tetap layak huni, tetapi juga merajut masa depan yang lebih adil, sehat, dan bermartabat bagi generasi mendatang. Semoga.
NILNA MUNA SHOLIHAH
Mahasiswa Program Magister PSDM Peminatan Industri Kreatif, Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga