Pada detik-detik proklamasi kemerdekaan, kita percaya bahwa negeri ini lahir dari komitmen kebersamaan, menjunjung tinggi kemanusiaan, dan mengedepankan keberadaban. Kemerdekaan kala itu terpancar melalui kebebasan menentukan jalan hidup, hak berbicara tanpa rasa takut, serta kehormatan untuk hidup dalam keberagaman.
Kita pun membayangkan tanah air yang santun dalam bertutur, lembut dalam bersikap, tegas dalam prinsip, dan beradab dalam bertindak terhadap sesama.
Namun, di usia 80 tahun, kanvasnya berbeda. Negeri yang dulu menjanjikan kedamaian dan tatanan sosial rukun perlahan kehilangan sebagian sifat itu. Hal-hal yang dulu dianggap wajar, saling menghormati, empati, ketaatan pada aturan, serta adab dalam berargumentasi, kini terasa semakin langka.
Hilangnya negeri yang santun dan beradab tidak selalu hadir dalam peristiwa besar. Ia sering bersembunyi di sela-sela keseharian: di ujung jabat tangan yang tak ramah, di ruang publik yang sesak oleh ujaran tajam, di layar-layar sosial tempat perbedaan pendapat berubah menjadi caci maki. Kita kerap mengira kesantunan hanya urusan etika pribadi. Padahal, ia adalah infrastruktur sosial: cara kita membangun komunikasi, menegakkan hukum, mengakui kesalahan, memperbaiki diri, dan memahami perbedaan sebagai kekayaan, bukan ancaman.
Salah satu sorotan utama ialah bagaimana ruang publik, termasuk media dan dialog digital, kerap kehilangan aroma kesantunan. Kritik, yang sejatinya diperlukan sebagai mekanisme koreksi negara, sering melompat dari ranah ide ke ranah personal. Debat yang seharusnya merangsang pemikiran berubah menjadi ajang serangan pribadi, bahkan memproduksi sikap permisif terhadap kekerasan ujaran. Dalam euforia kemenangan politik, etika dialog ditukar dengan keras kepala, seakan adab bernegosiasi tidak lagi relevan. Padahal, kemerdekaan bukan hanya bebas dari penjajahan fisik, melainkan juga bebas dari kebengisan bahasa.
Hilangnya negeri yang santun juga tampak dalam ketidakadilan yang terus berulang. Ketika hukum ditegakkan selektif, keadilan menjadi kemewahan bagi sebagian orang. Ketika empati terhadap kaum marginal diterapkan setengah hati, kita kehilangan kemampuan melihat penderitaan orang lain sebagai bagian dari keseimbangan negara. Adab sosial, yakni merespons derita orang lain tanpa merendahkan, sesungguhnya mampu merapatkan jarak antara kaya dan miskin, kota dan desa, penguasa dan yang terpinggirkan. Negeri yang santun tidak membeda-bedakan martabat manusia, meski berbeda suku, agama, atau budaya. Inilah fondasi kemerdekaan: hak hidup yang layak, dihormati, dan diakui.
Kita juga perlu mengakui bahwa hilangnya kesantunan bukan semata akibat perilaku individu. Ada faktor sistemik yaitu disparitas pendidikan, akses informasi yang timpang, serta kelemahan institusi publik dalam menyiapkan warga negara yang bukan hanya cerdas secara teknis, tetapi juga matang secara moral.
Karena itu, pendidikan karakter, tanpa mengorbankan kebebasan berpikir, menjadi penting. Nilai seperti empati, tanggung jawab sosial, rendah hati, dan keadilan perlu diajarkan sejak dini, tidak hanya di sekolah, tetapi juga di rumah, tempat kerja, dan komunitas lokal. Jika kita ingin negeri ini kembali bernafas santun, kita harus membudayakan dialog yang berakar pada rasa hormat, melatih diri mendengar tanpa tergesa menyalahkan, serta menyadari bahwa perbedaan adalah pintu memperkaya, bukan penghalang berkolaborasi.
Kebebasan yang kita rayakan setiap 17 Agustus semestinya berjalan beriringan dengan tanggung jawab. Kebebasan tanpa adab berisiko menjadi anarki; adab tanpa kebebasan bisa menjelma pengekangan.
Negeri yang santun adalah negeri di mana hukum ditegakkan adil, hak setiap individu tak boleh dilanggar atas nama “kebenaran mayoritas,” dan pelanggaran tak sekadar dihukum, melainkan juga dikoreksi melalui proses yang manusiawi. Dalam konteks kemerdekaan ke-80 ini, kita perlu merenungkan bagaimana membangun institusi yang menebarkan adab dalam kehidupan sehari-hari: dari antrean di kantor pelayanan publik hingga regulasi media sosial, dari kebijakan perlindungan minoritas hingga hak pekerja, dari pelaksanaan pemilu hingga cara menerima hasilnya dengan lapang dada.
Lalu bagaimana merayakan kemerdekaan ke-80 bukan sekadar dengan menumpuk kenangan, tetapi juga mengubah kenyataan? Jawabannya terletak pada tindakan nyata yang memulihkan nilai-nilai santun dan beradab. Beberapa langkah di antaranya:
- Memperkuat pendidikan karakter berlandaskan empati, tanggung jawab, dan kehormatan martabat manusia.
- Mendorong etika debat publik yaitu argumentasi fokus pada isu, bukan serangan pribadi; menghargai masukan, meski berbeda pendapat.
- Memperbaiki akses keadilan dan layanan publik agar setiap warga merasa terwakili dan dihormati.
- Mengajak media serta platform digital menegakkan norma adab, mengurangi kebencian, dan mempromosikan diskursus sehat.
- Menguatkan budaya kerja sama lintas sektor antara pemerintah, swasta, LSM, dan komunitas lokal dalam program inklusif.
- Memelihara bahasa santun, mengurangi intimidasi politik maupun publik, sebab bahasa adalah cermin budaya.
Kita juga perlu mengenang pejuang kemerdekaan dengan cara yang relevan: tidak hanya melalui monumen atau slogan heroik, melainkan dengan meneladani jalan hidup mereka, pengorbanan, disiplin, integritas, dan solidaritas. Jika nilai-nilai itu ditanamkan dalam diri setiap warga negara, negeri ini perlahan akan pulih menjadi tempat yang santun dan beradab.
Akhir kata, 80 tahun kemerdekaan adalah momen reflektif: saat menanyakan kepada diri, bangsa macam apa kita kini? Apakah kita masih menjaga kelembutan hati ketika menghadapi perselisihan? Akankah kita membangun kembali negeri ini agar tidak hanya bebas, tetapi juga beradab dan penuh empati? Semoga kita mampu menata ulang dialek perbedaan menjadi harmoni, serta merancang masa depan yang layak bagi seluruh anak bangsa. Sebab kemerdekaan bukan sekadar tanggal di kalender, melainkan komitmen abadi menjaga kemanusiaan bersama, di mana pun kita berada, di setiap tindakan yang kita pilih sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
ERVAN PURWANTO
Ketua Umum Pemuda Cinta Tanah Air