
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Tragedi ambruknya bangunan di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Buduran, Sidoarjo, yang menelan korban jiwa, menggugah banyak pihak untuk serius membangun sistem mitigasi risiko di lingkungan pesantren.
Pengurus Pusat Gerakan Nasional Ayo Mondok (GNAM) bersama Perhimpunan Dokter Nahdlatul Ulama (PDNU) menegaskan, keselamatan santri harus menjadi prioritas utama dalam pengelolaan pesantren.
“Musibah di Buduran adalah alarm keras bagi kita semua. Pesantren tidak bisa berjalan sendiri dalam menghadapi risiko. Diperlukan kesadaran kolektif dan kolaborasi lintas pihak,” ujar Dr. Hisnindarsyah, pengurus GNAM sekaligus PDNU, Kamis (2/10/2025).
Mitigasi Risiko: Dari Bangunan hingga Kesehatan Santri
Menurutnya, mitigasi risiko di pesantren harus dimulai dari identifikasi bahaya. Mulai dari struktur bangunan yang rapuh, kabel listrik semrawut, sanitasi buruk, risiko bencana alam, hingga persoalan sosial-psikologis santri akibat over kapasitas.
“Setelah itu, perlu analisis dan prioritas. Mana yang paling membahayakan jiwa harus ditangani segera, meski dengan dana terbatas. Prinsipnya, nyawa santri nomor satu,” tegas Hisnindarsyah.
Langkah berikutnya adalah penerapan solusi konkret, seperti renovasi bangunan, penyediaan alat pemadam api, jalur evakuasi, serta pelatihan tanggap darurat bagi santri dan pengurus. Evaluasi rutin juga wajib dilakukan, misalnya dengan membentuk satgas mitigasi di pesantren.
Hisnindarsyah menekankan, mayoritas pesantren dibangun secara swadaya dengan keterbatasan anggaran. Karena itu, dukungan pemerintah, kampus, ormas, dan media sangat penting.
“Pemerintah bisa membuat kebijakan pengawasan keselamatan, kampus memberi pendampingan teknis, sementara ormas dan media bisa mendorong advokasi serta edukasi publik,” jelasnya.
Sebagai tindak lanjut tragedi Buduran, GNAM dan PDNU membentuk Posko Peduli Khoziny. Posko ini difokuskan untuk trauma healing bagi santri, pendampingan komunikasi publik, advokasi hukum, serta pembentukan media center agar arus informasi terkendali.
“Pesantren bukan hanya benteng spiritual, tapi juga harus kokoh secara struktural dan manajerial. Dengan mitigasi risiko yang serius, kita bisa mencegah tragedi serupa terulang kembali,” pungkas Hisnindarsyah. (*)
Editor: Tommy dan Abdel Rafi