SURABAYA – Wangi bunga yang semerbak dan warna warni bunga yang memanjakan mata, membuat setiap orang yang melihat tidak bisa mengalihkan pandangan. Namun, ada pemandangan yang cukup langka di tempat yang berada tepat di halaman depan Kantor ALIT Indonesia yang berlokasi di Jalan Ketintang Madya Nomor 73 Kelurahan Karah, Kecamatan Jambangan, Kota Surabaya itu, yakni para remaja yang sedang bergelut dengan bunga-bunga justru adalah remaja laki-laki.
Mereka adalah para remaja yang tergabung dalam Duta Dewa Dewi Ramadaya atau DDRD. Persahabatan yang terjalin diantara para remaja laki-laki DDRD ini cukup unik. Mereka saling kenal ketika bergabung di posko ALIT Indonesia yang ada di Bulukerto ketika terjadi bencana banjir di sana. Dari sini mereka saling membantu, bertukar cerita, pengalaman, hingga mengamati situasi kawan-kawan mereka yang berada di Desa. Persahabatan mereka, kemudian membawa mereka untuk membuat sesuatu yang baru untuk mencapai misi mereka. Salah satunya dengan membuat usaha toko bunga dan menjadi florist.
“Momentum yang membuat kita kepikiran untuk mendirikan toko itu karena lahan pertanian teman-teman di Bulukerto pada waktu itu banyak yang hancur karena bencana, ditambah setelah itu Covid-19. Jadi warga yang mayoritas petani tidak ada pemasukan. Dari sini kita kepikiran untuk menjadi florist dan membuat toko bunga supaya bisa bantu mereka, teman-teman kita,” ucap Dicky Fryan Budi, salah satu remaja laki-laki DDRD, memulai ceritanya pada media ini, Jumat (1/9/2023).
“Selain itu juga, kita yang di Surabaya melihat cukup banyak peminat bunga. Di event-event pernikahan, kematian, selamatan, bahkan anak-anak yang kasmaran pasti butuh bunga. Di sini kita melihat ada peluang besar. Tidak hanya untuk membantu teman-teman di Bulukerto, tapi kita juga bisa mendapat keuntungan yang fair. Di sini harga bunga mahal dan tidak sesegar yang kita inginkan,” lanjut Ranah Nirvananda selaku Koordinator Duta Nasional DDRD.
Faktanya, kebutuhan tanaman hias dan bunga potong di Indonesia cukup tinggi. Dikutip dari website Kementerian Pertanian, konsunsi Bungan potong di kota-kota besar Indonesia rata-rata mencapai 1.286.000 tangkai dengan urutan penjualan tertinggi pada bunga mawar, anggrek, gerbera, gladiol, dan krisan. Angka ini cukup berbeda dengan angka produksi bunga potong dan tanaman hias (florikultura) di Indonesia. Menurut Survei Badan Pusat Statistik Indonesia pada tahun 2022, produksi tertinggi jatuh pada bunga krisan 394.502.028 tangkai, disusul dengan bunga mawar 169.106.617 tangkai, bunga sedap malam 118.329.225 tangkai, gerbera 21.311.554 tangkai, dan anggrek 6.7.93.967 tangkai.
Angka produksi dan kebutuhan yang jauh, ditambah kebutuhan bunga yang bergantung pada musim dan tradisi yang ada, membuat petani seringkali merugi. Contohnya di Jawa, bunga akan sangat dicari ketika banyak acara pernikahan di bulan-bulan yang dianggap baik. Sedangkan di bulan-bulan tertentu, tidak ada yang mengadakan acara pernikahan. Disinilah, kebutuhan akan bunga menurun drastis.
Ditambah, harga bunga yang dipatok pada para petani tetaplah sama meskipun kebutuhan akan bunga tinggi. Hal seperti ini juga terjadi pada para petani di desa dampingan ALIT Indonesia di Bulukerto. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Tim Database ALIT Indonesia, terdapat 11 orang tua dari anak dampingan yang menjadi petani bunga.
Kejadian ini, yang juga menggerakkan mereka untuk memilih bunga untuk menjadi ‘sasaran’ dari kreativitas mereka.
“Pas kita main di Bulukerto, kita melihat para orang tua dan tetangga-tetangganya banyak yang punya kebun bunga. Dan ternyata keuntungan mereka tidak banyak, dan jauh dari harga yang ada di Surabaya,” kata Ranah.
Tidak hanya dari angka produksi dan kebutuhan yang cukup jauh, alur penjualan bunga dari petani hingga ke tangan konsumen juga cukup jauh. Para petani dihimpun oleh pengepul untuk menjual dan menyediakan stok bunga yang sudah disepakati bersama dengan harga yang rendah. Pengepul tersebut akan menyetorkan bunga ke toko-toko bunga yang ada di kota dengan harga yang rendah pula. Para pengepul tersebut akan menerima uang hasil penjualan setelah 5 kali penyetoran dengan ketentuan bunga tersebut terjual.
Mirisnya, dengan panjangnya proses tersebut, modal yang dimiliki para tengkulak belum tentu kembali dan bunga yang dijual di kota memiliki harga yang mahal. Misalnya bunga mawar. Dari harga petani Rp. 1000,- ke harga tengkulak sekitar Rp. 2000,-.
“Mawar tersebut di kota biasanya dijual dengan harga Rp. 5000, pada hari biasa dan bisa naik menjadi dua kali lipat ketika ada event-event tertentu,” ungkap Ranah.
Di sinilah, para remaja DDRD hadir membawa misi mereka. Diantara banyak misi yang mereka bawa, ada 3 misi besar yang mereka perjuangkan. Pertama, memotong panjangnya alur dagang bunga dan memberikan harga yang fair pada para petani. Di toko bunga Dewa-Dewi Ramadaya, para remaja menggunakan harga yang mendekati harga tengkulak berdasarkan jenis masing-masing bunga untuk dijual kepada konsumen dan dibayar secara langsung pada mereka. Sehingga para petani dan tengkulak bisa menjalankan perputaran uang dengan lebih cepat. Seperti yang dikatakan Ranah Nirvananda, “Makanya, di sini kita pakai harga tengkulak, agar adil dan bisa memasarkan ke banyak orang. Jadi di sini, profit sama misi bisa jalan bersama.”
Kedua, memakai desain yang unik, variatif, penuh makna, dan tidak lepas dari suasana desa, seperti contohnya karangan bunga untuk ucapan yang berbentuk panggung pertunjukan desa dengan beragam jenis bunga. Pada model karangan bunga ini, kita dapat melihat pesan akan keberagaman dan kesetaraan yang tersirat. Bunga dari berbagai jenis, warna dan harga dapat bersanding setara di dalam satu rangkaian yang indah.
“Toko bunga Dewa Dewi Ramadaya menyediakan berbagai macam bunga. Dari bunga mawar dengan berbagai warna, peacock, krisan, lily, aster, bromelia, pom-pom, sedap malam, dan masih banyak lagi macamnya,” papar Ranah.
Ditambah nuansa desa yang ramah lingkungan yang tidak terlupakan. Di sini juga, lanjut Ranah, memberikan ruang yang lebih luas bagi para petani biasa untuk dapat mengembangkan lebih banyak lagi bunga-bunga yang sebelumnya hanya dapat dikembangkan oleh para petani yang memiliki greenhouse.
Ketiga, menggunakan wadah dan media yang ramah lingkungan. Sudah bukan rahasia lagi jika ALIT Indonesia gencar untuk mengkampanyekan dan mengajak semua kalangan untuk menjaga dan merawat bumi. Pesan ini yang selalu tertanam lekat pada para remaja dan tercermin dalam karya-karya mereka.
Para remaja ini memiliki harapan yang sangat besar dalam membangun toko bunga ini dan mengenalkannya pada banyak orang.
“Dengan adanya toko ini, kita berharap bisa menyelamatkan teman-teman dari sistem ijon yang merugikan. Dan teman-teman tidak perlu malu untuk bertani dan mengembangkan potensi desa mereka tanpa merusak alam. Karena bunga itu tentang cinta dan manusia. Jadi mari sebarkan cinta dan kasih melalui bunga demi kemanusiaan, karena sejatinya manusia terbuat dari cinta orang-orang di sekitarnya,” pungkas Ranah dan Dicky.
Direktur ALIT Indonesia: Gagasan Solutif Atas Keprihatinan Yang Dirasakan Anak Muda!
Sementara itu, terpisah, Direktur ALIT Indonesia, Yuliati Umrah membenarkan bahwa dalam beberapa minggu ini, pihaknya dan teman-teman muda para remaja binaan ALIT Indonesia telah membuka toko bunga dan sayur segar.
“Ada beberapa cerita yang melatarbelakangi. Tentu saja masih tentang keprihatinan ALIT Indonesia tentang kemiskinan di desa yang masih berkelindan dengan problem sosial lainnya,” ujar Yuliati Umrah saat dihubungi media ini, Sabtu (2/9/2023).
Menurut alumnus Universitas Airlangga itu, persoalan lingkungan hayati yang rusak, isu rente dan ijon serta rantai pasok yang panjang yang menyebabkan anak-anak beserta keluarganya berada di garis hidup penuh resiko menjadi serangkaian faktor yang menjadi latar belakang dari bagaimana remaja binaannya melahirkan ide toko bunga dan sayur segar.
“Ide para remaja membuka toko bunga dan sayur segar adalah salah satu usaha menjawab problem yang dihadapi petani bunga di Batu. Saya hanya memfasilitasi dan pastinya mendukung upaya ekonomi kreatif mereka,” pungkas wanita asal Madura itu.
Reporter: Riris Agustina Anggraini
Editor: Muhammad Abdel Rafi