Thursday, May 1, 2025
spot_img
HomeSosial BudayaKemanusiaanTangisan di Rumah Mbah Suwando: Ketika Negara Terlambat Hadir untuk Muhammad Nufarel

Tangisan di Rumah Mbah Suwando: Ketika Negara Terlambat Hadir untuk Muhammad Nufarel

Muhammad Nufarel semasa hidupnya dalam pangkuan sang kakek, Mbah Suwando, warga Desa Muara Burnai, Kecamatan Lempuing Jaya, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. (foto: IST)

OGAN KOMERING ILIR, CAKRAWARTA.com – Angin sore di desa itu seakan menahan napas. Di sebuah rumah sederhana berdinding papan, suara tangis pelan terdengar lirih, mengiringi kepergian seorang bocah yang belum genap tiga tahun. Namanya Muhammad Nufarel—anak yatim piatu yang meninggal dunia akibat muntaber dan batuk berkepanjangan. Di pangkuan seorang kakek renta bernama Mbah Suwando, ia mengembuskan napas terakhir pada Selasa (29/42025) kemarin lusa. Dalam sunyi, dalam sakit, dalam keterasingan dari perhatian negara.

Kisah ini bukan sekadar catatan duka. Ini adalah cermin retak dari wajah pelayanan publik kita. Sebuah tragedi yang lahir bukan hanya dari penyakit, tapi dari diamnya sistem yang seharusnya menyentuh mereka yang paling lemah.

“Saya Cuma Punya Cucu Itu… Sekarang Dia Sudah Nggak Ada Lagi”

Dengan suara parau dan mata sembab, Mbah Suwando menuturkan kisah pilunya kepada wartawan pada hari yang sama. Ia bukan kakek biologis, namun bagi Nufarel, Suwando adalah dunia. Lelaki tua itu merawatnya sejak bayi, setelah kedua orang tuanya meninggal. Tidak ada harta, tak ada sawah atau ladang, hanya kasih sayang yang ia punya. Tapi kasih sayang itu pun tak mampu membendung maut ketika tak ada bantuan datang.

“Anak itu sudah sakit sejak awal tahun. Dia batuk, dia muntah-muntah, badannya panas. Saya sudah bingung mau bawa ke mana,” lirih Suwando, menggenggam sehelai baju kecil yang masih menyimpan aroma cucunya.

Yang membuat tangisan itu makin dalam adalah kenyataan bahwa pemerintah desa, yang kantornya hanya sekitar 1 kilometer dari rumah Suwando, tak pernah benar-benar hadir. Tak ada pendampingan dari dinas sosial. Tak ada sentuhan dari program PKH, padahal Nufarel—sebagai yatim piatu—jelas layak mendapatkannya.

Negara Datang Terlambat, Lalu Memungut Biaya

Pada Senin (28/4/2025), satu hari sebelum Nufarel wafat, tubuh kecil itu dibawa ke Puskesmas Tugu Jaya dalam kondisi kritis. Harapan terakhir. Namun alih-alih diberi penanganan cepat dan penuh empati, keluarga justru dibebani biaya. Padahal, menurut Suwando, BPJS anak itu sudah diaktifkan.

“Kenapa masih bayar? Kenapa anak sekecil itu yang sekarat harus tetap dipungut biaya?” tanya seorang warga yang menyaksikan kejadian itu, suaranya bergetar antara marah dan sedih.

Seorang tokoh masyarakat berinisial H (40), yang turut memberikan keterangan pada Rabu (30/4/2025), menyayangkan sikap aparatur pemerintah desa yang ia nilai “cuek dan lamban”. “Mereka seakan tidak peduli. Ini bukan soal politik atau administrasi, ini soal nyawa manusia. Seorang cucu yatim piatu sedang berjuang untuk hidup… tapi dibiarkan begitu saja.”

Di Mana Negara Saat Mereka Menangis?

Kisah ini bukan satu-satunya. Tapi Muhammad Nufarel telah menjadi simbol: seorang bocah kecil yang meninggal dalam pelukan kakeknya, bukan karena penyakit semata, melainkan karena kelambanan dan abainya sistem yang seharusnya melindungi.

Ini bukan hanya soal satu desa, satu puskesmas, atau satu kantor pemerintahan. Ini tentang tanggung jawab. Tentang seberapa dalam negara mau hadir bagi mereka yang paling terpinggirkan. Anak yatim piatu seharusnya menjadi prioritas dalam perlindungan sosial. Tapi hari ini, satu dari mereka telah terkubur, bukan hanya oleh tanah, tapi oleh kealpaan kita bersama.

Seruan dari Desa: Jangan Ada Nufarel Berikutnya

Dengan diterbitkannya kisah ini, CAKRAWARTA.com menyerukan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan untuk tidak tinggal diam. Ini adalah momen refleksi—bahwa sistem sosial dan kesehatan kita perlu dibenahi secara serius. Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, dan jajaran Pemkab OKI mesti turun langsung, bukan hanya melihat data dari balik meja, tetapi menelusuri setiap rumah seperti milik Mbah Suwando. Di sanalah, anak-anak seperti Nufarel masih menunggu kehadiran negara.

Karena tidak ada yang lebih menyakitkan dari kehilangan… kecuali ketika kehilangan itu terjadi dalam sepi, tanpa tangan yang menggenggam, tanpa suara yang membela.

Dan di Muara Burnai II, suara tangis itu masih bergema. Bukan hanya karena duka, tapi karena rasa ditinggalkan.

(***)

(Reza/Rafel)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Berita Terbaru

Most Popular