Thursday, May 1, 2025
spot_img
HomePolitikaMenuju Republik: Seratus Tahun Naar De Republiek Indonesia, Seruan Tan Malaka yang...

Menuju Republik: Seratus Tahun Naar De Republiek Indonesia, Seruan Tan Malaka yang Masih Membakar

Ilustrasi. (gambar: Tim Cakrawarta)

YOGYAKARTA, CAKRAWARTA.com – Dalam suhu ruang yang hangat di kaki Gunung Merapi, suara itu kembali menggema. Bukan dari denting peluru atau gelegar podium kampanye, melainkan dari getar kata-kata yang keluar dari mulut seorang pengamat politik, Airlangga Pribadi Kusman, dalam diskusi memperingati 100 tahun buku legendaris Naar De Republiek Indonesia karya Tan Malaka.

“Sudah saatnya kita bertanya: apakah Republik ini masih menjadi rumah bagi semua, atau hanya benteng bagi segelintir?” tanya Airlangga, penuh api di dada. Kalimat itu menghentak ratusan pemuda yang hadir di Ruang Literasi Kaliurang. Di hadapan mereka, sejarah bukan hanya masa lalu, tetapi panggilan untuk bertindak.

Jejak Tan Malaka: Berorganisasi Sebagai Jalan Emansipasi

Menurut Airlangga, dalam dunia yang penuh keterasingan dan ketidakadilan ini, gagasan Tan Malaka masih relevan bahkan terasa lebih genting. Tan menulis pamflet legendaris Naar De Republiek Indonesia saat mengembara sebagai buronan internasional, tanpa pustaka, tanpa stabilitas. Namun ia menyalakan obor besar: Republik bukanlah tujuan, melainkan proses panjang—dan organisasi adalah jalannya.

“Tan memahami bahwa rakyat yang diinjak-injak martabatnya, buta huruf dan miskin, hanya bisa bangkit jika ada wadah kolektif. Maka ia mendirikan Sekolah Rakyat. Maka ia ikut membangun Sarekat Islam. Maka ia tulis pamflet, bukan untuk gagah-gagahan intelektual, tapi untuk membakar semangat,” terang Airlangga.

Di tengah kemiskinan struktural Hindia Belanda, Tan mengajarkan bahwa kebebasan bukan hadiah, melainkan hasil dari konsolidasi. Ia bukan hanya pendiri ide Republik, tapi juga arsitek jalan menuju ke sana. Dari organisasi—rakyat menyadari haknya. Dari kesadaran—muncul keberanian. Dari keberanian—lahirlah Republik.

Gen Z dan Tugas Mendirikan Republik Mereka Sendiri

Kini, seratus tahun setelah pamflet itu ditulis, Airlangga menggugat para pemuda masa kini. “Apakah kita telah gagal menerjemahkan semangat Tan Malaka kepada Gen Z? Kita bicara demokrasi, tapi adakah ruang aman bagi mereka yang ditindas secara mental dan material? Kita punya media sosial, tapi apa maknanya bila hanya menjadi lorong sunyi keterasingan digital?” serunya lantang.

Ia mengajak generasi muda untuk melihat berorganisasi bukan sebagai kegiatan usang, tapi sebagai bentuk perlawanan terhadap keterpecahan dan apatisme.

Airlangga Pribadi Kusman (berdiri) saat membakar semangat para peserta diskusi di Ruang Literasi Kaliurang, Yogyakarta, Senin (28/4/2025). (foto: dokumen pribadi)

“Organisasi bukan soal seragam atau struktur. Ia adalah ruang bertumbuh, tempat mendengarkan keresahan rakyat dan menyalurkan energi politik menuju kebahagiaan bersama. Seperti yang dilakukan Tan Malaka. Seperti yang dilakukan para pendiri bangsa,” tambahnya.

Dari Naar De Republiek Menuju Republik Emansipatif

Bersama para pemikir lain, Airlangga membedah teks Naar De Republiek Indonesia bukan sebagai peninggalan museum, tetapi sebagai panduan aksi. Ia memuji Tan Malaka karena mampu menyambungkan realitas lokal Indonesia dengan dinamika global dalam semangat perjuangan kelas, jauh sebelum itu jadi tren akademik.

“Tan menulis tanpa perpustakaan. Tapi analisisnya tentang kolonialisme sebagai sistem predatorik, tentang pembangunan partai sebagai alat pembebasan, masih lebih maju dibanding 1.000 tesis intelektual kita hari ini. Ia bukan hanya menulis gagasan merdeka, tapi juga program konkret tentang pendidikan, kesejahteraan, dan demokrasi,” jelas Airlangga.

Menjemput Republik Kedua

Bagi Airlangga, peringatan 100 tahun ini bukan sekadar nostalgia intelektual. Ia adalah tanda bahwa Republik yang dibayangkan Tan belum selesai. Bahkan bisa jadi sudah melenceng. Ia menyebut inilah saatnya kita menjemput Republik Kedua—sebuah republik yang dibangun dari bawah, oleh rakyat yang sadar, terorganisir, dan saling menopang.

“Tan Malaka menyebut bahwa Republik adalah rumah untuk menyelesaikan keterasingan manusia. Maka tugas kita hari ini adalah memastikan bahwa rumah itu tetap berdiri, bukan sebagai simbol kekuasaan, tetapi ruang emansipasi,” pungkas pria yang juga Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga itu.

Hari itu, para pemuda di bawah langit Yogya tak hanya mendengarkan sejarah. Mereka disuguhi panggilan. Seruan untuk membangun organisasi, menyusun kekuatan, dan mewujudkan mimpi Tan Malaka: Republik yang benar-benar untuk semua.

Dan dari ruang literasi yang sederhana, gema Republik itu kembali terdengar. Bukan sebagai dongeng masa lalu. Tapi sebagai janji yang belum selesai. (***)

Kontributor: Tommy

Editor: Rafel

Foto: Tim Cakrawarta

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Berita Terbaru

Most Popular