
SYDNEY, CAKRAWARTA.com – Intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) yang juga dosen senior di Monash University, Australia, Nadirsyah Hosen, melontarkan kritik keras terhadap pernyataan Ketua PBNU, Ulil Abshar Abdalla, yang menyebut bahwa “penambangan itu baik, asal bukan bad mining.” Bagi Nadirsyah, narasi semacam itu terlalu menyederhanakan persoalan kompleks yang menyangkut keadilan, hak rakyat, dan kelestarian lingkungan.
“Tambang bukan cuma soal teknis atau untung-rugi. Ia adalah soal keadilan, soal siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Dan kenyataannya, mayoritas rakyat justru menjadi korban dari eksploitasi tambang yang brutal,” tegasnya dalam pernyataan tertulis, Sabtu (14/6/2025).
Maslahat Harus Diuji, Bukan Diasumsikan
Nadirsyah menekankan, dalam kerangka maqāṣid al-sharī‘ah, maslahat publik (maṣlaḥah ‘āmmah) memang diakui sebagai prinsip penting. Namun, maslahat tidak bisa dipahami secara sempit sebagai “yang membawa manfaat ekonomi.” Ia mengutip Imam al-Ghazālī dalam al-Mustaṣfā bahwa maslahat yang sah (mu‘tabarah) adalah maslahat yang tidak bertentangan dengan teks wahyu maupun konsensus ulama.
“Kalau tambang mencemari lingkungan, menggusur masyarakat adat, dan merampas ruang hidup, maka itu bukan maslahat. Itu fasād, kerusakan yang nyata,” ujarnya.
Mengutip ayat Al-Qur’an, “Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi setelah diperbaiki” (QS Al-A‘rāf: 56), Nadirsyah menegaskan bahwa Islam tidak mengizinkan aktivitas apapun yang merusak tatanan ekologis dan mencederai keseimbangan alam.
“Kerusakan ekologis akibat tambang itu bukan sekadar luka tanah. Ia menghancurkan warisan leluhur, mengusir masyarakat dari tanahnya, dan merampas masa depan anak cucu kita,” tambahnya. Dalam fiqh al-bī’ah (fikih lingkungan), kata dia, ini disebut fasād al-bī’ah, dan merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanah kekhalifahan manusia di muka bumi.
Lebih lanjut, Nadirsyah mengutip ulama besar al-‘Izz ibn ‘Abd al-Salām yang menyatakan bahwa segala hal yang mengarah kepada kezaliman adalah haram secara mutlak. Sementara itu, mayoritas tambang di Indonesia, meskipun memiliki izin resmi, kerap terlibat dalam pelanggaran etis, pemalsuan dokumen AMDAL, represi terhadap masyarakat adat, dan pembungkaman protes warga.
“Kalau praktiknya penuh kezaliman, lantas di mana maslahatnya? Maslahat yang menyakiti rakyat dan merusak lingkungan adalah kedok belaka. Itu bukan maslahat, tapi tipu daya moral yang membahayakan,” tegasnya.
Pertanyaan penting yang dilontarkan Nadirsyah adalah: maslahat ini sebenarnya untuk siapa? “Kalau yang diuntungkan hanya segelintir elite politik, pejabat, dan pemilik saham, sementara rakyat kehilangan air bersih, tanah, dan udara sehat, itu bukan maslahat, itu penjajahan dalam negeri,” ujarnya tajam.
Ia menegaskan, dalam Islam, maslahat harus bersifat adil, merata, dan berkelanjutan. Klaim maslahat tidak sah jika lahir dari praktik yang menindas.
Sebagai penutup, Nadirsyah menyampaikan peringatan kepada para ulama agar tidak terjebak dalam narasi normatif yang menguntungkan oligarki. Ia menegaskan pentingnya suara-suara kritis dari kalangan agamawan dalam membela keadilan ekologis dan sosial.
“Para ulama seharusnya menjadi penjaga nurani umat, bukan alat pembenaran kekuasaan. Jika kita diam, maka tambang bukan hanya merusak bumi, tapi juga merusak moral bangsa,” pungkasnya.(*)
Editor: Tommy dan Rafel



