Tuesday, October 14, 2025
spot_img
HomeSains TeknologiKesehatanSoroti IGD Rumah Sakit, REKAN Indonesia Nilai BPJS Kesehatan Abai Lindungi Pasien

Soroti IGD Rumah Sakit, REKAN Indonesia Nilai BPJS Kesehatan Abai Lindungi Pasien

Ilustrasi. (gambar: Cakrawarta)

JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Pelayanan Instalasi Gawat Darurat (IGD) di rumah sakit kembali menuai sorotan tajam. Relawan Kesehatan (REKAN) Indonesia mengungkapkan bahwa konflik antara pasien Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan tenaga medis terus berulang akibat tafsir berbeda soal status gawat darurat.

“Pasien datang panik, butuh pertolongan cepat, tapi malah disuruh pulang atau bayar sendiri. Ini nyata, terjadi di banyak rumah sakit,” ujar Ketua REKAN Indonesia DKI Jakarta, Martha Tiana Hermawan, Senin (14/7/2025).

Menurut Martha, sebagian besar laporan datang dari pasien peserta BPJS Kesehatan yang merasa darurat, namun ditolak klaimnya dengan alasan tidak memenuhi kriteria kegawatdaruratan. Akibatnya, pasien harus menanggung biaya pribadi, meski akhirnya tetap dilayani.

“Situasi ini terus berulang. BPJS Kesehatan diam saja, tidak hadir menyelesaikan masalah. Yang rugi masyarakat kecil,” tegas Martha.

Padahal, aturan jelas. Dalam Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 1 Tahun 2019 dan Permenkes Nomor 47 Tahun 2018, peserta JKN dijamin berhak mendapatkan layanan IGD tanpa rujukan jika kondisi mengancam nyawa, kesadaran, pernapasan, atau sirkulasi darah.

Namun di lapangan, cerita pahit berbeda. Martha menyebut pasien kerap dipaksa menandatangani surat pernyataan bersedia membayar karena dokter menilai kondisinya tak cukup darurat.

Martha Tiana Hermawan, Ketua REKAN Indonesia DKI Jakarta. (foto: dokumen pribadi)

“Penilaiannya sepihak. Tidak ada ruang klarifikasi bagi pasien dan keluarga. Mereka hanya diberi dua pilihan: bayar atau pulang,” ungkap Martha prihatin.

Lebih jauh, REKAN Indonesia mencatat lima pola masalah klasik di layanan IGD:

  1. Penilaian sepihak status darurat tanpa melibatkan keluarga pasien dalam penjelasan medis.
  2. Pasien tetap dikenai biaya pribadi, meski datang dengan keluhan serius.
  3. Minim transparansi status klaim BPJS serta alasan medis penolakannya.
  4. Diskriminasi layanan antara pasien umum dan peserta BPJS, dari antrian hingga obat.
  5. Surat pernyataan pembayaran diberikan dalam situasi krisis, tanpa edukasi yang adil.

“BPJS Kesehatan tak bisa lagi berlindung di balik regulasi. Mereka ini yang membuat sistem, yang memegang kendali klaim, yang menerima iuran. Harusnya jadi pembela peserta, bukan malah diam,” kata Martha tegas.

Atas fakta itu, REKAN Indonesia mendesak BPJS Kesehatan agar melakukan audit rutin terhadap layanan IGD; mengawasi sistem triase dan penetapan status darurat; menyediakan jalur aduan dan klarifikasi yang jelas bagi peserta; dan melakukan edukasi publik masif soal layanan IGD dan hak peserta JKN.

“Sistem jaminan kesehatan jangan jadi pintu masuk masalah baru. Orang datang ke IGD untuk diselamatkan, bukan diadili,” tegas Martha.

Ia pun mengingatkan bahwa BPJS Kesehatan harus hadir, bertanggung jawab, dan berpihak kepada peserta. Bukan sekadar pencatat angka di dashboard klaim.(*)

Editor: Abdel Rafi 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular