Tepat pada Sabtu (8/2) lalu, kita sama-sama memperingati seabad lahirnya sastrawan kenamaan Pramoedya Ananta Toer atau yang akrab disapa Pram. “Alumni” Pulau Buru ini memiliki kontribusi yang sangat besar bagi dunia sastra dan pendidikan pada umumnya. Saya sendiri juga memasukkan mahakarya Pram dari Tetralogi Bumi Manusia, ke dalam bacaan wajib di mata kuliah Kajian Keindonesiaan I atau Indonesian Studies dalam Bahasa Inggris sejak saya duduk di bangku perkuliahan hingga menjadi seorang dosen yang mengajar di Departemen Hubungan Internasional FISIP UNAIR.
Tiga Keteladanan Pram dalam Karyanya
Pram mengajarkan tiga hal penting melalui setiap lembar karya-karyanya, untuk mengenal lebih dekat tentang Indonesia. Pertama, tulisan Pram merepresentasikan perlawanan terhadap kekuatan kolonial Hindia-Belanda. Salah satu contohnya adalah karya sastra terbesarnya Bumi Manusia, yang menggambarkan posisi sulit seorang Minke, tokoh utama pada tetralogi tersebut dalam menjalani hidup dengan tatanan dan sistem hukum yang sangat menindas kaum bumiputra. Keberanian Pram inilah yang membuatnya mendekam menjalani hukuman yang cukup lama di antara Orde Lama hingga Orde Baru. Sesuatu yang sangat jauh lebih berharga daripada sebatas mengecapnya ekstrem kiri akibat keanggotaannya di Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra yang merupakan underbouw dari Partai Komunis Indonesia (PKI).
Kedua, karya-karya sastra Pram merepresentasikan historiografi penggunaan bahasa di Indonesia. Mulai dari Ejaan Van Ophuijsen secara sebentar, Ejaan Suwandi, Ejaan Pembaharuan, Ejaan Melindo, ejaan Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, hingga Ejaan Yang Disempurnakan, pria asal Kabupaten Blora tersebut menerbitkan 50 karya berupa buku yang mana 42 judulnya telah diterbitkan dalam bahasa asing. Alih-alih ia dicap komunis, hanya karena organisasi yang diikutinya dianggap terafiliasi tentu tidak dapat mengalahkan prestasinya dalam meraih penghargaan Ramon Magsaysay dari Filipina di tahun 1995 pada bidang seni dan sastra, setara dengan Gus Dur yang mendapatkan penghargaan sama pada bidang kepemimpinan masyarakat.
Ketiga, karya Pramoedya tidak lekang oleh zaman. Ia diterbitkan berulang-ulang, dan mulai banyak para pembuat film yang menunjukkan “keberaniannya” dalam memfilmkan Bumi Manusia sebagaimana yang dilakukan Hanung Bramantyo. Terlepas banyak kritik datang pada film besutannya sebagai seorang sutradara, karya sastra Pram yang merepresentasikan banyak nilai-nilai keteladanan tersebut sudah selayaknya diangkat ke layar lebar untuk menarik lebih banyak lagi penonton terutama di kalangan generasi Z dan alfa. Kisahnya yang relevan sampai sejauh ini menunjukkan betapa fenomena nasional yang terjadi saat ini masih perlu secara lebih lanjut dikoreksi, apakah kita telah “benar-benar merdeka dari segala macam bentuk penjajahan?”
Menyambut Seabad Pram
Pram seyogianya ditempatkan sebagai salah satu sastrawan yang memiliki pengaruh besar bagi nilai-nilai moralitas kejuangan, nasionalisme, karakter, dan kebudayaan Indonesia yang adil dan beradab. Seratus tahun Pramoedya tentu bukan waktu yang sebentar, untuk lepas dari belenggu-belenggu stigma dan konteks negatif yang melekat pada sosoknya. Memori tentang siapa Pram dan apa yang sejatinya ia lakukan di pengasingan, selayaknya dapat disimak melalui karya sastranya Perburuan. Memang dapat diakui dalam konteks kajian politik, tulisan-tulisan Pram sangat progresif dan membuka mata termasuk mengajak pembacanya memberanikan diri lepas dari sekat-sekat belenggu kuasa di jeruji besi yang membuatnya menetap meski kepemimpinan berganti.
Namanya pun pantas diabadikan menjadi nama jalan di kota kelahirannya, Kabupaten Blora. Wacana sudah beredar, dan tepat pada hari-H pelaksanaan penggantian dan peresmian nama baru jalan alternatif dari Kelurahan Beran di Kecamatan Blora menuju Pasar Rakyat Sido Makmur pun batal karena surat edaran yang dikirimkan oleh salah satu ormas besar di Indonesia. Alasannya pun sederhana: karena Pram terlibat komunisme dengan mengatasnamakan institusi-institusi intelijen negara yang memiliki “catatan merah” atas Pram.
Tentu hal ini mengingatkan pada memori sebelumnya: ketakutan berlebihan pada ide, yang berujung pada pembakaran buku-buku yang terjadi di Kediri pada 28 Desember 2018. Pada waktu itu, aparat melakukan sweeping terhadap toko buku yang terletak di Pare karena mengedarkan buku-buku yang dicurigai berpaham komunisme. Di satu sisi, era keterbukaan membuat kita bebas mengakses materi apa pun termasuk ide-ide pemahaman dan pemikiran yang berasal dari buku. Di sisi lain, bila telah terbuka seluruh wacana yang ada, seharusnya yang dilancarkan adalah perang wacana atau gagasan yang sudah menjadi hal yang biasa di era network society sebagaimana yang diungkapkan oleh Castells.
Membuang Jauh Paranoid Imaji “Kiri Mentok”
Move on. Satu kata yang perlu ditekankan terhadap siapa pun yang belum membaca buku-buku Pram dan mencoba menghakiminya di depan dengan berbagai atribut yang disandang di belakangnya: komunis, kiri, dan sebutan-sebutan lain yang menggeneralisasi seluruh karyanya. Dengan membaca dan menyelami isinya, kita akan dibukakan mata bahwa penjajahan atau imperialisme setidaknya masih hadir di sekitar kita dalam bingkai kebudayaan, kemudian mampu mengamati situasi sekitar dengan menghasilkan suatu kritik sosial. Selain itu, novel-novel Pram juga mengajarkan kita estetika dari kata-kata yang teruntai di setiap baris dan paragraf yang tentu memiliki keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan karya-karya sastra modern belakangan ini.
Artinya, pertanyaan terkait dengan memori sosok Pram telah terjawab dengan baik. Kita semua juga dapat memahami sosoknya di setiap video di platform YouTube yang kita tonton yang berisi kesaksian termasuk dari anak dan adiknya yakni Susilo Toer. Namun persoalan mendasar masih belum kita jawab bersama-sama: mengapa memori Indonesia akan Pram selalu pada fog of war yang belum terpecahkan sampai sekarang. Refleksi baik untuk direnungkan bersama: sudahkah kita membaca dan memahami karya Pram? Kita dapat menjawab sesuai keadaan yang saat ini terjadi, selayaknya karya Pram dapat diusulkan menjadi pintu gerbang untuk memahami Indonesia dari sudut pandang yang lain. Terlebih hanya menjadi nama jalan.
PROBO DARONO YAKTI
Mantan Aktivis Pers Mahasiswa
Dosen FISIP Universitas Airlangga