Wednesday, November 12, 2025
spot_img
HomeGagasanKolomRokok Ilegal dan Krisis Kesadaran Sosial di Surabaya

Rokok Ilegal dan Krisis Kesadaran Sosial di Surabaya

Di berbagai sudut kota Surabaya dari pedagang asongan, warung kopi di pinggir jalan hingga kios kecil di pasar tradisional, bungkus rokok tanpa pita cukai masih mudah ditemukan. Murah, praktis, dan dianggap lumrah. Bagi banyak masyarakat kecil, rokok ilegal bukan kejahatan, melainkan pilihan rasional di tengah tekanan ekonomi di era sekarang.

Namun, di balik sebungkus bahkan sebatang rokok tanpa cukai itu, tersimpan cerita tentang relasi kuasa dan krisis kesadaran sosial. Fenomena ini menunjukkan bagaimana masyarakat, negara, dan pasar saling membentuk apa yang dianggap benar atau wajar dalam kehidupan sehari-hari.

Filsuf sosial Michel Foucault mengajarkan bahwa pengetahuan tidak pernah netral; ia selalu terhubung dengan kekuasaan. Dalam konteks rokok, negara dan industri besar menciptakan rezim kebenaran baru bahwa rokok dengan pita cukai adalah legal, sehat secara ekonomi, dan nasionalis; sedangkan rokok tanpa cukai adalah pelanggaran, ancaman, bahkan simbol ketidaktaatan.

Namun bagi pedagang kecil di Kalijudan dekat kampus Universitas Airlangga atau buruh di kawasan SIER, realitas itu terasa jauh. Mereka tidak melihat pelanggaran hukum, tetapi strategi bertahan hidup. Foucault menyebutnya “kuasa produktif” yaitu kekuasaan bukan hanya menindas, melainkan membentuk perilaku, cara berpikir, bahkan justifikasi moral warga.

Kebenaran sosial akhirnya menjadi produk posisi bahwa di meja birokrat, rokok ilegal salah; di meja kopi warga kecil, ia sah karena membantu hidup terus berjalan.

Senada dengan itu, sosiolog Pierre Bourdieu membantu kita melihat bagaimana dominasi itu bekerja secara halus. Kuasa tidak selalu datang dalam bentuk paksaan; kadang ia hadir sebagai simbol moral dan bahasa sehari-hari. Kata “ilegal” membuat warga merasa bersalah, tetapi dalam waktu yang sama, struktur ekonomi mendorong mereka tetap membeli.

Bourdieu menyebut ini sebagai seperangkat keyakinan, asumsi dan prinsip yang diterima begitu saja sebagai kebenaran yang tak terbantahkan dalam suatu masyarakat atau kelompok sosial, keadaan ketika masyarakat menerima struktur tanpa menyadari bahwa mereka sedang dikendalikan olehnya. Warga menganggap keputusan mereka bebas, padahal sesungguhnya sudah dibentuk oleh logika sosial yaitu harga, kemiskinan, dan budaya konsumsi. Jadi, rokok ilegal di Surabaya bukan sekadar soal penegakan hukum, melainkan cermin dari ketimpangan sosial yang membuat pilihan warga menjadi terbatas.

Dalam banyak kasus, negara merespons masalah ini dengan pendekatan represif mulai razia, penyitaan hingga ancaman pidana. Padahal, menurut Jurgen Habermas, persoalan sosial tidak bisa diselesaikan hanya dengan kekuasaan, melainkan dengan komunikasi rasional.

Masalah rokok ilegal adalah gejala krisis komunikasi antara pemerintah dan rakyat. Negara bicara dengan bahasa hukum dan fiskal sementara masyarakat menjawab dengan bahasa kebutuhan hidup. Tidak ada ruang dialog yang setara. Akibatnya, kebijakan terasa jauh dan tidak dipahami.

Habermas menyebut ideal masyarakat modern sebagai “masyarakat komunikatif”di mana keputusan lahir dari percakapan yang saling memahami, bukan sekadar dari perintah kekuasaan.

Masalah rokok ilegal juga semakin kabur di tengah keramaian digital. Di media sosial, isu ini sering direduksi menjadi perdebatan moral dangkal antara “pemerintah serakah” versus “rakyat miskin”. Padahal, di balik itu ada struktur ekonomi-politik yang jauh lebih kompleks yakni distribusi industri, kebijakan cukai, dan ketimpangan harga yang tidak pernah benar-benar dibicarakan.

Kita hidup di masa yang disebut banyak filsuf sebagai era ketidakberpikiran (age of mindlessness). Algoritme dan opini cepat membuat refleksi menjadi barang langka. Orang lebih sibuk mengomentari ketimbang memahami. Akibatnya, isu penting seperti rokok ilegal berhenti pada level sensasi, bukan kesadaran.

Filsafat ilmu sosial mengajak kita melihat ulang apa yang kita anggap “biasa”. Ia bukan menjustifikasi pelanggaran, tetapi membuka ruang berpikir baru yakni mengapa warga terus membeli rokok ilegal; Apakah kebijakan cukai sudah adil bagi kelompok bawah; hingga siapa sebenarnya yang paling diuntungkan oleh sistem harga rokok. Pertanyaan-pertanyaan semacam ini adalah bentuk emansipasi epistemik usaha membebaskan diri dari “kebenaran resmi” yang sering membungkam pengalaman rakyat.

Surabaya sebenarnya punya peluang besar untuk menjadi kota teladan dalam menangani masalah rokok ilegal. Caranya bukan sekadar menambah operasi gabungan, tetapi dengan edukasi sosial dan ekonomi yang manusiawi. Pemerintah kota bisa menggandeng pedagang kecil, memberi pelatihan distribusi legal, hingga membuka kanal aduan digital yang ramah warga.

Kampanye publik pun sebaiknya bergeser dari nada moralistis (“rokok ilegal itu dosa”) ke nada dialogis (“rokok ilegal merugikan kita semua”). Hukum seharusnya tidak jadi ancaman, tapi alat membangun kesadaran bersama.

Rokok ilegal bukan hanya masalah ekonomi atau hukum, tapi juga cermin dari kesadaran sosial yang menumpul. Ia menunjukkan bahwa kita hidup di dunia di mana kebenaran dibentuk oleh kuasa, dan masyarakat sering tak sempat lagi berpikir kritis. Filsafat sosial mengingatkan bahwa kemajuan bukan sekadar penertiban, melainkan pencerahan kesadaran. Sebab ketika manusia berhenti berpikir kritis, ia bukan hanya kehilangan rokok murah, ia kehilangan kemerdekaan untuk memahami hidupnya sendiri.

M. KAFRAWI AL-SAMSU

Mahasiswa doktoral FISIP Universitas Airlangga, Tinggal di Surabaya

RELATED ARTICLES

Pangan, Energi dan Air

Dua Wajah Sherly

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular