Surabaya, – Cakra Studi Global Strategis (CSGS) Universitas Airlangga, Surabaya bekerja sama dengan National Cengchi University Indonesian Scholars Community (NCCU ISC) menyelenggarakan konferensi di Taipei, Taiwan, pada Senin (21/10/2024). Bertempat di Dah Hsian Seeto Library, NCCU, tema konferensi ini adalah Developing the Multidisciplinary Approach of Indonesian Studies in Taiwan. Salah satu isu menarik adalah upaya Taiwan menjadi negara yang ramah terhadap Muslim.
Hasil riset peneliti CSGS, A. Safril Mubah, dan dosen Ilmu Hubungan Internasional Unair, Sarah Anabarja, menunjukkan bahwa selama masa pemerintahan Presiden Tsai Ing-wen (2016-2024), Taiwan mengalami perkembangan signifikan dalam menciptakan sebuah lingkungan sosial yang ramah terhadap komunitas Muslim. Hal itu terbukti dengan semakin banyaknya jumlah mushola dan restoran halal di berbagai lokasi.
Menurut Safril, perkembangan tersebut ditunjang oleh karakter multikulturalisme masyarakat Taiwan yang menerima dengan baik kehadiran imigran Muslim dari berbagai negara. Keadaan multikultur ini berasal dari keberagaman masyarakat adat yang ada di Taiwan, seperti Hokkien dan Hakka. Selain itu, kebijakan imigrasi Taiwan yang terbuka membuat masyarakat dari berbagai belahan dunia dapat masuk ke Taiwan dengan mudah.
Safril menambahkan, kebijakan imigrasi tersebut merupakan upaya pemerintah Taiwan untuk mengatasi masalah demografi yang mengancam masa depan negara ini. “Jumlah masyarakat muda di Taiwan mengalami penurunan. Populasinya sedang menua. Jadi Taiwan ingin mengundang sebanyak-banyaknya tenaga kerja dan pelajar asing untuk masuk,” jelas Safril dalam keterangannya pada media ini, Sabtu (26/10/2024) pagi.
Pendapat Safril dibuktikan dengan cuitan Tsai di platform X pada Hari Imigran Nasional 2017. Sarah mencatat bahwa Presiden Tsai mengungkapkan rasa terima kasihnya pada imigran karena telah membuat Taiwan menjadi negara yang “lebih baik, lebih beragam, dan lebih multikultur.” Karenanya, pemerintah Taiwan juga memiliki kepentingan untuk mengakomodasi diaspora Indonesia di Taiwan yang mayoritas beragama Islam.
Sebagai diaspora Indonesia yang pernah tinggal di Taiwan untuk menempuh pendidikan doktor, Safril dan Sarah semakin merasakan kemudahan dalam melaksanakan ibadah dan mencari makanan halal. Pada masa awal tinggal di Taiwan, mereka kerap sholat di tangga darurat atau di sela-sela rak buku di perpustakaan NCCU. Dalam perkembangannya, NCCU mendirikan mushola di dua lokasi berbeda dalam lingkungan kampus. Inisiatif yang sama juga dilakukan oleh banyak kampus di Taiwan.
Dari segi konsumsi, beberapa tempat yang menyediakan makanan halal juga tersedia. Beberapa gerai waralaba swalayan telah menjual produk-produk bahan makanan halal. Pun demikian dengan beberapa tempat makan yang memang telah berlisensi halal. Bahkan, ada pula rumah sakit dan hotel yang telah memiliki sertifikat halal.
Kendati demikian, hidup sebagai muslim di Taiwan bukannya tanpa hambatan. Meskipun pemerintah Taiwan telah mengupayakan fasilitasi bagi umat Islam, tidak bisa dimungkiri bahwa hal itu masih jauh dari kata optimal.
Senada dengan Safril, Sarah mengatakan bahwa multikulturalisme yang ada di Taiwan tidak lantas menjadikannya bersih dari Islamofobia. Sentimen “warga asing” yang disematkan pada umat Muslim berpotensi menimbulkan gesekan. Bahkan hal tersebut juga terjadi pada warga lokal asli Taiwan yang beragama Islam. Ketika terlihat memakai jilbab, misalnya, mereka akan dianggap asing.
“Makanya mereka sering hanya memakai hijab saat acara-acara keagamaan. Habis itu dilepas lagi. Masih ada sentimen itu,” terang Sarah.
Selain soal sentimen, jilbab juga membawa persoalan lain. Masih terdapat miskonsepsi dari para pemberi kerja yang khawatir bahwa jilbab akan memmengaruhi performa para pekerja. Akhirnya, tidak sedikit pemberi kerja yang lantas memberikan larangan untuk memakai hijab.
Tidak berhenti di situ, masalah soal performa juga menyangkut waktu sholat. Bisa jadi, Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang mencari nafkah di Taiwan tidak mendapatkan waktu khusus yang cukup untuk beribadah. Atau yang lebih parah, waktu rehat untuk sholat dilihat sebagai pengurangan produktivitas. Utamanya ketika salat Jumat. Karena keterbatasan jumlah masjid, pekerja sering kali harus menempuh jarak yang jauh untuk beribadah Jumat.
Dalam riset mereka, Safril dan Sarah berpendapat bahwa multikulturalisme yang ada di Taiwan harus diitingkatkan menjadi kosmopolitanisme. Lebih dari sekadar hidup bersama, seluruh masyarakat yang terdiri dari berbagai lapisan identitas harus menghormati satu sama lain. Kebijakan Tsai untuk mempromosikan lingkungan yang ramah umat Islam telah sedikit banyak membuat masyarakat lokal memiliki nilai kosmopolitanisme, meskipun terbatas.
Hasil studi yang mengatakan bahwa Taiwan semakin ramah umat Islam ini tentu menjadi angin segar bagi pekerja dan pelajar Muslim yang berencana hidup di negara tersebut. Masih di forum yang sama, Vinsensio Dugis, dosen Ilmu Hubungan Internasional Unair, mengatakan bahwa pekerja dan pelajar Indonesia yang ada di Taiwan memiliki peran penting. Peran penting itu adalah dalam menjaga hubungan baik antara Indonesia dan Taiwan.
Ia menerangkan bahwa Indonesia hingga sekarang menganut prinsip One China Policy dan tidak mengakui kedaulatan Taiwan. Maka dari itu, sampai hari ini Jakarta dan Taipei belum memiliki hubungan diplomatik formal. Konsekuensinya, harus ada cara-cara khusus untuk menjaga hubungan baik antara kedua negara. Menurut Vinsensio, di sinilah peran krusial diaspora.
“Terdapat potensi (diplomatik, red) di sini. Dengan hubungan people to people, kita tetap bisa menjaga kualitas hubungan yang sangat baik.”
Dengan adanya kebijakan untuk mewujudkan lingkungan yang ramah terhadap pemeluk agama Islam, diharapkan akan lebih banyak masyarakat Indonesia yang menjadi diaspora di Taiwan untuk belajar dan bekerja. (***)
Reporter: Ghulam Pambayung
Edito: Abdel Rafi
Foto: Ghulam Pambayung