
Bayangkan berdiri di jalur pendakian setapak selebar bahu, di ketinggian antara dua ribu hingga tiga ribu meter di atas permukaan laut. Angin dingin dari lembah menerpa kencang, kabut tiba-tiba turun, pasir di bawah kaki terasa licin, dan di kiri-kanan jurang menganga tanpa pembatas. Sekali terpeleset, tak ada yang bisa menghentikan tubuh meluncur ke bawah.
Inilah wajah Gunung Rinjani yang jarang terlihat di brosur wisata, cantik, tetapi berbahaya. Bayangkan setiap hari ada 500 orang menjejakkan kakinya di punggung Rinjani, makan, minum, dan melaksanakan “panggilan alam”-nya, sementara toilet terbatas dan sumber air minim. Bau menyengat dan lalat mudah ditemukan. Rinjani yang jelita, juga sebenarnya rapuh.
Mulai 1–10 Agustus 2025, Gunung Rinjani menutup seluruh jalur pendakian. Penutupan ini bukan karena Rinjani “marah” atau “lelah”, tetapi merupakan langkah strategis pemulihan ekosistem dan keselamatan pendakian. Selama periode ini, jalur diperbaiki untuk mengurangi risiko erosi dan longsor, rambu keselamatan baru dipasang di titik rawan, trap dibuat di jalur licin, shelter darurat dibangun dengan peralatan pertolongan dan evakuasi, railing rusak diganti, tali pengaman dipasang di area tepi tebing, dan masyarakat setempat melaksanakan upacara adat sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi yang telah ada jauh sebelum Rinjani dikenal dunia. Bukan hanya jalur Sembalun yang diperbaiki, tetapi juga Timbanuh dan Tetebatu. Yang belum dilakukan adalah pembersihan jalur pendakian dan camp site dari sampah plastik dan limbah manusia.
Kuota pendaki selama ini dibatasi 500 orang per hari untuk menjaga daya dukung (carrying capacity). Namun, tantangan terbesar Rinjani tidak hanya berasal dari jumlah kaki yang menapak di jalurnya, tetapi dari jejak ekologis yang tertinggal, terutama sampah plastik dan limbah manusia.
Regulasi tegas telah diterapkan seperti melarang membawa makanan kemasan plastik sekali pakai dan mewajibkan pendaki membawa pulang semua sampah. Namun, pengamatan lapangan dan dokumentasi tim konservasi menunjukkan plastik masih banyak ditemukan di jalur dan camp site. Secara ilmiah, plastik di lingkungan pegunungan mengalami fotodegradasi yang lambat, pecah menjadi mikroplastik yang terakumulasi di tanah dan terbawa air hujan ke sumber air alami. Mikroplastik ini dapat masuk ke rantai makanan, mengancam kesehatan satwa liar, dan pada akhirnya berpotensi masuk ke sistem pangan manusia.
Di camp site Rinjani, bau menyengat dan lalat berkerumun mudah ditemui. Meskipun ada toilet darurat, jumlahnya terbatas dan tidak dilengkapi pasokan air. Kondisi ini mendorong sebagian pendaki buang air besar di area terbuka. Dari sudut pandang kesehatan lingkungan, praktik ini berisiko tinggi memicu penyakit berbasis air (waterborne diseases) seperti diare, tifoid, dan leptospirosis, terutama jika kotoran mencemari sumber air yang digunakan pendaki atau satwa. Mengingat pasokan air di pegunungan terbatas, pencemaran seperti ini menjadi ancaman serius bagi ekosistem dan keselamatan manusia.
Selama penutupan 1-10 Agustus 2025, penulis menjadi bagian dari tim yang berada di jalur pendakian Rinjani, melakukan survei keselamatan rute dan memeriksa titik rawan. Pengalaman ini mengingatkan pada pendakian Gunung Latimojong di Sulawesi Selatan, di mana pemandu dan porter tidak hanya memandu melewati jalur sulit, tetapi juga mengawasi perilaku pendaki, memastikan tidak ada sampah atau limbah manusia dibuang sembarangan. Mereka bahkan membawa sekop lipat untuk membuat cat hole darurat ketika “panggilan alam” terjadi. Pendekatan ini terbukti efektif dan layak diadaptasi di Rinjani.
Kondisi di jalur Sembalun menunjukkan beberapa titik rawan, seperti tebing curam di sekitar Bukit Penyesalan dan jalur sempit menuju Pelawangan yang rentan longsor saat hujan. Fasilitas pendukung di titik-titik ini minim; beberapa pos hanya berupa pondok sederhana tanpa perlindungan memadai dari angin atau hujan. Ini hanya salah satu contoh nyata tantangan keselamatan di lapangan, terutama pada musim hujan atau saat jumlah pendaki membludak.
Pada jalur Sembalun menuju Pos 3, terdapat titik rawan longsoran ringan di tebing sisi timur antara Pos 2 dan Pos 3 (±1.850 mdpl) akibat erosi tepi jalur oleh air hujan; tanpa rambu peringatan, dan papan informasi lama sudah pudar. Memasuki Bukit Penyesalan (Pos 4 – Pelawangan Sembalun), jalur menanjak dengan kemiringan 35–45°, berpasir, tanpa tali bantu. Beberapa segmen berada persis di tepi tebing yang terkikis, meningkatkan risiko terpeleset atau jatuh, sementara minimnya peneduh membuat pendaki rawan dehidrasi; fasilitas hanya berupa dua titik istirahat semi permanen tanpa penampungan air, rambu peringatan, atau penghalang fisik. Di Pelawangan Sembalun (±2.639 mdpl), terdapat risiko angin kencang di sisi barat laut yang dapat merobohkan tenda; toilet darurat (2 unit) berbau menyengat dan tanpa pasokan air, serta ditemukan banyak sampah plastik dan sisa makanan di area camp site. Jalur turun ke Segara Anak menyimpan potensi longsor dan batuan lepas pada ketinggian 2.300–2.100 mdpl, terutama pascahujan; rambu “hati-hati” ada, namun sebagian miring dan tidak terlihat jelas dari arah turun. Di camp site Segara Anak (±2.000 mdpl), sumber air panas dan air dingin rentan tercemar limbah manusia; tiga toilet darurat yang tersedia tidak memiliki pasokan air, lantai licin, berbau menyengat, dan ditemukan sampah plastik serta puntung rokok di bibir danau.
Rekomendasi teknis mencakup pemasangan rambu baru berbahan anti-karat dengan reflektor untuk visibilitas malam di titik longsor, turunan curam, dan area berisiko angin kencang; penambahan eco-toilet di Pelawangan dan Segara Anak yang dilengkapi sistem pengolahan limbah komposter dan pasokan air dari penampungan hujan; penambahan dua shelter di Bukit Penyesalan dan water station darurat di jalur tanpa sumber air; serta penetapan zona larangan buang air sembarangan dengan papan edukasi dan penyediaan sekop lipat di pos porter untuk mendukung praktik cat hole yang benar.
Penanganan masalah di Rinjani memerlukan pendekatan terpadu mulai dari peningkatan infrastruktur sanitasi dengan eco-toilet dan pengolahan limbah berbasis biofilter atau komposter; edukasi dan penegakan aturan melalui briefing lingkungan wajib dan sanksi denda progresif; penerapan praktik cat hole darurat dengan prosedur jelas di camp site; pengelolaan sampah terintegrasi dengan pos pemeriksaan di pintu keluar dan kerja sama porter; serta keterlibatan komunitas lokal dalam patroli kebersihan dan pengawasan jalur, disertai insentif ekonomi berbasis jasa lingkungan.
Kita sering jatuh cinta pada Rinjani karena kecantikannya, danau Segara Anak yang biru, padang savana Sembalun yang memukau, dan puncak yang menantang. Namun, kecantikan itu rapuh jika kita hanya menikmati tanpa merawat. Cinta yang benar bukan sekadar memandang, tetapi menjaga. Bukan sekadar memotret, tetapi meninggalkan Rinjani sebagaimana kita menemukannya, atau bahkan lebih baik. Gunung ini akan tetap cantik jika dicintai, bukan hanya dicintai karena cantik. Semoga.
TANTY SR THAMRIN
Researcher pada THAMRIN Working Group, SAR Risk Manager, Instructor Scuba Diving, dan Pilot Paragliding yang senang mendaki gunung



