Saturday, April 20, 2024
HomeGagasanReshuffle dan Ujian Politik Jokowi

Reshuffle dan Ujian Politik Jokowi

00-Foto umar 2014

Di tengah munculnya berbagai persoalan yang terus mendera anak buahnya di beberapa kementrian, isu reshuffle kabinet jilid II semakin menguat dan bergulir bagaikan bola salju. Para  politisi Senayan dan sebagian pengamat juga mendesak agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) memanfaatkan momentum saat ini untuk melakukan perombakan di jajaran kabinetnya. Jika pada reshuffle jilid I, Jokowi merombak kementerian yang terkait dengan ekonomi, maka pada jilid II ini, semestinya tidak hanya ekonomi, tapi juga hukum.

Sampai saat ini, sektor ekonomi meskipun sudah ada perombakan, namun masih belum memuaskan dan terlihat pada indikator ekonomi makro yang masih bermasalah. Sasaran tembak reshuffle jilid II ini seharusnya adalah menteri-menteri yang dinilai bermasalah, menjadi sumber masalah (kegaduhan), dan tidak menujukkan performa maksimal. Bidang ekonomi yang menjadi sasaran adalah Menteri Negara BUMN Rini Suwandi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, Menteri Perhubungan Ignatius Jonan dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya. Pada bidang hukum yang menjadi sasaran adalah Jaksa Agung HM. Prasetyo. Sedangkan ada satu lagi yang mungkin jadi sasaran adalah Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nachrowi. Kinerja mereka dinilai publik tidak perform dan itu juga dibuktikan dengan hasil survei.

Akibat kinerjanya yang tidak perform inilah, pemerintahan Jokowi kerapkali menjadi sasaran protes dan kritik keras dari berbagai elemen masyarakat; mahasiswa, pengamat, dan para tokoh lintas agama. Apalagi, pasca sikap politik PAN yang berubah haluan dengan menjadi pendukung pemerintah, semakin menguatkan sinyal reshuffle jilid II akan dilakukan Jokowi.

Ujian Politik

Di tengah berbagai persoalan bangsa dan masyarakat yang semakin rumit dan sorotan masyarakat terhadap kinerja kabinet yang negatif, ditambah dengan kasus hukum yang diduga melibatkan Jaksa Agung dalam kasus Dana Bansos Sumut, desakan reshuffle Jilid II menjadi ujian politik bagi Jokowi. Apakah akan melakukan reshuffle dengan harapan ada perubahan dan perbaikan kondisi bangsa dan masyarakat, dan tentu saja mengurangi beban moral dan politik pemerintahannya, atau mempertahankan para menterinya yang bermasalah dan kerap menjadi sumber masalah (kegaduhan) dengan kompensasi akan terus menjadi “bulan-bulanan” publik.

Perombakan kabinet kali ini, tak sekedar memperbaiki performance kabinet dan pemeirntahannya, tapi yang lebih penting adalah menjaga kekuasaan politik Jokowi bisa khusnul khotimah sampai 2019. Salah satunya dengan memperbanyak dukungan politik di Parlemen. Perubahan sikap politik PAN yang mendukung pemerintahan dapat menambah kekuatan politik di Parlemen dan  menjaga kekuasaan Jokowi dari kemungkinan pemakzulan oleh MPR. Dan kebetulan ketua MPR adalah ketua umum PAN.

Salah satu hambatan politis-psikologis, terutama datang dari kalangan struktural parpol pendukung khususnya PDI-P. Parpol yang berkeringat dalam Pilpres kurang sreg dan ridho dengan kemungkinan masuknya jatah untuk PAN. Namun pada saat yang sama, Jokowi butuh keamanan dan kenyamanan untuk kekuasaannya sampai 2019. Dengan masuknya PAN, tentu saja akan memangkas jatah partai yang merasa berkeringat dalam mengantarkan Jokowi sebagai RI 1.

Meskipun Presiden memiliki hak prerogatif, namun hak tersebut tidak mudah dilakukan Jokowi terutama dalam upaya menjaga posisinya aman secara politis. Sementara itu, keuntungan reshuffle jika benar-benar dilakukan justru akan mengurangi beban moral dan politik pemerintah, terutama atas menteri-menteri yang bermasalah. Apalagi apresiasi publik akan datang, sehingga waktunya sangat tepat untuk melakukan reshuffle di tengah ketidakpercayaan publik atas pemerintahan Jokowi semakin menurun, dan perombakan kabinet akan menyegarkan kembali kinerja kementerian agar bisa lebih baik.

Tentu perombakan kabinet ini bukan tanpa kelemahan secara politik. Jika dilakukan maka Jokowi akan kehilangan momentum, akan terus menjadi sasaran tembak dari lawan politiknya, baik di parlemen maupun di luar parlemen.

Jika reshuffle dilakukan itupun tak bebas dari ujian. Karena Jokowi harus memilih dua pilihan yang sama-sama sulit, yakni memenuhi permintaan atau pesanan politik partai-partai yang berambisi menempatkan kader-kader partainya di jajaran eksekutif dengan jaminan atau kompensasi politik stabilitas politik di parlemen aman sampai 2019. Di sisi lain, memilih para calon pengganti diluar dari kader partai atau kaum profesional yang memiliki track record baik, kredibilitas dan kapabilitas dan mampu bekerja keras untuk menjawab berbagai persoalan bangsa dan masyarakat, dengan konsekuensi (mungkin) stabilitas pemerintahan Jokowi di Parlemen akan terganggu. Kondisi ini bagaikan buah simalakama bagi Jokowi.

Namun demikian, ini akan menjadi ujian politik sebenarnya bagi seorang Jokowi apakah mau menjadi pemimpin atau negarawan yang sejati, dengan mengutamakan kepentingan bangsa, negara dan masyarakat, atau kepentingan politik pragmatis partai-partai. Bahkan ada sebagian pendapat yang lebih ekstrem,  yang mengusulkan agar kabinet yang dibentuk Jokowi adalah kabinet kaum profesional, steril dari kepentingan partai atau lebih dikenal zaken cabinet sebagaimana janji Jokowi dulu saat kampanye. Namun inipun sangat sulit diterapkan. Karena meskipun Jokowi memiliki hak prerogatif dan legitimasi politik sangat kuat, tapi juga butuh dukungan politik di Parlemen dalam menjalankan program dan kebijakannya.

Ketegasan Jokowi

Karena itu, dalam kondisi serba dilematis seperti ini, kita sangat membutuhkan ketegasan Jokowi. Pertama, ketegasan dalam mengambil keputusan masalah reshuffle ini. Apakah akan dilakukan atau tidak. Jika mau reshuffle katakan akan dilakukan, jika tidak tinggal disampaikan sehingga semua klir. Jika kondisinya seperti ini akan mempengaruhi kerja dan kinerja para kabinetnya. Para menteri akan tidak tenang atau was-was dalam bekerja karena dihantui isu reshuffle.

Kedua, dengan modal legitimasi politik yang kuat (baca: pilihan rakyat) dan hak prerogatif yang dimiliki, Jokowi dituntut untuk bersikap tegas dalam menghadapi tekanan-tekanan politik dari parai-partai, baik dari internal PDI-P maupun dari luar ketika reshuffle kabinet dilakukan.

Artinya reshuffle ini adalah kebutuhan untuk melakukan perubahan dan perbaikan kerja dan kinerja kabinetnya, bukan semata tekanan atau pesanan politik dari partai-partai. Dan Jokowi harus berani menolak atau berkata ”tidak” untuk sebuah bargaining partai atau politik dagang sapi yang akhirnya bisa menjadi bumerang politik.

Akhirnya, dengan munculnya “kabinet atau pemerintahan gaduh” yang sudah menyita energi sosial-politik dan ekonomi cukup besar, setidaknya harus menjadi pertimbangan yang sangat kuat bagi Jokowi untuk berani mengambil keputusan tegas. Jadi tidaknya reshuffle ini akan menjadi ujian politik. Jokowi akan bisa lolos dari ujian politik ini jika mampu memberikan yang terbaik untuk mengatasi kegaduhan politik yang tak kunjung usai.

UMAR SHOLAHUDIN

Pengajar Universitas Muhammadiyah Surabaya dan Mahasiswa Doktoral Pascasarjana FISIP Universitas Airlangga

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular