Monday, December 9, 2024
spot_img
HomeGagasanRefleksi 71 Tahun: Menguatkan Kembali Marwah HMI

Refleksi 71 Tahun: Menguatkan Kembali Marwah HMI

 

Di setiap kali ajang Kongres Himpunan Mahasiswa Islam digelar, apalagi tahun ini bertepatan dengan 71 tahun organisasi ini lahir, untuk kesekian kalinya kegelisahan yang sama selalu terasa. Organisasi mahasiswa tertua di negeri ini masih diselimuti oleh tantangan untuk mengembalikan jati diri organisasi yang akhir-akhir ini cenderung melemah, untuk tidak mengatakan menghilang, dalam konteks keumatan dan kebangsaan. “Mengukuhkan Kebangsaan, Mewujudkan Indonesia Berkeadilan” yang menjadi tema besar dari kongres tahun ini, memiliki makna bahwa organisasi ini berupaya terus untuk menguatkan dirinya sebagai entitas keumatan dan kebangsaan.

Bagaimanapun sejarah merekam ada dua kegelisahan yang melatarbelakangi kelahiran HMI, yakni gelisah atas kondisi kebangsaan serta kegelisahan akan problem keumatan. Dari sisi kebangsaan, pentingnya mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari ancaman perpecahan saat itu, cukup kuat memicu kesadaran akan pentingnya berhimpun bagi kekuatan mahasiswa Islam. Sementara itu, kegelisahan keumatan dilatarbelakangi oleh pemandangan umum, yakni soal masih rendahnya kualitas pemahaman dan penghayatan generasi Islam dalam mengamalkan ajaran agamanya.

Dari kegelisahan inilah lahir misi awal HMI ketika itu, yakni mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan mempertinggi derajat bangsa Indonesia, serta internalisasi nilai-nilai keislaman. Dalam perjalanan waktu, misi HMI mengalami perubahan, yakni membela kaum mustadh’afin dan internalisasi nilai-nilai keislaman. Perubahan ini senada dengan tujuan HMI dan Islam yang menjadi asasnya. Inilah marwah atas kelahiran HMI yang bertekad hadir untuk memberikan perubahan dan pembaharuan di tengah masyarakat.

Upaya perubahan dan pembaharuan pun mengiringi perjalanan 71 tahun HMI saat ini. Berbagai rintangan hadir sebagai bagian dari ujian sejarah bagi HMI. Tekanan pertama muncul dari Prof Ernest Utrecht, Sekretaris Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Cabang Jember pada tahun 1964. Melalui sebuah surat keputusannya, Prof Utrecht melarang HMI di fakultasnya. Larangan dilandasi oleh dugaan keterlibatan HMI dalam peristiwa Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Permesta, DI/TII, percobaan pembunuhan presiden, dan lain-lain. Larangan ini kemudian dikembangkan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk turut serta mendorong pembubaran HMI. Pada awalnya, Presiden Soekarno akan membubarkannya, namun setelah mendengar saran dari Menteri Agama Saifuddin Zuhri dan sejumlah tokoh senior HMI yang dekat dengan Soekarno, akhirnya HMI tidak dibubarkan.

Tekanan politik kedua muncul di era Orde Baru. Pemerintahan Soeharto ketika itu sangat mengutamakan politik harmoni, keseragaman, dan pemusatan kekuasaan. Oleh karena itu, semua kekuatan sosial dan politik dipaksa untuk mengubah dasarnya dengan Pancasila. Jika menolak, dapat berakibat dibubarkan. HMI pun tak kuasa menolak, meskipun harus dibayar dengan perpecahan organisasi ini menjadi dua kekuatan. Perpecahan ini terjadi pada Kongres XVI di Kota Padang tahun 1986. HMI akhirnya menjadi dua, HMI “Pancasila” menjadi HMI yang “resmi” diakui negara hingga sekarang – meski sudah berubah kembali ke asas Islam di Kongres XXII Jambi tahun 1999 – dan HMI Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) yang tetap kukuh berasas Islam.

Politik Heavy

Selain dua tekanan besar yang dialami HMI, dalam perjalanannya, organisasi ini kemudian cenderung politik heavy. Memori perjalanan HMI lebih didominasi nuansa gerakan dan tarik-menarik politik elitenya dibandingkan pengembangan intelektualitasnya. Pengembangan pemikiran yang menonjol dilakukan saat Nurcholish Majid memimpin HMI periode 1966-1969. Pada tahun 1970, cendekiawan muslim ini menelurkan gagasan pembaharuan pemikiran Islam. Gagasan ini kemudian lahir kembali dengan munculnya nama Anas Urbaningrum yang mencoba membangkitkan kembali romantisme intelektualitas HMI.

Namun, desakan dan arus politik memang begitu kuat mewarnai organisasi ini. Hal ini tidak lepas dari peran dan gerak para alumninya yang lebih condong berperan di panggung politik, baik di level eksekutif, maupun jabatan-jabatan di kepartaian dan legislatif. Akibatnya, HMI pun bagaikan perahu yang diombang ambingkan oleh ombak politik. Kondisi inilah yang membuat Nurcholish Madjid turun gunung. Pada pertengahan tahun 2002, cendekiawan Muslim ini mengusulkan agar HMI sebaiknya dibubarkan saja. Alasannya, orientasi para kader HMI condong menjadi pejabat. Inilah kritik tajam dari “orang dalam” sendiri untuk membubarkan HMI. Padahal, sebelumnya gerakan pembubaran dan tekanan hanya terjadi dari pihak eksternal. Tentu, sebagian keluarga HMI memahami, peringatan Cak Nur adalah satire dan wujud kasih sayangnya terhadap organisasi ini. Terbukti, saat penulis bertemu Nurscholish Madjid di saat namanya disebut-sebut mengikuti konvensi Partai Golkar, Cak Nur mengakui ungkapan soal pembubaran HMI adalah otokritiknya untuk membangunkan HMI yang sedang “terlelap”.

Ihtiar Organisasi

Nah, tentu kondisi ini menjadikan kegelisahan baru bagi HMI. Tentu saja, tidak ada langkah lain selain mengembalikan marwah perjuangan HMI. Seperti saat didirikan, kegelisahan ini semestinya juga menjadi pemicu dan energi bagi organisasi untuk berubah sesuai panggilan sejarahnya. Penulis melihat kondisi internal keorganisasian dan eksternal harus tetap menjadi satu kepaduan untuk membangunkan dan mengembalikan kembali marwah, cita-cita, dan semangat HMI.

Ihtiar memperbaiki dan memeprkuat organisasi adalah sebuah keniscayaan. Penulis melihat ada sejumlah yang yang harus segera dilakukan oleh organisasi ini (semoga saja ini sudah dilakukan) dan ini sudah pernah penulis tuangkan sejak perhelatan Kongres HMI dua tahun lalu. Setidaknya ada lima ihtiar yang menjadi peta jalan perubahan dan pembaharuan organisasi, khususnya untuk menghadapi tantangan perubahan zaman. Ada lima ihtiar yang harus menjadi agenda gerak bagi HMI. Pertama, revivalisasi Ideologi. HMI harus menguatkan kembali ideologi gerakannya yang istiqomah di jalan Islam. Nilai Identitas Kader yang selama ini menjadi lanskap ideologi HMI harus diberdayakan, tidak sekadar menjadi norma, apalagi jargon.

Kedua, modernisasi organisasi. Manajemen organisasi harus disesuaikan dengan perkembangan zaman sekaligus pergeseran generasi. Penguatan sistem database organisasi yang multilink menjadi keniscayaan di tengah arus keterbukaan dan era digitalisasi saat ini. Selain itu, keberadaan sekretariat yang tetap dan permanen juga menjadi salah satu kunci pendukung kelancaran berorganisasi. Perubahan generasi yang cepat harus juga ditangkap oleh HMI. Pasar HMI tentu berbeda dengan pasarnya 10 tahun yang lalu. Generasi milineal dengan karakter yang cepat bergerak, berubah, dan digital heavy harus ditangkap oleh HMI dengan mengkondisikan dirinya dengan pasar baru tersebut.

Ketiga, reorganisasi pengkaderan. Upaya kaderisasi harus melihat pemetaan potensi kader. Pengembangan kaderisasi dengan pendekatan profesi menjadi alternatif selain mekanisme kaderisasi dengan model baku. Penguatan kembali eksistensi lembaga kekaryaan yang dibangun di HMI adalah sebuah tuntutan. Hal ini sekaligus menjadi upaya ‘mengimbangi’ orientasi politik yang selalu membayangi kader-kader himpunan.

Keempat, gerakan intelektual. Sejarah intelektual di HMI adalah modal sosial yang semestinya lebih mudah dibangkitkan kembali untuk memberi energi baru bagi organisasi. Membangun jaringan intelektual, pemberian beasiswa riset dan menjadikan HMI sebagai basis riset mahasiswa adalah langkah-langkah konkrit untuk membangkitkan kembali romantisme intelektual HMI.

Kelima, Globalisasi HMI. Ini adalah langkah untuk memperluas pengaruh dan peran organisasi. Peran HMI di sejumlah forum internasional, seperti Persekutuan Pelajar Islam Asia Tenggara (PEPIAT), World Assembly of Muslim Youth (WAMY), dan World Union of Students (WUS) perlu dirawat dan ditingkatkan kembali. HMI harus mampu mendunia sebagai tuntutan akan keterbukaan, khususnya terkait peran organisasi dalam mewarnai isu-isu keumatan yang menjadi sorotan di dunia Islam.

Gagasan ihtiar ini boleh jadi bukan barang baru, namun penulis meyakini ini adalah peta jalan yang mampu memberikan insetif positif bagi HMI sebagai upaya memperkuat marwah organisasi. Kongres XXX HMI di Ambon harus menjadi pintu dan momentum, bahkan titik balik HMI. Kegelisahan yang melanda HMI harus dipandang positif sebagai energi untuk melakukan perubahan dan pembaharuan, seperti ketika organisasi ini didirikan. Tentu, sekaligus kembali menancapkan HMI sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang plural.

Selamat Milad HMI. Yakin Usaha Sampai!

 

YOHAN WAHYU
Ketua PTKP HMI Cabang Surabaya 1999-2000

RELATED ARTICLES
- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular