
JAKARTA – Pemerhati masalah pertahanan, Dr. Rahman Sabon Nama (RSN), mengatakan pembelian 1 Skuadron atau 12 pesawat tempur Mirage 2000-5 bekas dari Qatar niscaya melalui pertimbangan matang Kementerian Pertahanan.
“Kalaupun ada koreksi, kritik, dan lainnya dari publik, apalagi dari wakil rakyat di Senayan (DPR-RI), itu wajar, perlu, dan itu demokratis,” kata RSN pada cakrawarta.com, Sabtu (24/6/2023).
RSN menampik opini anggota Komisi I DPR ihwal mahalnya pembelian 1 Skuadron alutsista dirgantara bikinan Prancis itu dengan mengatakan bahwa kebijakan untuk keputusan pembelian oleh Kemenhan RI, tentu sesuai keterbatasan anggaran pemerintah dalam memenuhi kebutuhan alutsista TNI dalam waktu pendek.
Mirage 2000-5 bekas itu menurutnya akan dimodifikasi dan di-upgrade dengan rudal-rudal buatan sendiri dan kecanggihan radar. “Ini juga merupakan salah satu strategi membangun kekuatan pertahanan menghadapi berbagai bentuk ancaman. Baik itu dalam situasi damai maupun dalam masa perang,” katanya, melansir pernyataan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto.
RSN mengatakan proses penentuan kebutuhan alutsista Indonesia mirip Amerika Serikat, sehingga apa yang ditempuh Menhan Prabowo menjadi hal lumrah.
“Bahwa pembelian alutsista bekas di samping bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan persenjataan TNI untuk jangka pendek, juga untuk menjaga kedaulatan NKRI , karena Indonesia adalah negara kepulauan terbentang luas di dunia,” kata Alumnus Lemhanas RI ini.
Dia juga mengatakan bahwa alutsista kedirgantaraan bekas itu, juga untuk kebutuhan mendesak dengan pertimbangan konstelasi dan geografis Indonesia yang punya sumber alam berlimpah, sehingga mengandung kerawanan hadirnya kepentingan asing yang dapat mengganggu keselamatan dan kedaulatan negara.
Selain itu, menurutnya, merupakan langkah efektif untuk memberdayakan dan memajukan industri BUMN pertahanan dan swasta nasional dalam negeri agar mampu menghasilkan alutsista canggih yang dapat bersaing dengan industri pertahanan luar negeri.
Oleh karenanya, menurut RSN, anggota DPR sejatinya harus memahami dan menyadari secara optimistik bahwa kemampuan alutsista TNI saat ini justru tengah diperhitungkan negara antar kawasan dan dunia.
RSN yang juga, Ketua Umum Partai Daulat Kerajaan Nusantara (PDKN) itu, menyatakan bahwa para raja dan sultan, pemangku adat Nusantara punya kewajiban moral mendukung pembelian alutsista untuk membangun kekuatan TNI guna menjaga keutuhan wilayah dan keselamatan rakyat yg diwariskan dan diamanatkan kesultanan-kerajaan Nusantara pada Republik Indonesia.
Warning Untuk Menhan Prabowo
Kendati begitu, RSN memberi semacam warning kepada Menhan Prabowo Subianto bahwa pembelian sebuah alutsista bekas bukan karena faktor program Minimum Essential Forces semata, tetapi ada faktor strategis lain yang mendesak sehingga Indonesia terpaksa membeli Mirage 2000-5 bekas untuk menambah kekuatan alutsista TNI.
Masih menyinggung tudingan asumtif anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin dari Fraksi PDIP dan Sukamta dari Fraksi PKS yang mempermasalahkan faktor harga pembelian 12 unit Mirage 2000-5 bekas itu, RSN berpendapat bahwa Menhan Prabowo tentu sudah memperhitungkan life cycle cost atau perkiraan daur hidup suatu alutsista.
Perhitungan itu, menurut RSN, mulai dari biaya awal pembuatan, biaya lanjutan peralatan, sampai pada tahap penghapusannya.
Dia menyatakan amatannya bahwa pesawat tempur itu dijamin masih berfungsi sempurna. Baik sistem komunikasi maupun kemampuan tempur persenjataannya, walau umur produksinya sudah 26 tahun.
“Tampilan dan ketangguhannya masih sangat laik guna untuk mendukung penyelenggaraan tugas pokok TNI di seluruh wilayah NKRI, apabila negara terancam keamanan menghadapi situasi darurat tak terduga,” yakin RSN.
Dia pun mengingatkan bahwa untuk daur hidup alutsista pesawat tempur Fighter, Helikopter, Cargo Aircraft maksimum 15 tahun. “Apalagi makin canggih dan kompleks suatu alutsista maka biaya operasional dan perawatannya pun semakin besar,” katanya.
Sedangkan untuk kapal perang usia pakai sampai 40 tahun, masih kata Rahman, hanya boleh dilaksanakan satu kali SLEP (System Lifetime Extended Program) atau program perpanjangan usia pakai, dalam rangka masuk tahap penghapusan menunggu penggantian yang baru.
Oleh karena itu, RSN menyarankan agar Menhan Prabowo sebaiknya mempercepat pembangunan kekuatan pertahanan melalui Program Hibah, karena tidak masuk dalam perhitungan pendanaan langsung, baik lewat APBN ataupun pinjaman.
“Ya, dari pada menggunakan APBN untuk membeli alutsista,” ujarnya.
Saran lain dari Wareng V Adipati Kapitan Lingga Ratu Loli tersebut adalah agar Menhan Prabowo memberi perhatian dan pengawasan kehati-hatian terhadap 37 unit jenis alutsista ketiga angkatan yang justru sudah waktunya untuk dilakukan modernisasi.
Musababnya, menurut Wareng Adipati Kapitan Lingga Ratu Loli Kerajaan Adonara itu, banyak kapal perang kita sudah uzur pada pertengahan daur hidup batas usia ekonomis dan teknis, namun masih digunakan.
Menurutnya TNI masih memiliki kapal perang dekade 1960-an buatan Belanda di antaranya kapal selam KRI Cakra 401. Seharusnya sudah diganti karena benar-benar telah uzur, jauh di atas 40 tahun. Jumlahnya pun hanya 4 unit yang diandalkan untuk mengawasi, menjaga dan mempertahankan wilayah kelautan Indonesia.
Padahal, menurut RSN, untuk kondisional maupun situasional wilayah kepulauan Indonesia yang begitu luas, selayaknya butuh sedikitnya 12 unit kapal selam mutakhir berteknologi canggih buatan German atau Rusia.
RSN pun mengungkapkan kekhawatirannya bahwa jika Alutsista Ketahanan Laut TNI AL masih seperti hari ini, maka akan berpotensi kuat menjadi ancaman bukan hanya terhadap teritori kelautan dan kedaulatan Indonesia, tetapi juga terhadap keselamatan prajurit TNI AL dalam tugas operasi.
Upaya terbaik hari ini, kata RSN, Menhan Prabowo selaku penanggung jawab anggaran pertahanan perlu mengakselerasi pembangunan kekuatan pertahanan melalui program hibah sebagai langkah solutif.
“Lantaran penganggaran untuk alutsista skala besar tidak masuk dalam APBN dan pinjaman dalam negeri dan luar negeri,” pungkasnya.
(syahril/rafel)