
JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang mewajibkan pemilu nasional dan pemilu daerah digelar terpisah, memantik polemik besar di ranah hukum dan politik nasional. Putusan yang dibacakan pada 26 Juni 2025 itu dinilai mengubah wajah ketatanegaraan Indonesia secara signifikan dan berpotensi menimbulkan krisis konstitusional baru.
Dalam amar putusan tersebut, MK menyatakan bahwa pemilu nasional, yakni pemilihan Presiden/Wakil Presiden, DPR, dan DPD, harus diselenggarakan secara terpisah dari pemilu daerah seperti pemilihan DPRD dan kepala daerah, dengan jeda waktu minimal dua tahun dan maksimal dua setengah tahun.
Putusan ini mengakhiri sistem pemilu serentak lima kotak yang berlaku sejak 2019, dan membuka babak baru pemisahan antara politik nasional dan lokal. Namun di balik langkah tersebut, muncul sederet kekhawatiran.
“Putusan ini terlihat seperti reformasi, namun justru berpotensi menabrak konstitusi secara substantif,” kata pengamat kebijakan publik Sugiyanto (SGY) dalam keterangannya, Jumat (4/7/2025.
Menurutnya, terdapat lima masalah utama dalam putusan MK tersebut:
- Melebihi Wewenang Konstitusional, MK dinilai telah keluar dari batas sebagai lembaga yudikatif. Penjadwalan pemilu seharusnya merupakan domain pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah). Dengan menetapkan model kebijakan, MK dianggap bertindak sebagai legislator positif, yang rawan menjadi preseden aktivisme yudisial berlebihan.
- Bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945, konstitusi menegaskan bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun untuk memilih DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan DPRD. Pemisahan DPRD dari pemilu nasional menciptakan kategori pemilu baru yang tidak dikenal dalam UUD 1945.
- Mengaburkan Status Pilkada, putusan ini membuka peluang untuk mengembalikan sengketa Pilkada ke Mahkamah Agung, mengingat Pilkada tidak lagi dianggap bagian dari pemilu nasional. Ini bisa menciptakan dualisme yurisdiksi dan menurunkan kualitas penyelesaian sengketa.
- Dampak Logistik dan Politik, pemilu terpisah berarti anggaran dua kali lipat, mobilisasi aparat dua kali, dan kerawanan konflik yang meningkat. Jeda dua tahun antara pusat dan daerah juga bisa menimbulkan ketimpangan legitimasi dan memperpanjang masa jabatan penjabat (Pj) kepala daerah.
- Diduga Sarat Motif Politik, ada kekhawatiran bahwa pemisahan pemilu ini dimanfaatkan kekuatan politik tertentu untuk memperpanjang jabatan pejabat kepala daerah tanpa partisipasi rakyat. “Ini bentuk perampasan kedaulatan rakyat secara hukum,” ujar Sugiyanto.
Secara filosofis, kata dia, putusan ini menimbulkan ketegangan antara demokrasi prosedural dan demokrasi substantif. Bahkan, muncul anggapan bahwa Mahkamah Konstitusi telah “menggigit induknya sendiri”, yakni DPR dan MPR, lembaga pembentuk konstitusi yang melahirkan MK.

Meski putusan MK bersifat final dan mengikat, Sugiyanto menilai pelaksanaannya bisa menabrak konstitusi jika tidak disertai revisi hukum yang tepat. Ia mendorong DPR dan masyarakat sipil untuk bersikap.
“Kalau tidak dikritisi dan ditata ulang secara demokratis, kita bisa kehilangan kontrol rakyat atas pemerintah lokal, dan membuka celah pembajakan konstitusi oleh tafsir hukum yang berpihak,” tegasnya.
Sugiyanto menegaskan, yang dipertaruhkan bukan hanya soal teknis pemilu, tetapi hak dasar rakyat untuk memilih secara reguler dan adil. Ia menyarankan agar DPR mempertimbangkan revisi Undang-Undang MK atau bahkan mendorong amandemen konstitusi bila diperlukan.
“Demokrasi kita tidak boleh digadaikan oleh satu putusan yang tidak melalui proses deliberatif. Jangan sampai rakyat hanya jadi penonton dalam sistem politik yang seharusnya mereka kendalikan,” pungkasnya.(*)
Editor: Abdel Rafi



