Saturday, December 6, 2025
spot_img
HomePolitikaDaerahPuisi dan Patriotisme di Graha Sumekar: Ketika Zawawi Imron dan Mayjen Farid...

Puisi dan Patriotisme di Graha Sumekar: Ketika Zawawi Imron dan Mayjen Farid Makruf Menggugah Kesadaran Anak Bangsa

Mayjen TNI Dr. Farid Makruf, MA dan budayawan Madura, D Zawawi Imron diapit petinggi kampus saat mengisi Kuliah Umum di Aula Graha Sumekar Universitas Wiraraja, Sumenep, Senin (16/6/2025). (foto: Sarifah Latowa)

SUMENEP, CAKRAWARTA.com – Pada Senin (16/6/2025) pagi, Aula Graha Sumekar Universitas Wiraraja tidak hanya menjadi sekadar ruang akademik. Ia menjelma menjadi panggung kebangkitan: tempat puisi dan data bersekutu membakar kesadaran akan pentingnya menjaga bumi pertiwi, Indonesia.

Kuliah umum bertajuk Ketahanan Nasional melalui Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan dibuka dengan cara yang tak biasa, penuh getar dan makna. Sastrawan dan budayawan senior asal Madura, D. Zawawi Imron, membuka forum dengan lantunan tiga puisi kebangsaan. Salah satunya, “Madura, Akulah Darahmu”, menggugah jiwa dan menghentak batin para peserta.

“Aku tak akan pernah lelah menyebut namamu, Madura, bahkan bila harus dengan air mata,” ucap Zawawi dengan suara lantang, namun syahdu.

Ruangan sontak senyap. Mata-mata menunduk. Hati-hati bergetar. Suara Zawawi menggema, membawa peserta dari dunia logika ke samudra rasa, membangkitkan cinta tanah air dari relung terdalam.

Tak lama, Rektor Universitas Wiraraja, Dr. Sjaifurrahchman, SH, CN, MH, tampil memberikan sambutan. Ia menekankan bahwa ketahanan nasional bukan hanya soal militer, tapi juga tentang bagaimana bangsa ini menjaga paru-parunya sendiri yaitu alam.

“Ancaman terhadap bangsa tak hanya datang dari luar, tapi juga dari kerakusan kita sendiri terhadap sumber daya alam,” tegasnya.

Ia menyerukan agar perguruan tinggi tak hanya menjadi menara gading, tapi menjadi kawah candradimuka lahirnya solusi dan gerakan.

“Saya berharap kuliah umum ini bukan hanya membuka wawasan, tapi menyalakan kesadaran dan aksi nyata dari generasi muda,” tandasnya.

Lalu, panggung diambil alih oleh seorang prajurit intelektual: Mayjen TNI Dr. Farid Makruf, M.A., Tenaga Ahli Pengkaji Bidang Sumber Kekayaan Alam di Lemhannas RI. Dengan mimik serius dan suara menggetarkan, ia menghantam kesadaran kolektif sejak kalimat pertama:

“Indonesia ini ibarat rumah besar. Tapi rumah ini sedang bocor atapnya. Kita sibuk gali emas di lantai, tapi lupa menambal atap,” ujar mantan Pangdam V/Brawijaya itu.

Peserta diam membisu. Mayjen Farid menunjukkan data: hutan habis, air rusak, tanah longsor, rakyat tergusur. Tangan kirinya menggenggam mikrofon, tangan kanannya menunjuk layar yang menampilkan wajah-wajah luka bangsa akibat deforestasi dan konflik agraria.

“213 konflik agraria di tahun 2023. Dan 74% melibatkan masyarakat adat. Ini bukan sekadar angka. Ini nyawa. Ini sejarah yang dilenyapkan,” ujar eks Kaskostrad itu.

Ia juga menyoroti paradoks kekayaan Indonesia: 62% devisa berasal dari sumber daya alam, namun sebagian besar masih berupa bahan mentah.

“Kita kaya, tapi tetap miskin. Tambang-tambang itu ada di desa mereka. Jalan hancur, udara berdebu, tapi listrik pun sering padam. Ini ketimpangan. Ini ironi,” tukas eks Danrem 132/Tadulako itu.

Sebagai seorang prajurit TNI bergelar doktor, Mayjen Farid tidak hanya menggugah semangat dan kesadaran hadirin, tapi juga menawarkan jalan keluar. Ia menegaskan beberapa langkah strategis yang dapat diambil agar bisa segera keluar dari problematika yang terjadi. Pertama, pentingnya integrasi data spasial untuk mencegah tumpang tindih perizinan. Kedua, melakukan hilirisasi industri, agar nilai tambah tercipta di dalam negeri. Ketiga, menerapkan apa yang disebut sebagai ekonomi hijau dan carbon pricing, sebagai kompas kebijakan masa depan. Dan terakhir, urgensi peran pendidikan, untuk mencetak generasi penjaga bumi.

Mayjen TNI Dr. Farid Makruf, M.A menerima cinderamata dari Rektor Universitas Wiraraja Sumenep. (foto: Sarifah Latowa)

Mayjen Farid menutup kuliahnya dengan kalimat yang membekas:

“Jaga alam, maka bangsa ini akan tetap tegak. Rusak alam, maka cepat atau lambat, kita semua akan runtuh bersama-sama.”

Kuliah umum ini bukan sekadar agenda rutin kampus. Ia menjadi titik temu antara puisi dan strategi, antara rasa dan rasio, antara kebudayaan dan kebijakan. Dari bait-bait Zawawi yang menggugah, hingga paparan Mayjen Farid yang membakar nalar, Universitas Wiraraja hari itu menjelma menjadi benteng moral dalam menghadapi krisis lingkungan.

“Semoga kuliah umum ini tidak berhenti di catatan, tapi menyulut gerakan,” tegas Sjaifurrahchman memungkasi pernyataannya, yang disambut tepuk tangan hadirin.(*)

Editor: Tommy dan Abdel Rafi

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular