Dalam lanskap politik modern yang semakin didominasi oleh opini di media sosial dan informasi visual, keberadaan bukti dokumenter tidak lagi semata soal keabsahan hukum. Keberadaan dokumen kini juga menyangkut strategi komunikasi politik. Dua peristiwa di dua negara demokrasi besar dunia memberikan gambaran menarik: tuntutan agar Presiden Barack Obama menunjukkan akta kelahirannya serta tekanan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membuka ijazah aslinya ke publik.
Kendati berasal dari konteks yang berbeda secara historis, sosial, dan budaya, keduanya menunjukkan pola yang sama. Penggunaan keraguan terhadap identitas pribadi dimanfaatkan sebagai senjata politik. Perbedaan mencolok tampak pada cara masing-masing pemimpin merespons tekanan publik. Cara bukti ditangani turut berdampak besar terhadap efektivitas klarifikasi dan daya tahan isu di ruang publik.
Transparansi Dokumenter vs. Klaim Otoritas
Tahun 2011, Gedung Putih merilis “long-form birth certificate” Barack Obama dari negara bagian Hawaii. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap gerakan “birther” yang terus meragukan bahwa ia lahir di Amerika Serikat. Dokumen dalam bentuk ringkas sebenarnya telah pernah dirilis sebelumnya. Namun, desakan publik membuat Obama memilih jalur transparansi penuh. Ia bahkan menyertai klarifikasi tersebut dengan humor dalam pidato publik, membalikkan narasi negatif menjadi keunggulan komunikatif.
Tindakan Obama mencerminkan pemahaman mendalam terhadap dinamika komunikasi massa modern. Kecepatan informasi dan visualisasi bukti lebih kuat mempengaruhi opini publik dibanding sekadar pernyataan otoritatif. Rilis dokumen tersebut juga disiarkan secara luas sehingga publik dapat langsung menilai otentisitasnya tanpa harus bergantung pada interpretasi media atau lembaga negara.
Sebaliknya, ketika isu keaslian ijazah Jokowi menyeruak dan dijadikan bahan gugatan hukum, pihak Universitas Gadjah Mada (UGM), SMA tempat Jokowi bersekolah, serta Komisi Pemilihan Umum menyatakan bahwa dokumen Jokowi adalah asli dan sah. Upaya dari pihak presiden maupun institusi negara untuk merilis dokumen secara terbuka kepada publik tidak pernah dilakukan. Bagi sebagian masyarakat yang skeptis, pernyataan resmi dari lembaga pendidikan atau otoritas administratif dianggap tidak cukup membuktikan keaslian.
Ketidakhadiran dokumen fisik atau digital yang dapat diakses secara publik memperparah persepsi bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Meskipun lembaga pendidikan memiliki otoritas dalam menyatakan keabsahan ijazah, dalam era visual dan keterbukaan informasi, publik menginginkan akses langsung untuk menilai sendiri bukti yang dimaksud.
Efek terhadap Persepsi Publik
Dalam demokrasi digital, persepsi publik lebih ditentukan oleh visualisasi bukti ketimbang oleh otoritas pernyataan. Rilis akta kelahiran Obama mengubah perbincangan di media arus utama dan mempersempit ruang bagi penyebaran disinformasi. Teori konspirasi tetap bertahan di pinggiran ekstrem, tetapi kehilangan kekuatan legitimasi luas karena dokumen asli telah tersedia secara terbuka.
Sebaliknya, kasus ijazah Jokowi terus diproduksi ulang dalam berbagai narasi di media sosial. Klaim seperti “mengapa takut menunjukkan kalau asli?” terus beredar, menghidupkan kembali keraguan yang sebenarnya telah dibantah berkali-kali. Tidak adanya dokumen visual yang bisa diakses langsung oleh publik menciptakan celah besar bagi lahirnya politik kecurigaan.
Survei dan studi psikologi politik menunjukkan bahwa ketika masyarakat dihadapkan pada dua jenis klaim — satu berbasis visual dan lainnya berbasis pernyataan — kecenderungan untuk percaya lebih tinggi pada klaim yang menyertakan bukti visual. Ini menjadi tantangan besar di era disinformasi digital. Kepercayaan bukan lagi soal rasionalitas, melainkan tentang persepsi dan pengalaman visual.
Krisis Kepercayaan terhadap Institusi
Perbedaan pendekatan mencerminkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. Di Amerika Serikat, meskipun tingkat kepercayaan terhadap pemerintah fluktuatif, ketika Gedung Putih merilis dokumen resmi, hal itu tetap memiliki legitimasi kuat di mata publik. Dukungan dari negara bagian Hawaii sebagai penerbit akta kelahiran menambah bobot kredibilitas bukti.
Sementara itu, di Indonesia, bahkan klarifikasi dari institusi pendidikan tinggi seperti UGM tetap dianggap tidak cukup oleh sebagian kalangan. Dalam masyarakat dengan tingkat kepercayaan rendah terhadap institusi, pendekatan otoritatif justru bisa kontraproduktif jika tidak dibarengi dengan transparansi langsung.
Masyarakat Indonesia telah lama hidup dalam kondisi birokrasi yang seringkali tidak transparan. Kondisi ini membuat klaim institusional lebih mudah dipertanyakan, terutama ketika institusi tersebut dianggap berada dalam lingkaran kekuasaan. Dalam konteks seperti inilah, permintaan publik untuk melihat langsung ijazah Jokowi bukan sekadar tuntutan administrasi. Permintaan itu menjadi bagian dari ekspresi krisis kepercayaan terhadap sistem.
Politik Emosi dan Delegitimasi
Tuduhan terhadap identitas pribadi dapat menjadi instrumen delegitimasi politik yang kuat, apalagi di tengah polarisasi sosial yang tinggi. Obama dan Jokowi mengalami tekanan tersebut, namun pendekatan komunikasi mereka sangat berbeda. Obama mampu membingkai momen klarifikasi sebagai bagian dari narasi kampanye yang cerdas. Sementara itu, Jokowi lebih memilih membiarkan institusi menjawab, tanpa memanfaatkannya sebagai ruang penguatan posisi publik secara langsung.
Obama tidak hanya mengungkap dokumen. Ia juga mengemasnya dalam narasi yang menyentuh emosi dan memperkuat citra kepemimpinannya. Dalam pidatonya di White House Correspondents’ Dinner, ia menyindir teori konspirasi dengan humor. Pidato itu menunjukkan bahwa ia tidak terganggu oleh isu tersebut, bahkan menggunakannya untuk menunjukkan keteguhan dan kecerdasannya dalam menghadapi kritik. Strategi komunikasi seperti ini jarang kita temui dalam kepemimpinan politik Indonesia.
Sebaliknya, narasi Jokowi lebih defensif dan administratif. Ia menyebut tuduhan terhadap ijazahnya sebagai hal yang “mengada-ada.” Ia juga tidak membuka ruang dialog atau pendekatan persuasif yang dapat menjangkau publik ragu. Komunikasi yang tidak diarahkan untuk menjembatani keraguan justru memperbesar jurang antara mereka yang percaya dan mereka yang curiga.
Peran Media dan Algoritma Sosial
Perbedaan juga terlihat dalam bagaimana media dan algoritma sosial berperan dalam menyebarkan klarifikasi atau mempertahankan disinformasi. Di Amerika Serikat, media arus utama secara aktif menyebarkan dokumen akta kelahiran Obama, memverifikasi, dan mengomentari isi dokumen tersebut. Bahkan beberapa media konservatif akhirnya berhenti mengangkat isu birther setelah bukti visual tersedia.
Kondisi berbeda terjadi di Indonesia. Algoritma media sosial sering memperkuat konten yang bersifat sensasional, termasuk tuduhan palsu tentang ijazah Jokowi. Ketiadaan satu dokumen visual yang bisa diviralkan sebagai alat tandingan menyebabkan disinformasi lebih mudah bertahan dan beredar ulang dalam berbagai bentuk: video pendek, meme, narasi utas Twitter, serta potongan podcast.
Upaya menciptakan narasi tandingan yang kuat dan berbasis data terbuka masih sangat terbatas. Ruang digital menjadi arena bebas di mana informasi palsu bisa tumbuh lebih cepat daripada klarifikasi resmi. Publik tidak dapat sepenuhnya disalahkan dalam kondisi ini. Institusi resmi tidak memberi cukup amunisi untuk melawan narasi hoaks secara aktif.
Demokrasi Membutuhkan Kepercayaan dan Transparansi
Perbandingan antara akta kelahiran Obama dan ijazah Jokowi mengajarkan bahwa demokrasi tidak hanya membutuhkan bukti hukum. Demokrasi juga memerlukan pendekatan komunikatif yang memahami lanskap psikologis dan budaya media digital. Disinformasi tumbuh dalam ruang yang diisi oleh kecurigaan dan krisis kepercayaan. Transparansi menjadi satu-satunya cara untuk mempersempit ruang geraknya.
Pemimpin politik perlu menyadari bahwa kepercayaan publik tidak bisa hanya diandalkan pada klaim institusional. Kepercayaan perlu dibangun melalui keterbukaan, akses terhadap bukti, serta narasi yang mampu menyentuh nalar sekaligus emosi publik. Dalam era di mana siapa saja bisa menjadi produsen informasi, negara dan pemimpinnya harus menjadi contoh dalam keterbukaan dan kejujuran.
Benar secara hukum belum tentu cukup. Dalam politik demokratis yang hidup dan terbuka, seorang pemimpin harus mampu membuktikan kebenarannya kepada rakyatnya — tidak hanya melalui putusan pengadilan atau pernyataan institusi, tetapi melalui bahasa yang bisa dimengerti, bukti yang bisa dilihat, serta sikap yang menunjukkan komitmen pada transparansi dan akuntabilitas.
AHMAD ZAINUL IHSAN ARIF
Pengamat Kebijakan Publik dan Dosen Universitas Wijaya Putra