
Saya menulis ini bukan hanya sebagai jurnalis, tetapi juga sebagai seorang ibu milenial. Ada tanggung jawab ganda yang saya bawa: menyampaikan kebenaran kepada publik, dan mewariskan masa depan yang lebih baik untuk anak saya. Sebab, anak-anak kitalah pemegang suara masa depan. Mereka berhak mendapatkan negeri yang tenang, adil, dan sehat untuk tumbuh dan berkontribusi.
Jika kita menengok ke belakang, sejarah politik Indonesia berulang kali menunjukkan pola yang sama: rakyat dijadikan tumbal. Pada masa Orde Baru, suara rakyat dikontrol dan dibatasi, sementara demonstrasi sering berakhir dengan represi. Reformasi 1998 membuka ruang baru, tetapi juga meninggalkan luka: banyak korban jiwa jatuh di jalanan demi perubahan yang belum sepenuhnya kita rasakan hasilnya.
Dua dekade setelah reformasi, pola itu kadang masih terlihat. Demonstrasi masih meledak, penyusup masih dimainkan, aparat di lapangan sering dijadikan tembok perlindungan kaum elite. Seolah rakyat kembali dihadapkan pada pilihan yang sama: berkorban untuk kepentingan elite yang tak pernah sepenuhnya berpihak.
Namun, ada sesuatu yang berbeda hari ini. Rakyat makin kritis, bahkan lebih selektif dalam bertindak. Banyak yang menahan diri tidak turun ke jalan ketika tahu ada potensi provokasi. Di sejumlah daerah, warga justru menjaga wilayahnya bersama aparat, menolak kelompok brutal yang ingin menciptakan kerusuhan.
Kedewasaan politik ini menandai pergeseran dimana rakyat tidak mau lagi hanya jadi pion atau korban. Mereka mulai sadar bahwa partisipasi bisa hadir dalam banyak bentuk. Inilah wajah politik 5.0 dimana partisipasi ahir dari kesadaran, bukan sekadar mobilisasi massa.
Partisipasi itu tidak harus turun ke jalan. Berpikir kritis saja sudah bentuk partisipasi. Memberi perspektif lewat percakapan, tulisan, atau media sosial adalah kontribusi nyata. Intinya, partisipasi bukan lagi soal jumlah massa, melainkan kedalaman kesadaran di masyarakat.
Penyadaran dan pendidikan menjadi kunci. Semakin banyak yang paham, semakin kecil peluang elite memainkan skenario lama. Media, komunitas, bahkan ruang digital, jika digunakan dengan benar, bisa menjadi motor penggerak kesadaran ini.
Di titik ini, perspektif personal menjadi tidak terhindarkan. Saya bukan lagi mahasiswa yang bisa turun ke jalan dengan lantang, seperti dulu. Saya kini seorang ibu, yang setiap hari ditanya anak tentang masa depan, tentang negeri yang ia tinggali.
Mungkin saya tidak lagi berjuang dengan teriakan di jalanan. Tapi lewat tulisan, lewat diskusi, lewat membangun kesadaran, saya merasa sedang tetap berjuang. Karena anak-anak kita tidak akan selamanya bersama kita. Suatu hari, mereka harus berdiri sendiri. Yang bisa kita wariskan hanyalah pondasi berupa nilai, literasi, kesadaran, dan keberanian untuk menjaga kebenaran.
Mengubah sistem tidak pernah mudah. Orang baik yang masuk ke sistem pun bisa terseret arus kepentingan. Tetapi harapan tetap ada, terutama ketika rakyat semakin dewasa.
Politik 5.0 memberi jalan yaitu partisipasi yang cair, sederhana, tapi berdampak. Rakyat tidak lagi jadi tumbal, tapi subjek utama.
Sebagai jurnalis, saya ingin terus menyuarakan fakta dan perspektif. Sebagai seorang ibu, saya hanya ingin memastikan anak saya, dan tentu anak-anak kita semua, tidak lagi mewarisi kerusakan, melainkan harapan. Semoga.
AGNES SANTOSO
Jurnalis dan Seorang Ibu



